Minggu, 12 April 2020

TUGAS POLITIK HUKUM PIDANA


TUGAS POLITIK HUKUM PIDANA
NAMA : ANDRE
NIM : 170200180

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pemberantasan korupsi pada dewasa ini menjadi pembicaraan yang semakin hangat di masyarakat. Dalam kenyataannya, masyarakat semakin terbuka matanya dan mulai menyuarakan harapan dalam pencegahan dan pemberantasan kejahatan luar biasa ini. Tindak Pidana Korupsi di Indonesia sudah meluas dalam masyarakat. Perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun, baik dari jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi kualitas tindak pidana yang dilalrukan semakin sistematis serta lingkupnya yang memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat.Meningkatnya Tindak Pidana Korupsi yang tidak terkendali akan mernbawa berncana tidak saja terhadap kehidupan perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya. Tindak Pidana Korupsi yang meluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, dan karena itu semua Tindak Pidana Korupsi kini telah bergeser paradigma kebijakannya tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa. Begitu pun dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilalukan secara biasa, tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa.Atas hal tersebut,saya menyambut baik tugas yang diberikan kepada saya dengan judul Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Korupsi dan Penanggulangannya di Indonesia.
1.2  Perumusan Masalah
Berdasarkan pengamatan dan uraian yang telah penulis lakukan dari berbagai literatur peraturan perundang-undangan, penulis mengemukakan beberapa permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini yaitu:
  1. Apa yang dimaksud Tindak Pidana Korupsi?
  2. Bagaimana Kebijakan Hukum Pidana dalam Pengaturan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia?
  3. Bagaimana penanggulangan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia?


1.3  Tujuan Penulisan
                 Adapun tujuan dari penulisan ini adalah :
a.     Memberikan definisi tindak pidana korupsi
b.     Memahami kebijakan dan pengaturan tindak pidana korupsi di Indonesia
c.     Mengetahui penanggulangan tindak pidana korupsi


BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Definisi Tindak Pidana Korupsi
Badan Eksekutif Bank Dunia menyetujui strategi antikorupsi pada bulan September 1997[1]yang mendefinisikan korupsi sebagai “pemanfaatan fasilitas publik untuk keuntungan pribadi[2]”.Fockema Andreae yang dikutip oleh Jur Andi Hamzah dalam bukunya “Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional”, kata korupsi berasal dari bahasa Latin corruptio atau corruptus. Selanjutnya disebutkan bahwa corruptio itu berasal pula dari asal kata corrumpere, suatu kata Latin yang lebih tua. Dari bahasa Latin itulah turun ke banyak bahasa Eropa seperti Inggris, yaitu corruption, corrupt; Prancis, yaitu corruption, dan Belanda, yaitu corruptie (korruptie). Arti harafiah dari kata ini ialah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah seperti dapat dibaca dalam The Lexicon Webster Dictionary tahun 1978[3]:
corruption (L, corruptio (n-)), The act corrupting or the state of being corrupt; putrefactive decomposition; putrid matter; moral perversion; depravity, perversion of integrity; corrupt or dishonest proceedings, bribery; perversion from a state of purity; debasement, as of a language; a debased from a world
“(korupsi, dalam bahasa Latin, korupsi –kata benda-, perbuatan merusak atau negara yang menjadi korup; keadaan yang semakin membusuk; masalah yang buruk; perbuatan moral yang tak wajar; bejad moral; berlawanan dengan integritas; buruk atau cara kerja yang tidak jujur; penyuapan; perbuatan yang tak wajar dari apa yang menjadi dasar negara; kehinaan, dalam suatu istilah; perbuatan yang dipandang rendah oleh dunia)”
Pengertian KKN (Korupsi Kolusi dan Nepotisme) dimuat dalam Pasal 1 butir 3, 4, dan 5 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi Dan Nepotisme. Dalam pasal 1 butir 3 dimuat pengertian korupsi sebagai berikut :
Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan tentang tindak pidana  korupsi.”
 Ermansjah Djaja, mengutip beberapa defenisi korupsi dari para ahli[4]:
a. Menurut Wijowasito sebagai penyusun Kamus Umum  Belanda Indonesia, corruptie yang juga disalin menjadi corruptien dalam Bahasa Belanda mengandung arti perbuatan korup, penyuapan.  
b. Menurut Gurnar Mydral yaitu :
To include not only all forms of improper or selfish exercise of power and influence attached to a public office or the special position one occupies in the public life but also the activity of the bribers (korupsi tersebut meliputi kegiatankegiatan yang tidak patut yang berkaitan dengan kekuasaan, aktivitas-aktivitas pemerintah, atau usaha-usaha tertentu untuk memperoleh kedudukan secara tidak patut, serta kegiatan lainnya seperti penyogokan)”.
c. Menurut Helbert Edelherz dalam bukunya yang berjudul “The Investigation of White Collar Crime, A Manual for Law Enforcement Agencies”, yang dikutip juga oleh Ermansjah Djaja, bahwa perbuatan korupsi disebutkan sebagai berikut:
White collar crime : an illegal act or service of illegal acts commited by nonphysical means and by concealment or guile, to obtain or property, to avoid business or personal advantage
(kejahatan kerah putih: suatu perbuatan atau serentetan perbuatan yang bersifat ilegal yang tidak dilakukan secara fisik, tetapi dengan akal bulus/terselubung untuk mendapatkan uang atau kekayaan serta menghindari pembayaran/pengeluaran uang atau kekayaan atau untuk mendapatkan bisnis keuntungan pribadi)”.

d. Dalam hukum positif khususnya dalam Pasal 1 butir 1 Bab I Ketentuan Umum UU KPK disebutkan pengertian tindak pidana korupsi :
“Tindak pidana korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.” Dengan demikian dapat dijabarkan mengenai pengertian dari “Tindak Pidana Korupsi” adalah semua ketentuan umum materiil yang terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 yang diatur dalam pasal-pasal 2,3,4,5,6,7,8,9,10,11,12,12A,12B,13,14,15,16,21,22,23 dan 24.
Ermansjah Djaja mengungkapkan bahwa pada dasarnya pengertian korupsi sangat beraneka ragam, karena tergantung pada situasi dan kondisi terjadinya tindak pidana tersebut. Ada yang menyamakannya dengan penyuapan, atau menggolongkan penyuapan sebagai bentuk tindak pidana korupsi, ada pula yang memasukkan gratifikasi sebagai salah satu bentuknya juga. Selain itu, penyalahgunaan jabatan dan penyelewengan kekuasaan juga bisa dikatakan sebagai perbuatan korupsi apabila terbukti telah merugikan keuangan negara.
Variasi defenisi ini juga dipengaruhi oleh perkembangan jaman dan kejahatan yang dinamis, berkembang pesat dalam masyarakat. Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001, tindak pidana korupsi yang dimaksud adalah[5]
a. Merugikan keuangan negara (Pasal 2, Pasal 3);
b. Penyuapan (Pasal 5 ayat (1) huruf a dan b, Pasal 5 ayat (2), Pasal 6 ayat (1)
huruf a dan b, Pasal 6 ayat (2), Pasal 11, Pasal 12 huruf a, b, c, dan d,Pasal 13;
c. Penggelapan dalam jabatan ( Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 huruf a, b, dan c);
d. Pemerasan (Pasal 12 huruf e, g, f);
e. Perbuatan curang (Pasal 7 ayat (1) huruf a, b, c dan d, Pasal 7 ayat (2), Pasal 12 huruf h;
f. Benturan kepentingan dalam pengadaan (Pasal 12 huruf i);
g. Gratifikasi (Pasal 12B j.o Pasal 12C).
Disamping itu istilah korupsi, oleh Sudarto dalam buku  Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia”, yang dikutip oleh Martiman Prodjohamnido dalam bukunya “Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam Delik Korupsi”, bahwa dibeberapa negara dipakai juga untuk menunjukkan keadaan dan perbuatan yang busuk. Korupsi banyak dikaitkan dengan ketidakjujuran seseorang di bidang keuangan. Banyak istilah dibeberapa negara, ‘gin moung’ (Thailand), yang berarti ‘makan bangsa’; ‘tanwu’ (Cina), yang berarti ‘keserakahan’, ‘bernoda’; ‘oshoku’ (Jepang), yang berarti ‘kerja kotor’
Selain itu, Elwi Danil juga mengemukakan bahwa upaya untuk menciptakan suatu pemerintahan yang baik (good governance) dalam kerangka pengimplementasian kehendak rakyat seperti dimaksudkan dalam Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas KKN, secara normatif ditempuh kebijakan untuk membentuk berbagai peraturan perundang-undangan, yang diawali dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan  Bebas Korupsi, Kolusi Dan Nepotisme. Selanjutnya diundangkan pula Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001[6] Menyadari akibat yang ditimbulkan oleh perilaku korupsi, maka segala daya dan upaya perlu dikerahkan untuk menanggulanginya, baik dalam bentuk sumber daya manusia maupun sumber daya lainnya, termasuk di dalamnya peningkatan kapasitas kelembagaan penegak hukum. Salah satu aspek kelembagaan yang perlu didayagunakan  menurut Elwi Danil untuk
menanggulangi korupsi adalah dengan membentuk pengadilan khusus tindak Untuk melaksanakan amanat ketentuan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, maka pada 27 Desember 2002 diundangkanlah UU KPK.pidana korupsi. Keinginan untuk membentuk pengadilan khusus kemudian terwujud dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Kebijakan perundang-undangan tersebut di atas secara politis pada akhirnya dapat ditempatkan dalam kerangka upaya untuk memberantas tindak pidana korupsi. Dalam konteks itu pula, undangundang korupsi memiliki kedudukan sebagai peraturan yang akan memayungi terhadap  undang-undang yang lain dalam upaya menciptakan “good governance”[7]
2.2.Pengaturan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia
Tindak pidana korupsi bukan lagi kejahatan konvensional yang bisa di anggap remeh. Berkali-kali pemerintah berusaha mengubah dan mengganti peraturan perundang-undangan yang mengatur tindak pidana korupsi agar sesuai dengan perkembangan jaman yang cukup cepat dan dinamis. Sampai hari ini saja tercatat paling sedikit ada tujuh undang-undang khusus yang secara normatif masih berlaku, dan dapat didayagunakan untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi. Undang-undang tersebut meliputi[8]:
a. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah di ubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ;
 b. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah di ubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
c. Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi;
d. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme;
e. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang;
f. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban;
g. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 Tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa Anti-Korupsi, 2003)
Menurut sejarah, dalam  buku R. Wiryono, “Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”[9] pada waktu seluruh wilayah negara Republik Indonesia dinyatakan dalam keadaan perang atas dasar Undang-Undang Nomor 74 Tahun 1957 Tentang Pencabutan Regelingen Of De Staat Van Oorlog En Van Beleg Dan Penetapan Keadaan Bahaya jo Undang-Undang Nomor 79 Tahun 1957 Tentang Penyelesaian Pernyataan Keadaan Perang Sebagai Yang Telah Dilakukan Dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 225 Tahun 1957 Tanggal 17 Desember 1957, dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi telah dikeluarkan Peraturan Perang Pusat/Kepala Staf Angkatan Darat tanggal 16 April 1958 Nomor Prt/Peperpu/013/1958 serta peraturan Penguasa Perang Pusat/Kepala Staf Angkatan Laut tanggal 17 April 1958 Nomor Prt/Z/I/7. Oleh karena Peraturan Penguasa Perang tersebut hanya berlaku untuk sementara (temporer), maka Pemerintah Republik Indonesia menganggap bahwa Peraturan Penguasa Perang Pusat yang dimaksud perlu diganti dengan peraturan perundang-undangan yang berbentuk undang-undang. Dengan adanya keadaan yang mendesak dan perlunya diatur segera tindak pidana korupsi, maka atas dasar Pasal 96 ayat (1) UUDS 1950[10] pengganti Peraturan Penguasa Perang Pusat ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan yang berbentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, yaitu dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1960 Tentang Pengusutan, Penuntutan, Dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi, yang kemudian atas dasar Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1960 menjadi Undang-Undang Nomor 24 Prp Tahun 1960 Tentang Pengusutan, Penuntutan, Dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. Di dalam penerapannya ternyata Undang-Undang Nomor 24 Prp Tahun 1960 masih belum mencapai hasil seperti yang diharapkan sehingga terpaksa diganti lagi dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (untuk selanjutnya disebut sebagai Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971). Setelah lebih dari dua dasawarsa berlaku ternyata Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum dalam masyarakat, apalagi dengan terjadinya parktik-praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme yang melibatkan para penyelenggara negara dengan para pengusaha. Oleh karena itu, sudah sewajarnya jika kemudian MPR sebagai Lembaga Tinggi Negara saat itu menetapkan Tap. MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme yang antara lain menetapkan ‘agar diatur
lebih lanjut dengan undang-undang tentang upaya pemberantasan tindak pidana korupsi’yang dilakukan dengan segera dengan melaksanakan secara konsisten Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.
Atas dasar Tap MPR Nomor XI/MPR/1998 ini, kemudian ditetapkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mulai berlaku sejak tanggal 16 Agustus 1999, dan dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 140. Adapun Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dinyatakan tidak berlaku lagi. Namun, kemudian diadakan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tersebut dengan ditetapkannya UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang –Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134 yang mulai berlaku pada tanggal 21 November 2001. Perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 oleh UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001 tersebut adalah berupa[11] :
a. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 menentukan tentang adanya perubahan terhadap penjelasan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, penjelasan yang lain dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 31 Thaun 1999, baik penjelasan umum maupun penjelasan pasal demi pasal masih tetap berlaku;
b. Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 menentukan bahwa Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 rumusannya diubah dengan tidak mengacu pada pasal-pasal dalam KUHP, tetapi langsung menyebutkan unsurunsur yang terdapat dalam masing-masing pasal KUHP yang diacu. Perlu mendapat perhatian bahwa ketentuan yang masing-masing terdapat dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12, semulasebelum Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001- adalah ketentuan-ketentuan yang mengaitkan dengan mencantumkan ketentuan dalam KUHP, yaitu :53
1) Bab VIII menyangkut kejahatan terhadap penguasa umum, yakni Pasal 209, Pasal 210;
 2) Bab XXI tentang perbuatan curang yakni Pasal  387, Pasal  388;
3) Bab XXVIII tentang kejahatan jabatan yakni pada Pasal  415, Pasal 416, Pasal  417, Pasal  418, Pasal 419, Pasal  420, Pasal 423, Pasal  425, dan Pasal  435 KUHP yang naskah aslinya mempergunakan bahasa Belanda, yaitu seperti yang terdapat dalam Wetboek van Starfrecht
Rumusan delik tindak pidana korupsi yang ada dalam KUHP, dapat dikelompokkan atas empat tindak pidana yaitu[12]:
1) Kelompok tindak pidana penyuapan, Pasal 209, Pasal 210, Pasal 418, Pasal 419, Pasal 420;
2) Kelompok tindak pidana penggelapan, yakni Pasal 415, Pasal 416, Pasal 417;
3) Kelompok tindak pidana kerakusan (knevelarij atau exortion), yakni Pasal 423 dan Pasal 425;
4) Kelompok tindak pidana yang berkaitan dengan pemborongan, leveransir dan rekanan, yakni terdiri dari Pasal 387, Pasal 388, Pasal 435
Dikatakan tidak mengacu lagi pada pasal-pasal dari KUHP, karena dalam Pasal 43B Undang-Undang Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sendiri telah ditentukan bahwa:
“Pada saat mulai berlakunya undang-undang ini, Pasal  209, Pasal 210, Pasal  387, Pasal  388, Pasal  415, Pasal 416, Pasal  417, Pasal  418, Pasal 419, Pasal  420, Pasal 423, Pasal  425, dan Pasal  435 KUHP Kitab Undang-undang Hukum Pidana jis. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (Berita Republik Indonesia II Nomor 9), Undang-undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia dan Mengubah Kitab Undangundang Hukum Pidana (Lembaran Negara Tahun 1958 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1660) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 27 Tahun 1999 tentang Perubahan Kitab Undang-undang Hukum Pidana Yang Berkaitan Dengan Kejahatan Terhadap Keamanan Negara, dinyatakan tidak berlaku”.
Tetapi meskipun demikian, putusan pengadilan dan pendapat pakar mengenai unsur-unsur yang terdapat dalam masing-masing pasal KUHP yang diacu, menurut R. Wiryono, masih dapat dipergunakan sebagai pedoman dalam menerapkan Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12.
4) Pasal 1 angka 3 Undang –Undang Nomor 20 Tahun 2001 menentukan bahwa di antara Pasal 12 dan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 disisipkan pasal baru, yaitu Pasal 12A, 12B, 12C;
5) Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 menentukan bahwa di antara Pasal 26 dan Pasal 27 disispkan pasal baru, yaitu Pasal 26A;
6) Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 menentukan bahwa Pasal 37 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dipecah menjadi Pasal 37 dan Pasal 37A;
7) Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 menentukan bahwa di antara Pasal 38 dan Pasal 39 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 disispkan pasal baru, yaitu Pasal 38A, Pasal 38B, dan Pasal 38C;
8) Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 menentukan bahwa dalam Bab VI dan Bab VII ditambah Bab VIA yang berisi Pasal 43A;
9) Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 menentukan bahwa dalam Bab VIIsebelum Pasal 44 ditambah Pasal 43B








2.3 Kebijakan Hukum Pidana terhadap Tindak Pidana Korupsi di Indonesia dan Penanggulangannya
Menurut Prof.Denny Indrayana, KPK telah terbukti merupakan garda depan dalam upaya menjerat koruptor. Kewenangan khusus[13] yang mereka miliki berdasarkan UU KPK membuat upaya pemberantasan korupsi berjalan tidak dengan cara normal, tetapi dengan cara yang lebih luar biasa[14] Hal menggembirakan juga terlihat dari penyelamatan keuangan negara (asset recovery), dari tahun 2005-2010, nilainya terus meningkat baik dari hasil gratifikasi maupun dari hasil korupsi[15]seperti digambarkan dalam tabel berikut:
Tabel 1 : Data Keuangan Negara Yang Berhasil Dikembalikan[16]
TAHUN
DARI KASUS KORUPSI
DARI HASIL GRATIFIKASI
2005
Rp.6.943.820.000.
Rp.15.346.167
2006
Rp.12.771.271.205.
Rp.219.250.985
2007
Rp.42.367.181.017
Rp.2.891.593.968
2008
Rp.47.890.880.495
Rp.3.909.252.922
2009
Rp.132.698.259.000
Rp.1.288.339.128
2010
Rp.151.296.672.531
Rp.1.798.049.921

Namun,Dalam perkembangannya, kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi dirasakan kurang efektif[17], lemahnya koordinasi antar lini penegak hukum,Adanya pelangaran kode etik oleh pimpinan dan staf komisi Pernberantasan Korupsi, serta adanya masalah dalam pelaksanaan tugas dan wewenang yakni adanya pelaksanaan tugas dan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi yang berbda dengan ketentuan hukum acara pidana, kelemahan koordinasi dengan sesanra aparat penegak hukum, problem penyadapan, pengelolaan penyidik dan penyelidik yang kurang terkoodinasi, terjadi tumpang tindih kewenangan dengan berbagai instansi penegak hukum, serta kelemahan belum adanya lernbaga pengawas yang mampu mengawasi pelaksanaan harus dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi sehinga memungkinkan terdapat cela dan kurang akuntabelnya pelaksanaan tugas dan kewenangan pemberantasan tindak pidana korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Untuk itu dilakukan pernbaruan hukum agar pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi berjalan secara efektif dan terpadu sehinga dapat mencegah dan mengurangi kerugian negara yang terus btambah akibat tindak pidana korupsi. Penguatan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam kegatan pencegahan bukan berarti kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi diabaikan. Justru adanya penguatan tersebut dimaksudkan agar kegiatan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, semakin baik dan komprehensif.Pembaruan hukum juga dilakukan dengan menata kelembagaan (Komisi Pemberantasan Korupsi dan penguatan tindakan pencegahan sehingga timbul kesadaran kepada penyelenggara negara dan masyarakat untuk tidak melakukan tindak pidana korupsi yang dapat merugikan keuangan negara. Kemudian penataan kelembagaan Komisi Pemberantasan Korupsi dilaksanakan sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-Vl/2017. Di mana dinyatakan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan bagian dari cabang kekuasaan pemerintahan. Komisi Pemberantasan Korupsi ternasuk ranah kekuasaan eksekutif yang sering disebut lembaga pemerintah.HaI ini dimaksudkan agar kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia menjadi jelas, yaitu sebagai bagian dari pelaksana kekuasaan pemerintahan. Dengan perubahan beberapa ketentuan dalam Undang-Undang ini, diharapkan dapat:
a. Mendudukkan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai satu kesatuan aparatur lembaga pemerintahan yang bersama-sama dengan kepolisian dan/atau kejaksaan melakukan upaya terpadu dan terstruktrur dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi.
b. Menyusun jaringan kerja yang kuat dan memperlakukan institusi yang telah ada sebagai "counterpartner" yang kondusif sehingga pencegahan dan pemberantasan korupsi dapat dilaksanakan lebih efektif, efisien, terkoordinasi, dan sesuai dengan ketentuan umum yang diatur dalam peraturan perundang-undangan;
c. Mengurangi ketimpangan hubungan antar kelembagaan penegakan hukum dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi, dengan tidak memonopoli dan menyelisihi tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan;
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Jika melihat pada dewasa ini tindak pidana yang dari dulu hingga saat ini sangat hangat serta gencar diberitakan tidak hanya dalam lingkup nasional, tetapi merambah kancah internasional salah satunya adalah tindak pidana korupsi, yang sudah tidak asing lagi bagi seluruh lapisan masyarakat. Terkait dengan tindak pidana tersebut, defenisi korupsi itu sendiri beraneka ragam karena sudah sangat banyak ahli yang menerjemahkannya sesuai dengan keadaan dan situasi yang berbeda.
Black’s Law Dictionary yang dikutip oleh Chaerudin, bahwa korupsi adalah perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak resmi dengan hak-hak dari pihak lain secara salah menggunakan jabatannya atau karakternya untuk mendapatkan suatu keuntungan untuk dirinya sendiri atau orang lain,  berlawanan dengan kewajibannya dan hak-hak dari pihak lain[18]
Dalam kaitannya dengan pemberantasan korupsi, Suyatno berpandangan bahwa pengawal peraturan perundang-undangan seperti polisi, hakim, inspektur, jaksa, dan pembela ikut menentukan sukses atau tidaknya pemberantasan korupsi. Apabila didalam penegakan hukum itu masih terjadi mercenary corruptionmaka yang terjadi ialah terbentuknya multiplier effect (efek penggandaan korupsi)
3.2 Saran
Penguatan peranan lembaga peradilan merupakan kunci terakhir untuk menyelesaikan masalah korupsi dan nepotisme. Jika itu yang dimaksud, maka kemungkinan terjadinya korupsi tidak bisa dibendung, mana kala lembaga peradilan tidak dapat berbuat adil. Dalam hal ini, unsur manusia memegang peranan penting dan menentukan. Untuk itu, didalam lembaga peradilan, orang orangnya harus dipilih dari mereka yang memiliki integritas yang tidak diragukan. Seleksi untuk menguji integritas ini tidak bisa dilakukan oleh orang lain, selain oleh pribadi masing-masing

DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
 Abidin, H. Zamhari, Pengertian dan Asas Hukum Pidana (Dalam Schema atau Bagan dan Synopsis atau Catatan Singkat), (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986).
 Aperdoorn, L. J van, Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta: Pradnya Paramita,1981).
 Atmasasmita, Romli, Pengantar HukumPidana Internasional Bagian II (Jakarta, PT Hecca Mitra Utama: 2004).
 Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, Pengkajian Hukum Pencegahan Korupsi Dan Hubungannya Dengan Transparansi Anggaran Pada Instansi Pemerintah, (Jakarta: BPHN, 2008).
 Chaerudin, Strategi Pencegahan dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi, (Bandung: PT Refika Aditama,2008).
 Chazawi, Adami, Hukum Pidana Materiil dan Formil di Indonesia (Malang: Bayumedia Publishing, 2005).
 Danil, Elwi, Korupsi: Konsep, Tindak Pidana, dan Pemberantasannya (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2014).
 Djaja, Ermansjah, Tipologi Tindak Pidana Korupsi di Indonesia (1) (Bandung: Mandar Maju, 2010).
Ekaputra, Mohammad, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Medan: USU Press, 2013).
Hamzah, Jur Andi, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional(Jakarta:PT RajaGrafindo Persada, 2007).
Indrayana, Denny, Indonesia Optimis (Jakarta: PT Buana Ilmu Populer, 2011



B.Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
KUHP dan KUHAP Beserta Penjelasannya (Bandung: Citra Umbara), 2010
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor : X/MPR/2001 Tentang Laporan Pelaksanaan Putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Oleh Lembaga Tinggi Negara Pada Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 2001.
United Nations Against Coruuption (UNCAC 2003), Konvensi PBB Anti Korupsi 2003
C.Sumber Lain
Anggadha, Arry, Purborini, MA: Pencekalan, kewenangan Spesial KPK, 11 September 2009, http://politik.news.viva.co.id/news/read/89678ma_pencekalan_kewenangan_spesial_kpk, (diakses pada tanggal 31 Maret 2020, pukul 15:37 WIB)
Asian Development Bank, Anti Korupsi Dan Integritas, (diakses dari http://www.adb.org/sites/default/files/institutionaldocument/33272/files/an ticorruption-and-integrity-id.pdf, pada tanggal 31 Maret 2020, pukul 15:21WIB)









[1] Asian Development Bank, Anti Korupsi Dan Integritas, (diakses dari
 http://www.adb.org/sites/default/files/institutional-document/33272/files/anticorruption-andintegrity-id.pdf, pada tanggal 31 Maret 2020, pukul 15:21 WIB

[2] Jonathan R. Pincus, Jeffrey A. Winters, Membongkar Bank Dunia (Reinventing the World Bank), (Jakarta: Cornell University Press, Ithaca and London, Djambatan), hal.222

[3] Jur Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007), hal. 4-6
[4] Ermansjah Djaja, Memberantas Korupsi Bersama KPK: Kajian Yuridis Normatif UU Nomor 31 Tahun 1999 juncto UU Nomor 20 Tahun 2001 Versi UU Nomor 30 Tahun 2002 (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hal. 183-184
[5] Ibid, hal. 54-55
[6] Ibid,hal.44
[7] Ibid, hal. 58.
[8] Ibid, hal. 58
[9] R. Wiryono, Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hal. 3-5
[10] Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia UU No. 7 Tahun 1950, LN 1950–56, d.u. 15 Ag 1950. Presiden Republik Indonesia Serikat, pada Pasal 96 ayat (1) Pemerintah berhak atas kuasa dan tanggung-djawab sendiri menetapkan undang-undang darurat untuk mengatur hal-hal penjelenggaraan-pemerintahan jang karena keadaan-keadaan jang mendesak perlu diatur dengan segera. (2) Undang-undang darurat mempunjai kekuasaan dan deradjat undang-undang; ketentuan ini tidak mengurangi jang ditetapkan dalam pasal yang berikut
[11] R. Wiryono, op.cit, hal. 4.
[12] Ibid,hal.60
[13] Arry Anggadha, Purborini, Mahkamah Agung: Pencekalan, kewenangan Spesial KPK, 11 September 2009, ( http://politik.news.viva.co.id/news/read/89678ma_pencekalan_kewenangan_ spesial_kpk, diakses pada tanggal 31 Maret,Pukul 15.30 WIB
[14] Denny Indrayana, Indonesia Optimis (Jakarta: PT Buana Ilmu Populer, 2011), hal. 152
[15] Ibid,hal.161
[16] Ibid,hal.165
[17] Penjelasan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
[18] Chaerudin, , Strategi Pencegahan dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi, (Bandung: PT Refika Aditama,2008),  hal.59

Tidak ada komentar:

Posting Komentar