TUGAS POLITIK HUKUM PIDANA
NAMA : ANDRE
NIM : 170200180
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pemberantasan
korupsi pada dewasa ini menjadi pembicaraan yang semakin hangat di masyarakat.
Dalam kenyataannya, masyarakat semakin terbuka matanya dan mulai menyuarakan
harapan dalam pencegahan dan pemberantasan kejahatan luar biasa ini. Tindak
Pidana Korupsi di Indonesia sudah meluas dalam masyarakat. Perkembangannya
terus meningkat dari tahun ke tahun, baik dari jumlah kasus yang terjadi dan
jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi kualitas tindak pidana yang
dilalrukan semakin sistematis serta lingkupnya yang memasuki seluruh aspek
kehidupan masyarakat.Meningkatnya Tindak Pidana Korupsi yang tidak terkendali
akan mernbawa berncana tidak saja terhadap kehidupan perekonomian nasional
tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya. Tindak Pidana
Korupsi yang meluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak
sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, dan karena itu semua Tindak Pidana
Korupsi kini telah bergeser paradigma kebijakannya tidak lagi dapat digolongkan
sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa. Begitu pun dalam upaya
pemberantasannya tidak lagi dapat dilalukan secara biasa, tetapi dituntut
cara-cara yang luar biasa.Atas hal tersebut,saya menyambut baik tugas yang
diberikan kepada saya dengan judul Kebijakan
Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Korupsi dan Penanggulangannya di Indonesia.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan
pengamatan dan uraian yang telah penulis lakukan dari berbagai literatur
peraturan perundang-undangan, penulis mengemukakan beberapa permasalahan yang
akan dibahas dalam makalah ini yaitu:
- Apa yang dimaksud Tindak Pidana Korupsi?
- Bagaimana Kebijakan Hukum Pidana dalam Pengaturan
Tindak Pidana Korupsi di Indonesia?
- Bagaimana penanggulangan Tindak Pidana Korupsi
di Indonesia?
1.3 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan ini adalah :
a.
Memberikan definisi tindak pidana korupsi
b.
Memahami kebijakan dan pengaturan tindak pidana korupsi di Indonesia
c.
Mengetahui penanggulangan tindak pidana korupsi
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Definisi Tindak Pidana Korupsi
Badan
Eksekutif Bank Dunia menyetujui strategi antikorupsi pada bulan September 1997[1]yang
mendefinisikan korupsi sebagai “pemanfaatan fasilitas publik untuk keuntungan
pribadi[2]”.Fockema
Andreae yang dikutip oleh Jur Andi Hamzah dalam bukunya “Pemberantasan Korupsi
Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional”, kata korupsi berasal dari
bahasa Latin corruptio atau corruptus. Selanjutnya disebutkan
bahwa corruptio itu berasal pula dari asal kata corrumpere, suatu
kata Latin yang lebih tua. Dari bahasa Latin itulah turun ke banyak bahasa
Eropa seperti Inggris, yaitu corruption, corrupt; Prancis, yaitu corruption,
dan Belanda, yaitu corruptie (korruptie). Arti harafiah dari kata ini
ialah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak
bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau
memfitnah seperti dapat dibaca dalam The Lexicon Webster Dictionary tahun 1978[3]:
“corruption
(L, corruptio (n-)), The act corrupting or the state of being corrupt;
putrefactive decomposition; putrid matter; moral perversion; depravity,
perversion of integrity; corrupt or dishonest proceedings, bribery; perversion
from a state of purity; debasement, as of a language; a debased from a world
“
“(korupsi,
dalam bahasa Latin, korupsi –kata benda-, perbuatan merusak atau negara yang
menjadi korup; keadaan yang semakin membusuk; masalah yang buruk; perbuatan
moral yang tak wajar; bejad moral; berlawanan dengan integritas; buruk atau
cara kerja yang tidak jujur; penyuapan; perbuatan yang tak wajar dari apa yang
menjadi dasar negara; kehinaan, dalam suatu istilah; perbuatan yang dipandang
rendah oleh dunia)”
Pengertian
KKN (Korupsi Kolusi dan Nepotisme) dimuat dalam Pasal 1 butir 3, 4, dan 5
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih
dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi Dan Nepotisme. Dalam pasal 1 butir 3 dimuat
pengertian korupsi sebagai berikut :
“Korupsi
adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan tentang tindak pidana
korupsi.”
Ermansjah Djaja, mengutip beberapa defenisi
korupsi dari para ahli[4]:
a.
Menurut Wijowasito sebagai penyusun Kamus Umum
Belanda Indonesia, corruptie yang juga disalin menjadi corruptien dalam
Bahasa Belanda mengandung arti perbuatan korup, penyuapan.
b.
Menurut Gurnar Mydral yaitu :
“To
include not only all forms of improper or selfish exercise of power and
influence attached to a public office or the special position one occupies in
the public life but also the activity of the bribers (korupsi tersebut
meliputi kegiatankegiatan yang tidak patut yang berkaitan dengan kekuasaan,
aktivitas-aktivitas pemerintah, atau usaha-usaha tertentu untuk memperoleh
kedudukan secara tidak patut, serta kegiatan lainnya seperti penyogokan)”.
c.
Menurut Helbert Edelherz dalam bukunya yang berjudul “The Investigation of
White Collar Crime, A Manual for Law Enforcement Agencies”, yang dikutip
juga oleh Ermansjah Djaja, bahwa perbuatan korupsi disebutkan sebagai berikut:
“White
collar crime : an illegal act or service of illegal acts commited by
nonphysical means and by concealment or guile, to obtain or property, to avoid
business or personal advantage”
(kejahatan
kerah putih: suatu perbuatan atau serentetan perbuatan yang bersifat ilegal
yang tidak dilakukan secara fisik, tetapi dengan akal bulus/terselubung untuk
mendapatkan uang atau kekayaan serta menghindari pembayaran/pengeluaran uang
atau kekayaan atau untuk mendapatkan bisnis keuntungan pribadi)”.
d.
Dalam hukum positif khususnya dalam Pasal 1 butir 1 Bab I Ketentuan Umum UU KPK
disebutkan pengertian tindak pidana korupsi :
“Tindak
pidana korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.”
Dengan demikian dapat dijabarkan mengenai pengertian dari “Tindak Pidana
Korupsi” adalah semua ketentuan umum materiil yang terdapat di dalam
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 yang diatur dalam pasal-pasal
2,3,4,5,6,7,8,9,10,11,12,12A,12B,13,14,15,16,21,22,23 dan 24.
Ermansjah
Djaja mengungkapkan bahwa pada dasarnya pengertian korupsi sangat beraneka
ragam, karena tergantung pada situasi dan kondisi terjadinya tindak pidana
tersebut. Ada yang menyamakannya dengan penyuapan, atau menggolongkan penyuapan
sebagai bentuk tindak pidana korupsi, ada pula yang memasukkan gratifikasi
sebagai salah satu bentuknya juga. Selain itu, penyalahgunaan jabatan dan
penyelewengan kekuasaan juga bisa dikatakan sebagai perbuatan korupsi apabila
terbukti telah merugikan keuangan negara.
Variasi
defenisi ini juga dipengaruhi oleh perkembangan jaman dan kejahatan yang
dinamis, berkembang pesat dalam masyarakat. Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001,
tindak pidana korupsi yang dimaksud adalah[5]
a.
Merugikan keuangan negara (Pasal 2, Pasal 3);
b.
Penyuapan (Pasal 5 ayat (1) huruf a dan b, Pasal 5 ayat (2), Pasal 6 ayat (1)
huruf
a dan b, Pasal 6 ayat (2), Pasal 11, Pasal 12 huruf a, b, c, dan d,Pasal 13;
c.
Penggelapan dalam jabatan ( Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 huruf a, b, dan c);
d.
Pemerasan (Pasal 12 huruf e, g, f);
e.
Perbuatan curang (Pasal 7 ayat (1) huruf a, b, c dan d, Pasal 7 ayat (2), Pasal
12 huruf h;
f.
Benturan kepentingan dalam pengadaan (Pasal 12 huruf i);
g.
Gratifikasi (Pasal 12B j.o Pasal 12C).
Disamping
itu istilah korupsi, oleh Sudarto dalam buku
“Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia”, yang dikutip oleh Martiman
Prodjohamnido dalam bukunya “Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam Delik
Korupsi”, bahwa dibeberapa negara dipakai juga untuk menunjukkan keadaan
dan perbuatan yang busuk. Korupsi banyak dikaitkan dengan ketidakjujuran
seseorang di bidang keuangan. Banyak istilah dibeberapa negara, ‘gin moung’
(Thailand), yang berarti ‘makan bangsa’; ‘tanwu’ (Cina), yang berarti
‘keserakahan’, ‘bernoda’; ‘oshoku’ (Jepang), yang berarti ‘kerja kotor’
Selain
itu, Elwi Danil
juga mengemukakan bahwa upaya untuk menciptakan suatu pemerintahan yang baik
(good governance) dalam kerangka pengimplementasian kehendak rakyat seperti
dimaksudkan dalam Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998 Tentang Penyelenggaraan
Negara Yang Bersih Dan Bebas KKN, secara normatif ditempuh kebijakan untuk
membentuk berbagai peraturan perundang-undangan, yang diawali dengan
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih
Dan Bebas Korupsi, Kolusi Dan Nepotisme.
Selanjutnya diundangkan pula Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001[6] Menyadari
akibat yang ditimbulkan oleh perilaku korupsi, maka segala daya dan upaya perlu
dikerahkan untuk menanggulanginya, baik dalam bentuk sumber daya manusia maupun
sumber daya lainnya, termasuk di dalamnya peningkatan kapasitas kelembagaan
penegak hukum. Salah satu aspek kelembagaan yang perlu didayagunakan menurut Elwi Danil untuk
menanggulangi
korupsi adalah dengan membentuk pengadilan khusus tindak Untuk melaksanakan
amanat ketentuan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, maka pada 27
Desember 2002 diundangkanlah UU KPK.pidana korupsi. Keinginan untuk membentuk
pengadilan khusus kemudian terwujud dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor
46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Kebijakan
perundang-undangan tersebut di atas secara politis pada akhirnya dapat
ditempatkan dalam kerangka upaya untuk memberantas tindak pidana korupsi. Dalam
konteks itu pula, undangundang korupsi memiliki kedudukan sebagai peraturan
yang akan memayungi terhadap
undang-undang yang lain dalam upaya menciptakan “good governance”[7]
2.2.Pengaturan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia
Tindak
pidana korupsi bukan lagi kejahatan konvensional yang bisa di anggap remeh.
Berkali-kali pemerintah berusaha mengubah dan mengganti peraturan
perundang-undangan yang mengatur tindak pidana korupsi agar sesuai dengan
perkembangan jaman yang cukup cepat dan dinamis. Sampai hari ini saja tercatat
paling sedikit ada tujuh undang-undang khusus yang secara normatif masih
berlaku, dan dapat didayagunakan untuk mencegah dan memberantas tindak pidana
korupsi. Undang-undang tersebut meliputi[8]:
a.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana telah di ubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi ;
b. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah di ubah dengan
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
c.
Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi;
d.
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih
Dan Bebas Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme;
e.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak
Pidana Pencucian Uang;
f.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban;
g.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 Tentang Pengesahan United Nations Convention
Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa Anti-Korupsi,
2003)
Menurut
sejarah, dalam buku R. Wiryono, “Pembahasan
Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”[9]
pada waktu
seluruh wilayah negara Republik Indonesia dinyatakan dalam keadaan perang atas
dasar Undang-Undang Nomor 74 Tahun 1957 Tentang Pencabutan Regelingen Of De
Staat Van Oorlog En Van Beleg Dan Penetapan Keadaan Bahaya jo Undang-Undang
Nomor 79 Tahun 1957 Tentang Penyelesaian Pernyataan Keadaan Perang Sebagai Yang
Telah Dilakukan Dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 225 Tahun
1957 Tanggal 17 Desember 1957, dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi
telah dikeluarkan Peraturan Perang Pusat/Kepala Staf Angkatan Darat tanggal 16
April 1958 Nomor Prt/Peperpu/013/1958 serta peraturan Penguasa Perang
Pusat/Kepala Staf Angkatan Laut tanggal 17 April 1958 Nomor Prt/Z/I/7. Oleh
karena Peraturan Penguasa Perang tersebut hanya berlaku untuk sementara
(temporer), maka Pemerintah Republik Indonesia menganggap bahwa Peraturan
Penguasa Perang Pusat yang dimaksud perlu diganti dengan peraturan
perundang-undangan yang berbentuk undang-undang. Dengan adanya keadaan yang
mendesak dan perlunya diatur segera tindak pidana korupsi, maka atas dasar
Pasal 96 ayat (1) UUDS 1950[10]
pengganti Peraturan Penguasa Perang Pusat ditetapkan dengan peraturan
perundang-undangan yang berbentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang,
yaitu dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1960
Tentang Pengusutan, Penuntutan, Dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi, yang
kemudian atas dasar Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1960 menjadi Undang-Undang Nomor
24 Prp Tahun 1960 Tentang Pengusutan, Penuntutan, Dan Pemeriksaan Tindak Pidana
Korupsi. Di
dalam penerapannya ternyata Undang-Undang Nomor 24 Prp Tahun 1960 masih belum
mencapai hasil seperti yang diharapkan sehingga terpaksa diganti lagi dengan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
(untuk selanjutnya disebut sebagai Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971). Setelah
lebih dari dua dasawarsa berlaku ternyata Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971
tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum dalam
masyarakat, apalagi dengan terjadinya parktik-praktik korupsi, kolusi, dan
nepotisme yang melibatkan para penyelenggara negara dengan para pengusaha. Oleh
karena itu, sudah sewajarnya jika kemudian MPR sebagai Lembaga Tinggi Negara
saat itu menetapkan Tap. MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara
Yang Bersih Dan Bebas Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme yang antara lain
menetapkan ‘agar diatur
lebih
lanjut dengan undang-undang tentang upaya pemberantasan tindak pidana
korupsi’yang dilakukan dengan segera dengan melaksanakan secara konsisten
Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.
Atas
dasar Tap MPR Nomor XI/MPR/1998 ini, kemudian ditetapkan Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mulai berlaku sejak
tanggal 16 Agustus 1999, dan dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1999 Nomor 140. Adapun Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dinyatakan tidak berlaku lagi. Namun,
kemudian diadakan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tersebut
dengan ditetapkannya UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas
Undang –Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
dan dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134 yang
mulai berlaku pada tanggal 21 November 2001. Perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
oleh UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001 tersebut adalah berupa[11]
:
a.
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 menentukan tentang adanya
perubahan terhadap penjelasan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999, penjelasan yang lain dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 31 Thaun 1999,
baik penjelasan umum maupun penjelasan pasal demi pasal masih tetap berlaku;
b.
Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 menentukan bahwa Pasal 5,
Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 rumusannya diubah dengan tidak mengacu pada
pasal-pasal dalam KUHP, tetapi langsung menyebutkan unsurunsur yang terdapat
dalam masing-masing pasal KUHP yang diacu. Perlu mendapat perhatian bahwa
ketentuan yang masing-masing terdapat dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8,
Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12, semulasebelum Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001- adalah
ketentuan-ketentuan yang mengaitkan dengan mencantumkan ketentuan dalam KUHP,
yaitu :53
1)
Bab VIII menyangkut kejahatan terhadap penguasa umum, yakni Pasal 209, Pasal
210;
2) Bab XXI tentang perbuatan curang yakni
Pasal 387, Pasal 388;
3)
Bab XXVIII tentang kejahatan jabatan yakni pada Pasal 415, Pasal 416, Pasal 417, Pasal
418, Pasal 419, Pasal 420, Pasal
423, Pasal 425, dan Pasal 435 KUHP yang naskah aslinya mempergunakan
bahasa Belanda, yaitu seperti yang terdapat dalam Wetboek van Starfrecht
Rumusan
delik tindak pidana korupsi yang ada dalam KUHP, dapat dikelompokkan atas empat
tindak pidana yaitu[12]:
1)
Kelompok tindak pidana penyuapan, Pasal 209, Pasal 210, Pasal 418, Pasal 419,
Pasal 420;
2)
Kelompok tindak pidana penggelapan, yakni Pasal 415, Pasal 416, Pasal 417;
3)
Kelompok tindak pidana kerakusan (knevelarij atau exortion), yakni Pasal 423
dan Pasal 425;
4)
Kelompok tindak pidana yang berkaitan dengan pemborongan, leveransir dan
rekanan, yakni terdiri dari Pasal 387, Pasal 388, Pasal 435
Dikatakan
tidak mengacu lagi pada pasal-pasal dari KUHP, karena dalam Pasal 43B
Undang-Undang Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo UndangUndang Nomor 20 Tahun
2001 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sendiri telah
ditentukan bahwa:
“Pada saat mulai berlakunya undang-undang ini, Pasal 209, Pasal 210, Pasal 387, Pasal
388, Pasal 415, Pasal 416, Pasal 417, Pasal
418, Pasal 419, Pasal 420, Pasal
423, Pasal 425, dan Pasal 435 KUHP Kitab Undang-undang Hukum Pidana
jis. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (Berita
Republik Indonesia II Nomor 9), Undang-undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang
Menyatakan Berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum
Pidana untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia dan Mengubah Kitab Undangundang
Hukum Pidana (Lembaran Negara Tahun 1958 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 1660) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-undang Nomor 27 Tahun 1999 tentang Perubahan Kitab Undang-undang Hukum
Pidana Yang Berkaitan Dengan Kejahatan Terhadap Keamanan Negara, dinyatakan
tidak berlaku”.
Tetapi
meskipun demikian, putusan pengadilan dan pendapat pakar mengenai unsur-unsur
yang terdapat dalam masing-masing pasal KUHP yang diacu, menurut R. Wiryono,
masih dapat dipergunakan sebagai pedoman dalam menerapkan Pasal 5, Pasal 6,
Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12.
4)
Pasal 1 angka 3 Undang –Undang Nomor 20 Tahun 2001 menentukan bahwa di antara
Pasal 12 dan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 disisipkan pasal baru,
yaitu Pasal 12A, 12B, 12C;
5)
Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 menentukan bahwa di antara
Pasal 26 dan Pasal 27 disispkan pasal baru, yaitu Pasal 26A;
6)
Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 menentukan bahwa Pasal 37 Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 dipecah menjadi Pasal 37 dan Pasal 37A;
7)
Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 menentukan bahwa di antara
Pasal 38 dan Pasal 39 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 disispkan pasal baru,
yaitu Pasal 38A, Pasal 38B, dan Pasal 38C;
8)
Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 menentukan bahwa dalam Bab VI
dan Bab VII ditambah Bab VIA yang berisi Pasal 43A;
9)
Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 menentukan bahwa dalam Bab
VIIsebelum Pasal 44 ditambah Pasal 43B
2.3 Kebijakan Hukum Pidana terhadap Tindak Pidana Korupsi
di Indonesia dan Penanggulangannya
Menurut
Prof.Denny Indrayana, KPK telah terbukti merupakan garda depan dalam upaya
menjerat koruptor. Kewenangan khusus[13]
yang mereka
miliki berdasarkan UU KPK membuat upaya pemberantasan korupsi berjalan tidak
dengan cara normal, tetapi dengan cara yang lebih luar biasa[14]
Hal menggembirakan juga terlihat dari penyelamatan keuangan negara (asset
recovery), dari tahun 2005-2010, nilainya terus meningkat baik dari hasil
gratifikasi maupun dari hasil korupsi[15]seperti
digambarkan dalam tabel berikut:
Tabel
1 : Data Keuangan Negara Yang Berhasil Dikembalikan[16]
TAHUN
|
DARI KASUS
KORUPSI
|
DARI HASIL
GRATIFIKASI
|
2005
|
Rp.6.943.820.000.
|
Rp.15.346.167
|
2006
|
Rp.12.771.271.205.
|
Rp.219.250.985
|
2007
|
Rp.42.367.181.017
|
Rp.2.891.593.968
|
2008
|
Rp.47.890.880.495
|
Rp.3.909.252.922
|
2009
|
Rp.132.698.259.000
|
Rp.1.288.339.128
|
2010
|
Rp.151.296.672.531
|
Rp.1.798.049.921
|
Namun,Dalam
perkembangannya, kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi dirasakan kurang efektif[17],
lemahnya koordinasi antar lini penegak hukum,Adanya pelangaran kode etik oleh
pimpinan dan staf komisi Pernberantasan Korupsi, serta adanya masalah dalam
pelaksanaan tugas dan wewenang yakni adanya pelaksanaan tugas dan kewenangan
Komisi Pemberantasan Korupsi yang berbda dengan ketentuan hukum acara pidana,
kelemahan koordinasi dengan sesanra aparat penegak hukum, problem penyadapan,
pengelolaan penyidik dan penyelidik yang kurang terkoodinasi, terjadi tumpang
tindih kewenangan dengan berbagai instansi penegak hukum, serta kelemahan belum
adanya lernbaga pengawas yang mampu mengawasi pelaksanaan harus dan wewenang
Komisi Pemberantasan Korupsi sehinga memungkinkan terdapat cela dan kurang
akuntabelnya pelaksanaan tugas dan kewenangan pemberantasan tindak pidana
korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Untuk itu dilakukan pernbaruan hukum
agar pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi berjalan secara efektif
dan terpadu sehinga dapat mencegah dan mengurangi kerugian negara yang terus
btambah akibat tindak pidana korupsi. Penguatan Komisi Pemberantasan Korupsi
dalam kegatan pencegahan bukan berarti kegiatan pemberantasan tindak pidana
korupsi diabaikan. Justru adanya penguatan tersebut dimaksudkan agar kegiatan
Komisi Pemberantasan Korupsi dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, semakin
baik dan komprehensif.Pembaruan hukum juga dilakukan dengan menata kelembagaan (Komisi
Pemberantasan Korupsi dan penguatan tindakan pencegahan sehingga timbul
kesadaran kepada penyelenggara negara dan masyarakat untuk tidak melakukan
tindak pidana korupsi yang dapat merugikan keuangan negara. Kemudian penataan
kelembagaan Komisi Pemberantasan Korupsi dilaksanakan sejalan dengan Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-Vl/2017. Di mana dinyatakan bahwa Komisi Pemberantasan
Korupsi merupakan bagian dari cabang kekuasaan pemerintahan. Komisi Pemberantasan
Korupsi ternasuk ranah kekuasaan eksekutif yang sering disebut lembaga pemerintah.HaI
ini dimaksudkan agar kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia menjadi jelas, yaitu sebagai bagian dari pelaksana
kekuasaan pemerintahan. Dengan perubahan beberapa ketentuan dalam Undang-Undang ini, diharapkan
dapat:
a.
Mendudukkan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai satu kesatuan aparatur lembaga
pemerintahan yang bersama-sama dengan kepolisian dan/atau kejaksaan melakukan
upaya terpadu dan terstruktrur dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi.
b.
Menyusun jaringan kerja yang kuat dan memperlakukan institusi yang telah ada
sebagai "counterpartner" yang kondusif sehingga pencegahan dan
pemberantasan korupsi dapat dilaksanakan lebih efektif, efisien, terkoordinasi,
dan sesuai dengan ketentuan umum yang diatur dalam peraturan perundang-undangan;
c.
Mengurangi ketimpangan hubungan antar kelembagaan penegakan hukum dalam
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi, dengan tidak memonopoli dan
menyelisihi tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan;
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Jika
melihat pada dewasa ini tindak pidana yang dari dulu hingga saat ini sangat
hangat serta gencar diberitakan tidak hanya dalam lingkup nasional, tetapi
merambah kancah internasional salah satunya adalah tindak pidana korupsi, yang
sudah tidak asing lagi bagi seluruh lapisan masyarakat. Terkait dengan tindak
pidana tersebut, defenisi korupsi itu sendiri beraneka ragam karena sudah
sangat banyak ahli yang menerjemahkannya sesuai dengan keadaan dan situasi yang
berbeda.
Black’s
Law Dictionary
yang dikutip oleh Chaerudin, bahwa korupsi adalah perbuatan yang dilakukan
dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak resmi dengan hak-hak
dari pihak lain secara salah menggunakan jabatannya atau karakternya untuk
mendapatkan suatu keuntungan untuk dirinya sendiri atau orang lain, berlawanan dengan kewajibannya dan hak-hak
dari pihak lain[18]
Dalam
kaitannya dengan pemberantasan korupsi, Suyatno berpandangan bahwa pengawal
peraturan perundang-undangan seperti polisi, hakim, inspektur, jaksa, dan
pembela ikut menentukan sukses atau tidaknya pemberantasan korupsi. Apabila
didalam penegakan hukum itu masih terjadi mercenary corruptionmaka yang terjadi
ialah terbentuknya multiplier effect (efek penggandaan korupsi)
3.2 Saran
Penguatan
peranan lembaga peradilan merupakan kunci terakhir untuk menyelesaikan masalah
korupsi dan nepotisme. Jika itu yang dimaksud, maka kemungkinan terjadinya
korupsi tidak bisa dibendung, mana kala lembaga peradilan tidak dapat berbuat
adil. Dalam hal ini, unsur manusia memegang peranan penting dan menentukan.
Untuk itu, didalam lembaga peradilan, orang orangnya harus dipilih dari mereka
yang memiliki integritas yang tidak diragukan. Seleksi untuk menguji integritas
ini tidak bisa dilakukan oleh orang lain, selain oleh pribadi masing-masing
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Abidin, H. Zamhari, Pengertian dan Asas Hukum
Pidana (Dalam Schema atau Bagan dan Synopsis atau Catatan Singkat), (Jakarta:
Ghalia Indonesia, 1986).
Aperdoorn, L. J van, Pengantar Ilmu Hukum
(Jakarta: Pradnya Paramita,1981).
Atmasasmita, Romli, Pengantar HukumPidana
Internasional Bagian II (Jakarta, PT Hecca Mitra Utama: 2004).
Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen
Hukum dan Hak Asasi Manusia, Pengkajian Hukum Pencegahan Korupsi Dan
Hubungannya Dengan Transparansi Anggaran Pada Instansi Pemerintah, (Jakarta:
BPHN, 2008).
Chaerudin, Strategi Pencegahan dan Penegakan
Hukum Tindak Pidana Korupsi, (Bandung: PT Refika Aditama,2008).
Chazawi, Adami, Hukum Pidana Materiil dan
Formil di Indonesia (Malang: Bayumedia Publishing, 2005).
Danil, Elwi, Korupsi: Konsep, Tindak Pidana,
dan Pemberantasannya (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2014).
Djaja, Ermansjah, Tipologi Tindak Pidana
Korupsi di Indonesia (1) (Bandung: Mandar Maju, 2010).
Ekaputra,
Mohammad, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Medan: USU Press, 2013).
Hamzah,
Jur Andi, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional(Jakarta:PT
RajaGrafindo Persada, 2007).
Indrayana,
Denny, Indonesia Optimis (Jakarta: PT Buana Ilmu Populer, 2011
B.Peraturan
Perundang-undangan
Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
KUHP
dan KUHAP Beserta Penjelasannya (Bandung: Citra Umbara), 2010
Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor : X/MPR/2001 Tentang
Laporan Pelaksanaan Putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
Oleh Lembaga Tinggi Negara Pada Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia Tahun 2001.
United
Nations Against Coruuption (UNCAC 2003), Konvensi PBB Anti Korupsi 2003
C.Sumber
Lain
Anggadha,
Arry, Purborini, MA: Pencekalan, kewenangan Spesial KPK, 11 September 2009, http://politik.news.viva.co.id/news/read/89678ma_pencekalan_kewenangan_spesial_kpk,
(diakses pada tanggal 31 Maret 2020, pukul 15:37 WIB)
Asian
Development Bank, Anti Korupsi Dan Integritas, (diakses dari http://www.adb.org/sites/default/files/institutionaldocument/33272/files/an
ticorruption-and-integrity-id.pdf, pada tanggal 31 Maret 2020, pukul 15:21WIB)
[1]
Asian Development Bank, Anti Korupsi Dan Integritas, (diakses dari
http://www.adb.org/sites/default/files/institutional-document/33272/files/anticorruption-andintegrity-id.pdf,
pada tanggal 31 Maret 2020, pukul 15:21 WIB
[2] Jonathan
R. Pincus, Jeffrey A. Winters, Membongkar Bank Dunia (Reinventing the World
Bank), (Jakarta: Cornell University Press, Ithaca and London, Djambatan),
hal.222
[3] Jur
Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan
Internasional (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007), hal. 4-6
[4] Ermansjah
Djaja, Memberantas Korupsi Bersama KPK: Kajian Yuridis Normatif UU Nomor 31
Tahun 1999 juncto UU Nomor 20 Tahun 2001 Versi UU Nomor 30 Tahun 2002
(Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hal. 183-184
[5] Ibid,
hal. 54-55
[6]
Ibid,hal.44
[7] Ibid,
hal. 58.
[8] Ibid,
hal. 58
[9] R.
Wiryono, Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
(Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hal. 3-5
[10] Undang-Undang
Dasar Sementara Republik Indonesia UU No. 7 Tahun 1950, LN 1950–56, d.u. 15 Ag
1950. Presiden Republik Indonesia Serikat, pada Pasal 96 ayat (1) Pemerintah
berhak atas kuasa dan tanggung-djawab sendiri menetapkan undang-undang darurat
untuk mengatur hal-hal penjelenggaraan-pemerintahan jang karena keadaan-keadaan
jang mendesak perlu diatur dengan segera. (2) Undang-undang darurat mempunjai kekuasaan
dan deradjat undang-undang; ketentuan ini tidak mengurangi jang ditetapkan
dalam pasal yang berikut
[11] R.
Wiryono, op.cit, hal. 4.
[12]
Ibid,hal.60
[13] Arry
Anggadha, Purborini, Mahkamah Agung: Pencekalan, kewenangan Spesial KPK, 11
September 2009, ( http://politik.news.viva.co.id/news/read/89678ma_pencekalan_kewenangan_
spesial_kpk, diakses pada tanggal 31 Maret,Pukul 15.30 WIB
[14] Denny
Indrayana, Indonesia Optimis (Jakarta: PT Buana Ilmu Populer, 2011), hal. 152
[15]
Ibid,hal.161
[16]
Ibid,hal.165
[17] Penjelasan
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi
[18] Chaerudin,
, Strategi Pencegahan dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi, (Bandung:
PT Refika Aditama,2008), hal.59
Tidak ada komentar:
Posting Komentar