MAKALAH
PENGATURAN TINDAK PIDANA
KORUPSI DAN PENANGGULANGANNYA DI INDONESIA
Diajukan untuk memenuhi salah
satu tugas Mata Kuliah Kapita Selekta Hukum Pidana yang
diampu oleh :
Muhammad
Din Al Fajar,SH.,MH.
Disusun Oleh:
Affan Febriansyah (170200016)
Ginata Marselo Surbakti (170200019)
Andre (170200180)
Dandy Angilbert Manik (170200185)
Marshal Arthur Sijabat (170200190)
Dea Vony
Nifili Zega (170200201)
Dorkas Sinurat (170200264)
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2020
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi
Maha Panyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang
telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah ini tentang Pengaturan Tindak Pidana Korupsi dan Penanggulangannya.
Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan
mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan
makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak
yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas
dari semua itu,Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari
segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan
terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat
memperbaiki makalah ini.
Dan tak lupa juga kami
mengucapkan
terimakasih kepada dosen
Kapita
Selekta Hukum Pidana, Muhammad Din Al Fajar, SH.,MH. Sehingga makalah ini dibuat dan diselesaikan.
Medan,
27 Februari 2020
Kelompok
I
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR........................................................................ 2
DAFTAR
ISI....................................................................................... 3
BAB
I :PENDAHULUAN.................................................................. 4
a.Latar
Belakang dan Pengertian Tindak Pidana Korupsi........
b.Rumusan Masalah..................................................................
BAB
II :PENGATURAN TINDAK PIDANA KORUPSI (TPK).....
a.Delik-delik yang diatur didalam Tindak
Pidana Korupsi dan Sanksi Pidananya...............................................................................
b.Pembuktian
Terbalik Didalam Tindak Pidana Korupsi.........
c.Alat bukti didalam Tindak Pidana Korupsi............................
BAB III :PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSI...
BAB
1V :PENUTUP.............................................................................
a.Kesimpulan............................................................................
. b.Saran......................................................................................
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
a.Latar Belakang dan Pengertian
Tindak Pidana Korupsi
Korupsi dalam bahasa Latin disebut corruption- corruptus, didalam Bahasa
Belanda disebut Corruptie, dalam
bahasa Inggris disebut Corruption dan
dalam bahasa sansekerta yang tertuang dalam Nasakah Kuno Negara Kertagama arti
harafiah corrupt menunjukkan kepada
perbuatan yang rusak,busuk,bejad,tidak jujur yang disangkutpautkan dengan
keuangan.[1]
Korupsi didalam Black’s Law
Dictionary adalah ”suatu perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk
memberikan suatu keuntungan yang tidak sesuai dengan kewajiban resmi dan
hak-hak dan pihak-pihak lain,secara salah menggunakan jabatannya atau
karakternya untuk mendapatkan suatu keuntungan untuk dirinya sendiri atau untuk
orang lain,bersamaan dengan kewajibannya dan hak-hak dari pihak lain.[2]
Dalam pengertian lain, korupsi dapat
pula dilihat sebagai perilaku tidak mematuhj prinsip. Artinya dalam pengambilan
keputusan di bidang ekonorni, baik dilakukan oleh perorangan di egara swasta
maupun pejabat egara, menyimpang dari aturan yang berlaku[3],
Hakekat korupsi berdasarkan hasil penelitian World Bank adalah “An Abuse Of Public Power For Private Games[4]” penyalahgunaan
kewenangan/kekuasaan untuk kepentingan pribadi.
Pengertian korupsi secara yuridis,
baik arti maupun jenisnya telah dirurnuskan, dj dalam Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan deak
Pidana Korupsi dan undang-undang sebelumnya, yaitu Undang-Undang Nomor 3 Tahun
1971. Dalarn pengertian. Yuridis, pengertian korupsi tidak hanya terbatas
kepada perbuatan yang memenuhi rumusan delik dapat merugikan keuangan egara
atau perekonomian egara, tetapi meljputi juga perbuatan-perbuatan yang memenuhi
rumusan delik, yang merugikan masyarakat atau orang perseorangan.
Perkembangan korupsi di Indonesia
masih tergolong tinggi, sedangkan pemberantasannya masih sangat lamban. Romli
Atmasasmita menyatakan bahwa korupsi di Indonesia sudah merupakan virus yang
menyebar keseluruh tubuh pemerintah sejak tahun 1960-an langkah-langkah
pemberantasannya pun masih tersendat sampai sekarang. Selanjutnya, dikatakan
bahwa korupsi berkaitan pula dengan kekuasaan karena dengan kekuasaan itu
penguasa dapat menyalahgunakan kekuasaannya untuk kepentingan pribadi, keluarga
dan kroninya. [5]Oleh
karena itu, korupsi tidak lagi digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan
telah menjadi suatu kejahatan luar biasa (extra ordenary crime). Hal ini
dikarenakan, metode konvensional yang selama ini digunakan, terbukti tidak bisa
menyelesaikan persoalan korupsi yang ada di masyarakat. Dengan demikian, dalam
penanganannya pun juga harus menggunakan cara - cara yang luar biasa pula.
b.Rumusan Masalah
1.Bagaimana
Pengaturan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia?
2.Bagaimana
Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia?
BAB II
PENGATURAN TINDAK PIDANA KORUPSI
a.
Delik - Delik yang Diatur Didalam Tindak Pidana Korupsi dan Sanksi Pidananya
Berdasarkan
ketentuan Undang-Undang No.31 Tahun 1999
Jo. Undang-Undang No.20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan tindak Pidana
Korupsi pada dasamya dapat dikelompokkan beberapa ienis korupsi, antara lain :
a. Korupsi mengenai kerugian Negara,
(Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 3):
1. Pasal 2 ayat l menyatakan:
Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi yang dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara. dipidana dengan pidana peniara seumur hidup atau pidana peniara
paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit
Rp.200.000.000.(dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.
1.000.000.000.(satu milyar rupiah).
2. Pasal 3 menyatakan : Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan
diri sendiri atau orang lain atau suau. korporasi, menyalahgunakan kewenangan,
kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang
dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan
pidana peniara paling singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun, dan/atau denda
paling sedikit Rp.50.000.000.(lima puluh iuta rupiah), paling banyak
Rp.1.000.000.000.(satu milyar rupiah).
Jika diperhatikan kedua
Pasal tersebut diatas terdapat perbedaan
l. Pada Pasal 2 ayat 1
Undang-Undang No. 31 tahun 1999 lo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 dipenmtukan
bagi mereka yang tergolong bukan Pegawai Negeri. sanksi pidananya penjara
seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 Tahun dan paling lama 20
Tahun,
2.Sedangkan: Pada Pasal 3
Undang-Undang No. 31 tahun 1999 lo. UndangUndang No. 20 Tahun 2001 dituiukan
kepada merekayang tergolong Pegawai Negeri yang melakukan korupsi dengan
menggunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena iabatan
atau kedudukan, sanksi hukumannya peniara seumur hidup atau pidana peniara
paling singkat l Tahun dan paling lama 20 tahun.
Disamping hal tersebut diatas sanksi pidana
Pasal 2 ayat 1 dan 2 lebih berat dari pada Pasal 3, sedangkan didalam Pasal 2
ayat 2 pidananya dapat diberikan sanksi pidana mati jika perbuatan korupsi
tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan
undang-undang yang berlaku dan pada waktu terjadi bencana alam nasional atau
dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.
Pegawai negeri yang dimaksud disini sesuai
dengan ketentuan pasal 1 ayat 2 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 yang meliputi:
a.Pegawai negeri sebagaimana Undang-Undang Tentang Kepegawaian.
b.Pegawai
Negeri sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang - Undang Hukum Pidana.
c.Orang yang menerima alau upah dari keuangan negara atau
daerah.
d.Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang
menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah. atau:
e.Orang yang menerima gaii atau upah dari korporasi lain yang
mempergunakan modal atau Fasilitas dari negara atau masyarakat.
sedangkan mengenai setiap
orang adalah orang perseorangan termasuk korporasi.
b.
Korupsi mengenai suap menyuap. (Pasal 5 ayat (l) huruf (a,b), Pasal 5 ayat (2),
Pasal 6 ayat (I) huruf (a,b), Pasal ll. Pasal 12 huruf (c,d), Pasal 13).
l.
Pasal 5 ayat (1) menyatakan : Dipidana dengan pidana peniara
paling singkat l (satu) tahun dan palmg lama 5 (Iima) tahun dan atau pidana
denda paling sedikit Rp.50.000.000.(Iima puluh juta rupiah) dan paling banvak Rp.250.000.000.(dua
ratus lima puluh iuta rupiah) setiap orang yang:
Huruf a: memberi atau
mejanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud
supaya pegawai negara atau penyelenggara ncgara tersebut bcrbuat atau tidak berbuat
sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya :atau
Huruf b: mcmberi
sesuatu kepada pegawan negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan
dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban. dilakukan atau tidak
dilakukan dalam iabatannya.
2. Pasal 5 ayal (2) menyatakan
: Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau
janji sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (l) huruf a atau huruf b, dipidana
dengan pidana yang sama sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (l).
3.
Pasal 6 ayat (1) menyatakan : Dipidana dengan pidana peniara
paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan atau
pidana denda paling sedikit Rp.150.000.000.(seratus lima puluh juta rupiah) dan
paling banyak Rp.750.000.000.(tujuh ratus lima puluh iuta rupiah) setiap orang
yang:
Huruf a: memberi atau
menjaniikan sesuatu kepada hakirn dengan maksud untuk mempengaruhi putusan
perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili atau
Huruf b:memberi atau menjanjikan sesuatu
kepada seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan
meniadi Advokat untuk menhadiri sidang pengadilan dengan maksud untuk mempengaruhi
penasehat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang
diserahkan padanya.
4.Pasal
ll menyatakan : Dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 1 (satu) tahun atau paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda
paling sedikit Rp.50.000.000.(lima puluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp.250.000.000.(dua ratus lima puluh juta rupiah), pegawai negeri atau
penyelenggara negara yang menerima hadiah atau ianji padahal diketahui atau
patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau
kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya atau yang menurut pikiran orang
yang memberikan hadiah atau janii tersebut ada hubungannya dengan jabatan.
5.
Pasal 12 menyatakan : Dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (duapuluh) tahun dan pidana denda
paling sedikit Rp.200.000.000.(dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.
1.000.000.000.(satu milyar rupiah) :
Huruf c: Hakim yang
menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah
atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang
diserahkan kepadanya untuk diadili.
Hurufd: Seseorang
yang menurut ketentuan perdturan perundang-undangan ditentukan menjadi tadvokat
untuk menghadiri sidang pengadilan, menérima hadiah atau janji, padahal
diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut untuk mempéngaruhi
nasehat atau pendapat yang akan diberikan berhubungan dengan perkara yang
diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.
Pasal ini berisikan delik tentang advokat
menerima atau memberi hadiah atau janji.
6.Pasal
13 menyatakan : Setiap orang yang memberikan hadiah atau
janji kepada pegawai negeri dengan mengikat kekuasaan atau wewenang yang
melekat pada jabatan atau kedudukannya atau oleh pemberi hadiah atau janji
dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut dipidana dengan pidana
penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan atau denda paling banyak
Rp.150.000.000.(seratus lima puluh juta rupiah). . Pasal ini berisikan delik
tentang memberikan hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat
kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya.
c.
Korupsi mengenai penyalahgunaan dalam jabatan. (Pasa18, 9, 10 huruf (a,b,c)).
1.
Pasal 8 menyatakan : Dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda
pqling sedikit Rp.150.000.000.(seratus lima puluh juta) dan paling banyak
Rp.750.000.000.(tujuh ratus lima puluh juta rupiah), pegawai negeri atau orang
selain pegawai negeri yang ditugaskan menialankan suatu jabatan urnum secara
terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau
surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang atau surat
berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain atau membantu dalam
melakukan perbuatan tersebut.
2.
Pasal 9 menyatakan :Dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling
sedikit Rp.50.000.000. (lima puluh juta) dan paling banyak Rp.250.000.000.(dua
ratus lima puluh juta rupiah), pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri
yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau
untuk sementara waktu, dengan sengaja memalsu buku-buku atau daftar. daftar
yang khusus untuk pemeriksaan administrasi.
3.Pasal 10 menyatakan :
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7
(tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.100.000.000.(seratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp.350.000.000.(tiga ratus lima puluh juta rupiah),
pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan
suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan
sengaia :
Huruf a: menggelapkan,
menghancurkan, memsaklmn atau membuat tidak dapat dipakai barang. akta, surat
atau daftar yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan di muka peiabat
yang berwenang yang dikuasai karena jabatannnya ; atau
Huruf b: membiarkan orang
lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai
barang akta, surat atau daftar tersebut; atau
Huruf c: membantu orang
lain menghilangkan. menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai
barang, akta, surat atau daftar tersebut.
d.Korupsi
mengenai pemerasan. (Pasal 12 huruf (e,f,g)).
Pasal 12 menyatakan :
Dipidana dengan pidana peniara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama
20 (duapuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.200.000.000: (dua ratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000: (satu milyar rupiah) :
Huruf e: Pegawai negeri atau penyelenggara negara
yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan
hukum atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan
sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan atau untuk
mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri.
Huruf f : Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang
pada waktu menialankan tugas meminta, menerima atau memotong pembayaran kepada
pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kepada kas umum
seolah-olah pegawai negeri atau penyelenggara yang lain atau kas umum tersebut
mempunyai hutang kepadanya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan mempakan
hutang.
Huruf g: Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang
pada waktu menjalankan tugas meminta atau menerima pekerjaan atau penyerahan
barang seolah-olah merupakan hutang kepada dirinya, padahal diketahui bahwa hal
tersebut bukan merupakan hutang.
e.
Korupsi mengenai perbuatan curang. (Pasal 7 ayat (1) huruf (a,b,c,d) dan ayat
(2), Pasal 12 huruf (i)).
1.
Pasal 7 ayat (1) menyatakan : Dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau pidana
denda paling sedikit Rp.100.000.000.(seratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp.350.000.000.(tiga ratus lima puluh juta rupiah).
Huruf a: Pemborong, ahli bangunan yang pada waktu
membuat bangunan atau penjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan
bangunan, melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang
atau barang atau keselamatan negara dalam keadaan perang.
Huruf b: Setiap orang yang bertugas mengawasi
pembangunan atau penyerahan bahan bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curang
sebagaimana dimaksud pada huruf (a).
huruf c: Setiap orang
yang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara Nasional lndonesia dan
atau Kepolisian Negara Republik Indonesia melakukan perbuatan curang yang dapat
membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang atau
Huruf d: Setiap orang yang benugas mengawasi
penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian
Negara Republik Indonesia dengan ungaia membiarkan perbuatan curang sebagaimana
dimaksud dalam huruf (c).
2.Pasal
7 ayat (2) menyatakan : Bagi orang yang menerima penyerahan
bahan bangunan atau orang yang menetima penyerahan barang keperluan Tamara
Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dan membiarkan
perbuatan curang sebagaimana dimakmd dalam ayat (l) humf (a) atau huruf (c),
dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
3.Pasal
12 huruf i menyatakan : Pegawai Negeti alau penyelenggara
negara baik langsung maupun tidak langsung dengan sengaia turut sena dalam pemborongan
pengadaan atau persewaan yang pada saat dilakukan perbuatan untuk seluruh atau
sebagian ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya.
f.Korupsi
mengenai benturan kepentingan dalam pengadaan. (Pasal 12 huruf (i)).
Pasal 12 huruf i menyatakan :
Pegawai Negeri atau penyelenggara negara baik langsung maupun tidak langsung
dengan sengaia turut serta dalam pemborongan pengadaan atau persewaan yang pada
saat dilakukan perbuatan untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus
atau mengawasinya.
g.Korupsi
mengenai Gratifikasi. (Pasal 12 B,C)
1. Pasal 12 B ayat (l) menyatakan :
Setiap Gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap
pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan
kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut:
Huruf a: yang nilainya
Rp. 10.000. 000.(sepuluh juta rupiah). atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi
tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi.
Huruf b: yang nilainya
kurang dari Rp. 10.000.000.(sepuluh juta rupiah).pembuktian bahwa gratiiikasi
tersebut suap dilakukan oleh penentut umum.
2.
Pasal 12 B ayat (2) menyatakan : Pidana bagi pegawai
negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah
pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun
dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp.200.000.000.~ (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp.1-.OO0.000.000.(satu milyar rupiah).
3.
Pasal 12 C ayat (1) menyatakan : Ketentuan sebagaimana
dimaksud Pasal 12 B ayat (1) tidak berlaku, jika penerima melaporkan
Gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Korupsi.
4.
Pasal 12 C ayat (2) menyatakan : Penyampaian laporan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilakukan oleh penerima Gratiflkasi
paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal gratiflkasi
tersebut diterima.
5.Pasal
12 C ayat (3) menyatakan : Komisi Pemberamasan deak Pidana
Korupsi dalam waktu paling lambat 30 (liga puluh) hari keria seiak tanggal
menerima laporan waiib menetapkan gratiflkasi dapat meniadi milik penerima .
k.
Korupsi mengenai merintangi proses pemeriksaan perkara korupsi, (Pasal 21).
Pasal 21 menyatakan :
setiap orang yang dengan sengaia mencegah, merintangi atau menggagalkan secara
langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang
Terdakwa maupun para saksi dalam perkara korupsi dipidana dengan pidana peniara
paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau
denda paling sedlkit Rp 150 000 000 . (seratus lima puluh juta rupiah) dan
paling banyak Rp.600 000 000.. (enam ratus juta rupiah).
i.Korupsi mengenal tidak memberikan
keterangan atau memberikan keterangan yang tidak benar. (Pasal 22 Jo.Pasal 28).
l. Pasal 22 menyatakan :
Setiap orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, pasal 29, Pasal 35 atau Pasal
36 yang dengan sengaja tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang
tidak benar. dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan
paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau denda paling sedikit Rp.150.000.000.(seratus
lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.600.000.000.(enam ratus juta
rupiah).
2.Pasal 28 menyatakan :
Untuk kepentingan penyidikan. Tersangka wajib memberikan keterangan tentang
seluruh harta bendanya dan harta benda isteri atau suami.anak dan harta benda
setiap orang atau koorporasi yang diketahui dan atau yang diduga mempunyai
hubungan dengan tindak pidana kompsi yang dilakukannya.
j. Korupsi mengenai Bank yang tidak
memberikan keterangan atau memberikan keterangan palsu. (Pasal 22 Jo. Pasal
29).
l. Pasal 22 menyatakan : Setiap
orang scbagaimana dimaksud dalam Pasal 28. pasal 29, Pasal 3S atau Pasal 36
yang dengan sengaia tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak
benar, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama
12 (dua belas) tahun dan atau denda paling sedikit Rp.150.000.000.(seratus Iima
puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.600.000.000.(enam ratus juta rupiah).
2.Pasal 29 ayat (l) menyatakan :
Untuk kepentingan penyidikan, penuntutan atau pemeriksaan disidang pengadilan,
penyidik, penumut umum, atau hakim berwenang meminta keterangan kepada bank
tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa.
3. Pasal 29 ayat (2) menyatakan :
Permimaan keterangan kepada bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan
kepada Gubernur bank Indonesia melakukan tindak pidana korupsi, maka keterangan
tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undngan yang berlaku.
4.Pasal 29 ayat (3) menyatakan :
Gubernur Bank Indonesia berkewajiban untuk memenuhi permintaan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) dalam waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja
terhitung sejak dokumen permimaan diterima secara lengkap.
5.Pasal 29 ayat (4) menyatakan :
Penyidik, penuntut umum atau hakim dapat meminta kepada bank untuk memblokir rekening
simpanan milik tersangka atau terdakwa yang diduga hasil dari korupsi.
Pasal 29 ayat (5) menyatakan :
Dalam hal hasil pemeriksaan terhadap tersangka atau terdakwa tidak diperoleh
bukti yang cukup atas pennintaan penyidik, penuntut umum atau hakim, bank pada
hari itu juga mencabut pemblokiran.
k. Korupsi mengenai saksi atau ahli
yang tidak memberikan keterangan atau memberikan keterangan palsu (Pasal 22 Jo.
Pasal 35).
1. Pasal 22 menyatakan :
Setiap orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, pasal 29, Pasal 35 atau Pasal
36 yang dengan sengaja tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang
tidak benar, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan
paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau denda paling sedikit
Rp.150.000.000.(seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp.600.000.000.(enam ratus juta rupiah).
2. Pasal 35 ayat (1) menyatakan :
Setiap orang wajib memberi keterangan sebagai saksi atau ahli, kecuai ayah,
ibu, kakek, nenek, saudara kandung, isteri atau suami, anak dan cucu dari
Terdakwa.
3.
Pasal 35 ayat (2) menyatakan : Orang
yang dibebaskan sebagai saksi sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) dapat di
periksa sebagai saksi apabila mereka menghendaki dan disetujui secara tegas
oleh terdakwa.
4. Pasal 35 ayat (3) menyatakan :
Tanpa persetujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) mereka dapat memberikan
keterangan sebagai saksi tanpa di sumpah.
l.Koeupsi mengenai orang yang
memegang rahasia jabatan tidak memberikan keterangan atau memberikan keterangan
palsu. (Pasal 22 J0. Pasal 36).
1. Pasal 22 menyatakan :
Setiap orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, pasal 29, Pasal 35 atau Pasal
36 yang dengan sengaja tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang
tidak benar, dipidana dengan pidana peniara paling singkat 3 (tiga) tahun dan
paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau denda paling sedikit
Rp.150.000.000.(seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp.600.000.000.(enam ratus juta rupiah).
2. Pasal 36 menyatakan :
Kewajiban memberikan kesaksian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 berlaku iuga
kepada mereka yang menurut pekerjaan, harkat dan martabat atau iabatannya
diwajibkan menyimpan rahasia kecuali petugas agama yang menurut keyakinannya
hams menyimpan rahasia.
m. Korupsi mengenai saksi yang
membuka identitas pelapor, (Pasal 24 Jo. Pasal 31).
l. Pasal 24 menyatakan :
saksi yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan atau denda paling
banyak Rp.150.000.000.(seratus lima puluh juta rupiah).
2. Pasal 31 ayat (1) menyatakan :
Dalam penyidikan dan pemeriksaan di sidang pengadilan, saksi dan orang lain
yang bersangkutan dengan tindak pidana korupsi dilarang menyebut nama atau
alamat pelapor, atau hal-hal lain yang memberikan kemungkinan dapat
diketahuinya identitas pelapor. [6]
3. Pasal 31 ayat (2) menyatakan :
Sebelum pemeriksaan dilakukan, larangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (l)
Aiberitahukan kepada saksi dan orang lain tersebut.
b.Pembuktian
Terbalik Dalam Tindak Pidana Korupsi
Pembalikan beban pembuktian atau
”omkering van de bewijslast” (the reversal of the burden of proof), yang sering
juga disebut sistem pembuktian terbalik, secara umum dapat dipahami sebagai
suatu sistem yang meletakkan beban pembuktian di tangan terdakwa untuk
membuktikan bahwa ia tidak bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan
kepadanya. Dalam hal terdakwa tidak berhasil membuktikan bahwa ia tidak
bersalah, maka ia dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana. Sementara
penuntut umum dibebaskan dari kewajiban pembuktian.[7]
Di
tengah kebuntuan proses hukum pembuktian untuk menghadapkan para pelaku korupsi
ke hadapan proses peradilan pidana, penerapan sistem pembalikan beban
pembuktian oleh sementara ahli hukum diyakini mampu mengeliminasi tingkat
kesulitan pembuktian. Urgensi pemberlakuan sistem tersebut terletak pada
semakin rumitnya praktik-praktik korupsi yang terjadi di Indonesia, sehingga
cenderung sulit terungkap.[8]
Dengan penerapan sistem itu,
diyakini bahwa pelaku (koruptor) tidak akan mampu atau tidak berdaya untuk
meloloskan diri dari tuntutan hukum. Sudah cukup untuk menyatakannya bersalah
melakukan tindak pidana korupsi manakala 1a tidak mampu membuktikan bahwa
kekayaannya diperoleh secara sah. Dengan demikian, jaksa penuntut umum tidak
perlu melakukan pembuktian seperti yang selama' mi berlaku di Indonesia.
Meskipun demikian, diperlukan sikap
kehati-hatian dari aparat penegak hukum dalam melakukan penuntutan. Karena
tidak tertutup kemungkinan seseoran g yang memang memiliki kekayaan secara sah,
namun karena keterbatasan pengetahuan hukum yang dimiliki menyebabkan ia tidak
mampu menjelaskan sumber kekayaannya seéara sempiirna, sehingga oleh karena itu
ia dinyatakan terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi. Jadi
keterbatasan kemampuan untuk membuktikan itu pulalah yang mengakibatkan
seseorang yang semestinya secara faktual tidak bersalah (factual guilt) mesti
berhadapan dengan pemidanaan. Keadaan seperti itulah sebenarnya yang hendak
dilindungi oleh asas ”non self incrimination", yakni asas untuk tidak
menyalahkan diri sendiri. Asas ini merupakan salah satu prinsip umum yang panting
dan diakui secara universal.
Penerapan sistem pembalikan beban
pembuktian dalam pengalaman beberapa negara, telah cukup untuk membuktikan
efektivitasnya dalam penanggulangan masalah korupsi. Pengamatan terhadap
pengalaman beberapa negara seperti Malaysia, Singapura, dan Hong Kong,
terungkap bahwa penerapan sistem tersebut cukup ampuh dalam menurunkan angka
korupsi.
Di Malaysia relatif banyak pejabat
pemerintah yang dipecat dan disita kekayaannya, serta diadili karena tidak
mampu menjelaskan asal usul kekayaannya yang tidak seimbang atau melebihi
pendapatannya yang sah. Dalam kaitan itu: Baharuddin Lopa mengemukakan .sebuah
kasus sebagai sekedar contoh, di mana seorang pejabat tinggi setingkat menteri
diberhentikan dan dituntut karena didapati mempunyai simpanan di bank sebesar
tidak lebih dari 5.000 ringgit, Pejabat tersebut temyata tidak mampu
menjelaskan sumber perolehan kekayaannya secara sah[9].
Atas dasar pengalaman yang demikian itu, dan dikaitkan dengan kenyataan korupsi
yang ada di Indonesia, akhimya Lopa berkesimpulan, untuk menghentikan
terjadinya korupsi yang sangat merugikan keuangan negara dan/atau perekonomian
negara, maka kebijakan untuk menerapkan sistem pembalikan beban pembuktian
patut diterima sebagai suatu terobosan hukum dalam konteks pembaruan hukum
pidana.
Pemikiran seperti itu sebenarnya
telah sejak lama terungkap dalam pembicaraan para ahli hukum di Indonesia.
Panel Diskusi tentang korupsi dan pembangunan yang diadakan oleh Dewan
Mahasiswa Universitas Indonesia pada tahun 1970, dalam salah satu kesimpulannya
mengungkapkan adanya keinginan yang kuat untuk menerapkan tindakantindakan
eksepsional seperti ”omkering van de bewijslast" dalam pemberantasan
tindak pidana korupsi[10]
Keinginan untuk menerapkan sistem
pembalikan beban pembuktian kembali diperbincangkan pada saat pembahasan
Rancangan Undang-Undang Pemberantasan T indak Pidana Korupsi Tahun 1999 di
lembaga legislatif. [11]Sayangnya
gagasan itu tidak memperoleh respons legislatif yang memadai. Hanya dengan
melakukan sedikit perubahan redaksional, dan lebih memberikan penekanan pada
hak terdakwa untuk membuktikan bahwa ia tidak bersalah, ternyata pembuat undang-undang
masih membuat rumusan yang secara substansial tidak jauh berbeda dengan sistem
pembuktian yang terdapat di dalam Undang-Undang Korupsi Tahun 1971.
Rumusan
tentang pembuktian yang diimplementasikan ke dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 adalah sebagaimana termuat di dalam Pasal 37 yang berbunyi:
(1)
Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana
korupsi;
(2)
.Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana
korupsi, maka keterangan tersebut dipergunakan sebagai hal yang menguntungkan
baginya;
(3)
Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta
benda istrinya atau suami, ahak dan harta benda setiap orang atau korporasi
yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan;
(4)
Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidak seimbang
dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya, maka keterangan
tersebut dapat digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa
terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi;
(5)
Dalam keadaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat
4, penuntut umum tetap berkewajiban membuktikan dakwaannya,
Dari
rumusan pasal tersebut di atas diketahui, bahwa kewajiban pembuktian dalam
perkara korupsi, masih tetap sepenuhnya berada pada penuntut umum sebagaimana
halnya dalam undang-undang sebelumnya. Akan tetapi, ketentuan itu agak Iebih
maju bila dibahdingkan dengan ketentuan yang sama dalam undang-undang korupsi
sebelumnya, khususnya dalam hal memberikan pengakuan terhadap hak terdakwa
11nmk membuktikan bahwa ia tidak bersalah. Hak seperti itu tidak ditegaskan
dalam undang-undang sebelumnya. Dapat tidaknya terdakwa memberi keterangan
tentang pembuktian menurut rumusan undang-undang korupsi tahun 1971, sepenuhnya
tergantung pada keinginan hakim. Dalam hal hakim tidak memperkenankannya, maka
terdakwa tidak dapat melakukan pembuktian bahwa ia tidak bersalah melakukan
tindak pidana korupsi.
Bertolak dari pemahaman konseptual
terhadap sistem pembalikan_ beban pembuktian, maka ketentuan Pasal 37
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 belum dapat dikatakan telah mengintroduksi
sistem pembalikan beban pembuktian. Paling tidak ada dua hal yang dapat
dikemukakan untuk mengatakan demikian, yaitu:
a.
ketentuan itu belum meletakkan sama sekali kewajiban pembuktian pada terdakwa;
dan penuntut umum tidak dibebaskan dari kewajiban pembuktian tentang kesalahan
terdakwa[12]
b.
dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak bersalah, itu belum dapat
digunakan sepenuhnya untuk membebaskannya dari dakwaan. Atau sebaliknya, dalam
hal ia tidak dapat membuktikan, maka dengan demikian belum dapat digunakan
untuk mengatakan bahwa ia telah terbukti melakukan tindak pidana korupsi [13]Dalam
hubungan itu masih diperlukan alat-alat bukti yang lain.
Meskipun demikian, undang-undang
korupsi itu temyata tidak pula sepenuhnya mengikuti tata cara pembuktian biasa
seperti yang dikenal dalam Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Ketentuan Pasal 37 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dapat dikatakan sebagai
pengembangan dari ketentuan yang herdapat di dalam KUHAP. Dalam sistem KUHAP
ditentukan, bahwa “pemmtut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap seorang
yang didakwa melakukan suatu tindak pidana, dengan konsekuensi hams membuktikan
apa yang didakwakannya'. Sedangkan ”terdakwa sama sekali tidak dibebam'
kewajnhn pembuktian."
Menurut ketentuan Pasal 37
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, terdakwa juga wajib membuktikan bahwa
dirinya tidak melakukan tindak pidana kompsi, khususnya yang berkaitan dengan
harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap
orang atau korporasi yang diketahui atau yang diduga mempunyai hubungan dengan
tindak pidana korupsi yang dilakukan terdakwa. Konstruksi hukum seperti itu,
oleh pembuat undang-undang disebutsebagai pembuktian berimbang, yang mencakup
pula pembuktian terbalik terbatas, namun dengan tetap menjunjung tinggi asas
praduga tidak bersalah[14].
Akan tetapi, tidak ada jelasan lebih lanjut tentang apa yang dimaksud
pembuktian terbalik terbatas atau berimbang itu sendiri.
Bila diperhatikan secara
keseluruhan, tidak ada yang spesial dari ketentuan pembuktian yang terdapat di
dalam Pasal 37 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 itu, terutama sekali
menyangkut ketentuan pada ayat (1) dan ayat (2). seharusnya, dalam hal terdakwa
dapat membuktikan bahwa ia tidak bersalah, maka ia hams dibebaskan. Meskipun
demikian, ketentuan pada ayat (3) dan ayat (4) pasal itu cukup menarik untuk
didiskusikan lebih lanjut, yaitu menyangkut adanya kewajiban terdakwa untuk
memberikan keterangan tentang harta benda keluarga clan seterusnya.
Kewajiban pembuktian seperti itu
memang bukan merupakan sesuatu yang lumrah dalam suatu proses peradilan pidana.
Sebagai ilustrasi dapat dikemukakan sebuah contoh sederhana dalam kasus
pencurian. Seorang didakwa oleh penuntut umum melakukan pencurian, maka dalam
hal seperti itu tidak ada aturan yang mewajibkannya untuk memberikan keterangan
tentang harta kekayaan keluarganya. Jadi kewajiban pembuktian seperti itu dapat
dikatakan sebagai sesuatu yang spesial sifatnya dalam pemberantasan tindak
pidana korupsi.
Lalu bagaimana dan apa sanksinya
jika yang bersangkutan tidak bersedia memberikan keterangan tentang harta benda
keluarganya? Untuk mengatasi hal tersebut, seharusnya ayat (3) Pasal 37
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dilanjutkan dengan kalimat, ”jika terdakwa
tidak mau memberikan keterangan tentang harta benda keluarganya, maka dengan
demikian dapat menimbulkan dugaan bahwa hasil korupsinya telah disalurkan
kepada keluarganya.”
c.Alat Bukti Dalam Tindak Pidana
Korupsi
Pasal
184 ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa alat bukti yang sah dalam perkara pidana
adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan
terdakwa. Lantas di mana posisi rekaman sebagai sebagai salah satu bentuk
informasi elektronik sebagai alat bukti dalam kasus pidana[15]?
Informasi
yang disimpan secara elektronik, termasuk rekaman, tidak dapat diajukan sebagai
alat bukti berdasarkan KUHAP. KUHAP juga tidak mengatur bagaimana
legalitas print out (hasil cetak) sebagai alat bukti atau tata
cara perolehan dan pengajuan informasi elektronik sebagai alat bukti.
Informasi
atau dokumen elektronik baru diakui sebagai alat bukti setelah diundangkannya
UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU No.
20/2001). Pasal 26 A UU No. 20/2001 menyebutkan bahwa alat bukti yang di simpan
secara elektronik juga dapat dijadikan alat bukti yang sah dalam kasus tindak
pidana korupsi.
Selain dalam UU No. 20/2001, informasi elektronik sebagai
alat bukti juga disebutkan di dalam pasal 38 huruf b UU No. 15 Tahun 2002
tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (UU No.15/2002), serta 27 huruf b UU No.
15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (UU No. 15/2003)[16]Walaupun
UU No. 20/2001, UU No. 15/2002 dan UU No. 15/2003 telah mengakui legalitas
informasi elektronik sebagai alat bukti, akan tetapi keberlakuannya masih
terbatas pada tindak pidana dalam lingkup korupsi, pencucian uang dan terorisme.
BAB
III
PENANGGULANGAN
TINDAK PIDANA KORUPSI
Dalam penangulanggan tipikor dilakukan pernbaruan
hukum agar pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi berjalan secara
efektif dan terpadu sehinga dapat mencegah dan mengurangi kerugian negara yang
terus btambah akibat tindak pidana korupsi. Penguatan Komisi Pemberantasan
Korupsi dalam kegatan pencegahan bukan berarti kegiatan pemberantasan tindak
pidana korupsi diabaikan. Justru adanya penguatan tersebut dimaksudkan agar
kegiatan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam menjalankan tugas dan wewenangnya,
semakin baik dan komprehensif.Pembaruan hukum juga dilakukan dengan menata
kelembagaan (Komisi Pemberantasan Korupsi dan penguatan tindakan pencegahan
sehingga timbul kesadaran kepada penyelenggara negara dan masyarakat untuk
tidak melakukan tindak pidana korupsi yang dapat merugikan keuangan negara.
Kemudian penataan kelembagaan Komisi Pemberantasan Korupsi dilaksanakan sejalan
dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-Vl/2017. Di mana dinyatakan
bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan bagian dari cabang kekuasaan
pemerintahan. Komisi Pemberantasan Korupsi ternasuk ranah kekuasaan eksekutif
yang sering disebut lembaga pemerintah.HaI ini dimaksudkan agar kedudukan
Komisi Pemberantasan Korupsi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia menjadi
jelas, yaitu sebagai bagian dari pelaksana kekuasaan pemerintahan. Dengan perubahan
beberapa ketentuan dalam Undang-Undang ini, diharapkan dapat[17]:
a. Mendudukkan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai
satu kesatuan aparatur lembaga pemerintahan yang bersama-sama dengan kepolisian
dan/atau kejaksaan melakukan upaya terpadu dan terstruktrur dalam pencegahan
dan pemberantasan korupsi.
b. Menyusun jaringan kerja yang kuat dan
memperlakukan institusi yang telah ada sebagai "counterpartner" yang
kondusif sehingga pencegahan dan pemberantasan korupsi dapat dilaksanakan lebih
efektif, efisien, terkoordinasi, dan sesuai dengan ketentuan umum yang diatur
dalam peraturan perundang-undangan;
c. Mengurangi ketimpangan hubungan antar kelembagaan
penegakan hukum dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi,
dengan tidak memonopoli dan menyelisihi tugas dan wewenang penyelidikan,
penyidikan, dan penuntutan;
BAB
IV
4.1 Kesimpulan
Jika melihat pada dewasa ini tindak pidana yang dari
dulu hingga saat ini sangat hangat serta gencar diberitakan tidak hanya dalam
lingkup nasional, tetapi merambah kancah internasional salah satunya adalah
tindak pidana korupsi, yang sudah tidak asing lagi bagi seluruh lapisan
masyarakat. Terkait dengan tindak pidana tersebut, defenisi korupsi itu sendiri
beraneka ragam karena sudah sangat banyak ahli yang menerjemahkannya sesuai
dengan keadaan dan situasi yang berbeda.
Black’s Law Dictionary yang dikutip oleh Chaerudin,
bahwa korupsi adalah perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan
suatu keuntungan yang tidak resmi dengan hak-hak dari pihak lain secara salah
menggunakan jabatannya atau karakternya untuk mendapatkan suatu keuntungan
untuk dirinya sendiri atau orang lain,
berlawanan dengan kewajibannya dan hak-hak dari pihak lain
Dalam kaitannya dengan pemberantasan korupsi,
Suyatno berpandangan bahwa pengawal peraturan perundang-undangan seperti
polisi, hakim, inspektur, jaksa, dan pembela ikut menentukan sukses atau
tidaknya pemberantasan korupsi. Apabila didalam penegakan hukum itu masih
terjadi mercenary corruptionmaka yang terjadi ialah terbentuknya multiplier
effect (efek penggandaan korupsi)
4.2 Saran
Penguatan peranan lembaga peradilan merupakan kunci
terakhir untuk menyelesaikan masalah korupsi dan nepotisme. Jika itu yang
dimaksud, maka kemungkinan terjadinya korupsi tidak bisa dibendung, mana kala
lembaga peradilan tidak dapat berbuat adil. Dalam hal ini, unsur manusia
memegang peranan penting dan menentukan. Untuk itu, didalam lembaga peradilan,
orang orangnya harus dipilih dari mereka yang memiliki integritas yang tidak
diragukan. Seleksi untuk menguji integritas ini tidak bisa dilakukan oleh orang
lain, selain oleh pribadi masing-masing
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Abidin, H.
Zamhari, Pengertian dan Asas Hukum Pidana (Dalam Schema atau Bagan dan Synopsis
atau Catatan Singkat), (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986).
Aperdoorn, L.
J van, Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta: Pradnya Paramita,1981).
Atmasasmita,
Romli, Pengantar HukumPidana Internasional Bagian II (Jakarta, PT Hecca Mitra
Utama: 2004).
Badan
Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, Pengkajian
Hukum Pencegahan Korupsi Dan Hubungannya Dengan Transparansi Anggaran Pada
Instansi Pemerintah, (Jakarta: BPHN, 2008).
Chaerudin,
Strategi Pencegahan dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi, (Bandung: PT
Refika Aditama,2008).
Chazawi,
Adami, Hukum Pidana Materiil dan Formil di Indonesia (Malang: Bayumedia
Publishing, 2005).
Danil, Elwi,
Korupsi: Konsep, Tindak Pidana, dan Pemberantasannya (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2014).
Djaja,
Ermansjah, Tipologi Tindak Pidana Korupsi di Indonesia (1) (Bandung: Mandar
Maju, 2010).
Ekaputra, Mohammad, Dasar-Dasar Hukum Pidana,
(Medan: USU Press, 2013).
Hamzah, Jur Andi, Pemberantasan Korupsi Melalui
Hukum Pidana Nasional dan Internasional(Jakarta:PT RajaGrafindo Persada, 2007).
Indrayana, Denny, Indonesia Optimis (Jakarta: PT
Buana Ilmu Populer, 2011
B.Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945
KUHP dan KUHAP Beserta Penjelasannya (Bandung: Citra
Umbara), 2010
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia Nomor : X/MPR/2001 Tentang Laporan Pelaksanaan Putusan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Oleh Lembaga Tinggi Negara Pada
Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 2001.
United Nations Against Coruuption (UNCAC 2003),
Konvensi PBB Anti Korupsi 2003
C.Sumber Lain
Anggadha, Arry, Purborini, MA: Pencekalan,
kewenangan Spesial KPK, 11 September 2009, http://politik.news.viva.co.id/news/read/89678ma_pencekalan_kewenangan_spesial_kpk,
(diakses pada tanggal 21 Februari 2020, pukul 11:37 WIB)
Asian Development Bank, Anti Korupsi Dan Integritas,
(diakses dari http://www.adb.org/sites/default/files/institutionaldocument/33272/files/an
ticorruption-and-integrity-id.pdf, pada tanggal 21 Februari 2020, pukul
11:38 WIB)
[1] Sudarto Hukum dan Hukum Pidana, Alumni Bandung, Cetakan Keempat, 1996, hlm.
115.
[2] Black Henry Campbell Black’s Law Dictionary, Edisi VI, West
Publishing , St. Paul Minesota, 1990.
[3] Vito Tanzi Corruption Governmental Acrivities and Markets, IMF Working Paper,
Agustus 1994
[4] World Bank World Development
Report The State in Changing World,
Washington, DC, World Bank, 1997.
[5] Romli Atmasasmita. 2004. Sekitar
Masalah Korupsi, Aspek Nasional dan Aspek Internasional. Bandung: Mandar Maju.
Hal. 1
[6] Prof.Ediwarman,Penegakan Hukum Pidana Dalam Perspektif
Kriminologi,cetakan kedua edisi revisi, 2017
[7] Periksa Oemar Seno Adji, dalam Albert Hasibuan (ed.),
2 Guru Besar Berbicara tentang Hukum, (Bandung: Alumni, 1985), hlm. 35.
[8]Baharuddin Lopa,
Masalah Korupsi dan Pemecahannya, (Jakarta: Kipas Putih Aksara, 1997), hal
130-131.
[9] Baharuddin Lopa, Op.cit., hlm.
88-89.
[11]
Keinginan dan gagasan untuk
menerapkan sistem pembalikan beban pembuktian disampaikan oleh Fraksi Partai
Persatuan DPR.RI di dalam Pemandangan Umum Fraksi-fraksi terhadap RUU
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pada tanggal 8 April 1999.
[12]
Menurut Oemar Seno Adji,
dalam ”omkering van bewijslast” dalam bentuk mumi aslinya, tidak diperlukan
lagi jaksa membuktikan kesalahan terdakwa. Untuk itu lihat Oemar Seno Adji
dalam Albert Hasibuan (ed.). Loc.cit. Hal yang sama dikemukakan Andi Hamzah.
Untuk itu periksa Andi Hamzah, Perlindungan HakAsasi Manusia dalam Kitab
Undang-undtmx Hukum Acara Pidana, (Bandung: Binacipta, 1986), hlm. 16.
Dikatakan, ”nyatalah bahwa kedua pasal tersebut di atas tidak menunjukkan
kepada kita tentang dianutnya pembuktian terbalik, karena penuntut umum tetap
berkewajiban membuktikan bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi
[13]
Menurut Andi Hamzah, tidal:
terdapat pembuktian terbahk jika ketidaksanggupan terdakwa memberi keterangan
tentang samba kekayaan yang tidak seimbang dengan penghmilannya hanya dipedukan
untuk memperkuat keterangan saksi. Periksa Andi Hamzah, PW Hukum Pidana Khusus,
(Jakarta: Reneka Cipta, 1991), hlm. 11.
[14] Menteri Kehakiman R.I., jawaban pemerintah Atas Pemandangan
Umum Fraksi –Fraksi Dewan Perwakilan Rakyat RI terhadap Rancangan Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tahun 1999, Jakarta16 April 1999, hlm. 9.
[15]
Chaerudin, Strategi Pencegahan dan
Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi, (Bandung: PT Refika Aditama,2008)
[16]
Atmasasmita, Romli dan Tim,Analisis dan Evaluasi Peraturan Perundang-. Undangan
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme,(Jakarta:PT Mandar
Maju,2012)
[17]
Penjelasan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 atas Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar