Tampilkan postingan dengan label Informasi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Informasi. Tampilkan semua postingan

Minggu, 12 April 2020

Esai Hak Imunitas Advokat


HAK IMUNITAS ADVOKAT
Oleh : Andre

Mosi Debat Kolom Agama dalam KTP


Pendahuluan

Bangsa Indonesia yang saat ini berjumlah 237 juta[1] jiwa tersebar di wilayah geografi Indonesia yang luas,membentang dari Aceh sampai Papua.Penduduk Indonesia yang menempati wilayah luas itu merupakan suku-suku Bangsa yang besar jumlahnya.Sensus BPS 2010 menyebutkan,ada 300 kelompok etnis  dan 1.340 suku bangsa di Indonesia[2].Meskipun mereka beranekaragam dalam kondisi kemasyarakatan dan kebudayaannya, mereka dipersatukan dalam rumah besar bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan Pancasila sebagai pondasi[3].Indonesia juga merupakan negara yang memiliki keberagaman yang tinggi terkait dengan kepercayaan yang dianut oleh warga negaranya.Oleh karena itu,Agama di Indonesia memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat.Bahkan,keberadaan agama di Indonesia berpengaruh secara kolektif terhadap politikekonomi dan budaya.Hal ini dapat ditunjukkan melalui ideologi bangsa Indonesia, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa pada sila Pertama Pancasila.

Ketuhanan berasal dari kata Tuhan, ialah  pencipta segala yang ada dan semua mahluk. Yang Maha Esa berarti yang Maha tunggal, tiada sekutu, Esa dalam zatNya, Esa dalam sifat-Nya, Esa dalam Perbuatan-Nya, artinya bahwa zat Tuhan tidak terdiri dari zat-zat yang banyak lalu menjadi satu, bahwa sifat Tuhan adalah sempurna, bahwa perbuatan Tuhan tidak dapat disamai oleh siapapun. Jadi ke-Tuhanan yang maha Esa, mengandung pengertian dan keyakinan adanya Tuhan yang maha Esa, pencipta alam semesta, beserta isinya. Keyakinan adanya Tuhan yang maha Esa itu bukanlah suatu dogma atau kepercayaan yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya melalui akal pikiran, melainkan suatu kepercayaan yang berakar pada pengetahuan yang benar yang dapat diuji atau dibuktikan melalui kaidah-kaidah logika.
Atas keyakinan yang demikianlah maka Negara Indonesia berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa, dan Negara memberi jaminan kebebasan kepada setiap penduduk untuk memeluk agama sesuai dengan keyakinannya dan beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya. Bagi dan didalam Negara Indonesia tidak boleh ada pertentangan dalam hal ketuhanan yang Maha Esa, tidak boleh ada sikap dan perbuatan yang anti ketuhanan yang Maha Esa, dan anti keagamaan serta tidak boleh ada paksaan agama dengan kata lain dinegara Indonesia tidak ada paham yang meniadakan Tuhan yang Maha Esa (atheisme[4]). Sebagai sila pertama Pancasila ketuhanan yang Maha Esa menjadi sumber pokok kehidupan bangsa Indonesia, menjiwai mendasari serta membimbing perwujudan kemanusiaan yang adil dan beradab, penggalangan persatuan Indonesia yang telah membentuk Negara Republik Indonesia yang berdaulat penuh, bersifat kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan guna mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Hakekat pengertian itu sesuai dengan:
a. Pembukaan UUD 1945 yang berbunyi antara lain ”atas berkat rahmat Allah
yang maha kuasa….”
b. Pasal 29 UUD 1945:
1. Negara berdasarkan atas ketuhanan yang maha Esa
2. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing dan beribadah menurut agama dan kepercayaannya.
Salah satu pengaruh keberadaan nilai-nilai ketuhanan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia adalah adanya kolom agama dalam Kartu Tanda Penduduk, untuk selanjutnya disebut KTP.
Pada awalnya, pencantuman kolom agama dalam KTP didasarkan pada Penetapan Presiden (Penpres) Nomor 1/PNPS/1965 jo Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat China jo Undang-Undang Nomor 65 Tahun 1969 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan Penodaan Agama. Atas dasar ketentuan inilah, agama dimasukkan dalam KTP. Seiring berjalannya waktu, peraturan perundang-undangan tersebut diubah sehingga dasar hukum yang berlaku saat ini adalah Undang Nomor 24 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan, untuk selanjutnya disebut UU Administrasi Kependudukan.
Permasalahan mengenai penghapusan kolom agama dalam KTP menjadi diskursus yang hangat diperbincangkan dewasa ini. Pada awalnya semua terjadi karena berdasarkan Pasal 64 (1) Undang-Undang Administrasi Kependudukan dikatakan bahwa salah satu elemen penting yang mutlak harus diisi seseorang dalam KTP adalah kolom agama. Namun sejalan dengan direvisinya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 terdapat perubahan fundamental yang tertuang dalam Pasal 64 ayat (5)-nya bahwa :
“Elemen data penduduk tentang agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi  Penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database kependudukan”
Rumusan Pasal tersebut pun senada dengan apa yang dikemukakan oleh Tjahjo Kumolo selaku Menteri Dalam Negeri yang mempertegas untuk memperbolehkan pengosongan kolom agama pada Kartu Tanda Penduduk (KTP) terhadap orang yang agama atau kepercayaanya tidak/belum diakui secara yuridis oleh Negara.[i] Bola panas yang awalnya hanya berkutat pada pengosongan kolom agama kini telah bergeser pada isu penghapusan kolom agama di KTP. Hal ini pun menuai banyak respon dari masyarakat, ada pihak yang mendukung penghapusan kolom agama dalam KTP dengan dalih kebebasan beragama yang dipelopori oleh pegiat hak asasi manusia.[ii] Namun disisi lain ada juga pihak yang justru menentang keras penghapusan kolom agama seperti organisasi Islam dengan alasan bahwa negara Indonesia adalah negara yang berketuhanan sehingga kolom agama adalah urgen untuk tetap diadakan sebagai salah satu konsekuensi logis dari negara yang berketuhanan itu. [iii]
Mengingat peliknya permasalahan mengenai kolom agama di KTP, hal ini tentunya menarik rasa akademis Penulis untuk membahasnya secara komprehensif dari sudut pandang ilmiah. Terlebih lagi isu ini tidak hanya berbicara mengenai masalah administrasi saja, melainkan didalamnya terdapat pula masalah kebebasan beragama dan yuridis sekaligus. Sehingga membahasnya dari sudut pro dan kontra merupakan suatu hal yang arif dan bijak untuk mengetahui secara holistik permasalahan ini.


[1] Menurut publikasi BPS pada bulan Agustus 2010, jumlah penduduk Indonesia berdasarkan hasil sensus ini adalah sebanyak 237.556.363 orang, yang terdiri dari 119.507.580 laki-laki dan 118.048.783 perempuan. Laju pertumbuhan penduduk Indonesia sebesar 1,49 persen per tahun.Dapat dilihat lebih lanjut di https://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/1267.

[4]


[i]Rachmat Hidayat, Tjahjo Kumolo : Kolom Agama bagi Enam Agama yang Sudah Resmi Wajib Diisihttp://www.tribunnews.com/nasional/2014/11/08/tjahjo-kumolo-kolom-agama-bagi-enam-agama-yang-sudah-resmi-wajib-diisi, diakses pada 6 Juni 2015.
[ii]Ambaranie Nadia, Komnas HAM Dorong Kolom Agama di KTP Dihapuskan, http://nasional.kompas.com/read/2014/11/07/17485921/Komnas.HAM.Dorong.Kolom.Agama.di.KTP.Dihapuskan, diakses pada 5 Juni 2015.
[iii]Budhy Munawar Rachman dan Moh. Shofan, Sekularisme, Liberalisme dan Pluralisme, Jakarta: Grasindo, 2010,  h.53.





Makalah Hukum Acara Perdata : Gugatan dalam hukum Acara Perdata


BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
 Dalam kegiatan hukum acara perdata hendaknya diikuti regulasi yang mengaturnya agar tercapai kepastian hukum. Namun,dalam perkembangan hukum tidak diikuti oleh ketaatan hukum dimana terjadi ketidaktanggungjawaban dalam tindakan hukum .Atas hal tersebut,kami menyambut baik tugas yang diberikan kepada kami dengan mengangkat judul Gugatan dalam Hukum Acara Perdata untuk dapat memperkaya daya analisis kami

1.1.1    Perumusan Masalah
Berdasarkan pengamatan dan uraian yang telah penulis lakukan dari berbagai literatur peraturan perundang-undangan, penulis mengemukakan beberapa permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini yaitu:
1.    Apa yang dimaksud gugatan?
2.    Bagaimana maksud dan tujuan dibentuknya gugatan
3.    Apa saja klasifikasi kompentensi pengadilan?
4.    Bagaiman klasifikasi gugatan?

1.1.    Tujuan dan Manfaat Penulisan
1.    Adapun tujuan dari penulisan ini adalah :
a.     Memberikan gambaran mengenai gugatan
b.    Memahami syarat gugatan
c.     Mengetahui klasifikasi gugatan

2.    Adapun manfaat dari penulisan ini adalah :
a.     Manfaat Teoritis
Hasil dari penulisan ini diharapkan memberikan sumbangsih pemikiran yang dapat bermanfaat dalam penegakan supremasi hukum, khususnya mengenai gugatan acara perdata




BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Tuntutan Hak
Persoalan yang dihadapi seseorang yang diajukan ke pengadilan perdata dalam bentuk tuntutan hak ada dua macam, yaitu berupa persoalan yang mengandung konflik dan persoalan yang tidak mengandung konflik[1].Tuntutan hak dalam pasal 142 ayat (1) Rbg / pasal 118 ayat (1) HIR disebut tuntutan / gugatan perdata (burgerlijke vordering), merupakan tindakan yang bertujuan memperoleh perlindungan hak yang diberikan oleh pengadilan untuk mencegah “eigenrichting”atau main hakim sendiri.
Tuntutan hak harus mempunyai kepentingan yang cukup (point d’interet, pointd’action)[2]. Ada dua macam tuntutan hak, yaitu permohonan dan gugatan, yang bertitik tolak pada ada atau tidak adanya sengketa[3]. Tuntutan hak yang mengandung sengketa disebut gugatan, dimana terdapat sekurang-kurangnya dua pihak yaitu penggugat dan tergugat, dan tuntutan hak yang tidak mengandung sengketa yang disebut permohonan, dimana hanya ada satu pihak saja, yaitu pemohon[4].
Sejalan dengan itu, peradilan juga lazim dibedakan pula menjadi dua, yaitu peradilan sukarela atau peradilan volunter (voluntaire jurisdictie / jurisdictio voluntaria) atau sering pula disebut peradilan “tidak sesungguhnya” karena memeriksa dan memutus permohonan yang mana tidak ada unsur sengketa dan terdiri dari satu pihak saja; dan peradilan contensius (contentieuse jurisdictie / jurisdictio contentiosa) atau sering pula disebut peradilan “sesungguhnya” karena sifatnya yang mengadili perkara antara dua pihak atau lebih.
Perbedaan yang jelas antara jurisdictio contentiosa dengan jurisdictio voluntaria dapat digambarkan dari beberapa segi yaitu :
a. Pihak yang berperkara.
Pada jurisdictio contentiosa ada dua pihak yang berperkara, sedangkan pada jurisdictio voluntariahanya ada satu pihak yang berkepentingan.
b. Aktivitas pengadilan yang memeriksa.
Pada jurisdictio contentiosa aktivitas pengadilan terbatas pada yang dikemukakandan diminta oleh  pihak-pihak, sedangkan pada jurisdictio voluntaria aktivitaspengadilan dapat melebihi apa yang dimohonkan karena tugas pengadilan bercorak administratif  yang bersifat mengatur (administratif regulation)[5].
c. Kebebasan Pengadilan.
Pada juridictio contentiosa, pengadilan hanya memerhatikan dan menerapkan apa yang telah ditentukan oleh undang-undang dan tidak berada di bawah pengaruh  atau tekanan pihak manapun. Pengadilan hanya menerapkan ketentuan hukum positif. Sedangkan pada juridictio voluntaria, pengadilan selalu memiliki kebebasan  menggunakan  kebijaksanaan yang dipandang perlu untuk mengatur suatu hal.
 d.  Kekuatan mengikat keputusan pengadilan.
  Pada juridictio contentiosa, putusan pengadilan hanya mempunyai kekuatan mengikat pihak-pihak yang bersengketa. Sedangkan pada juridictio voluntaria,  putusan pengadilan mempunyai kekuatan mengikat terhadap semua orang[6]. Berkaitan dengan permohonan, pengadilan negeri Jakarta Selatan dalam  Penetepan Pengadilan Negeri Selatan No. 1193 / Pdt.P /2012 / PN.Jak.Sel. tanggal 16 Juli 2013 telah menyimpulkan dalam pertimbangannya bahwa unsur-unsur yang harus dipenuhi suatu perkara yang diajukan melalui permohonan adalah :
a. Masalah yang diajukan bersifat kepentingan sepihak semata ( for the benefit of one party only);
 b. Permasalahan yang dimohonkan penyelesaian kepada Pengadilan Negeri, pada prinsipnya tanpa sengketa dengan pihak lain (without disputes or differences with another party); 
c. Tidak ada orang lain atau pihak ketiga yang ditarik sebagai lawan, tetapi bersifat ex parte artinya benar-benar murni dan mutlak satu pihak tanpa menarik pihak lain sebagai lawan ;
d. Kewenangan itu hanya terbatas sampai pada hal-hal yang ditentukan oleh peraturan  perundang-undangan yang bersangkutan;
e. Tidak menimbulkan akibat hukum baru.
Sudikno Mertokusumo (1982: 4) menambahkan: perbuatan hakim dalam peradilan yang “tidak sesungguhnya” lebih merupakan perbuatan di bidang administratif, sehingga putusannya merupakan suatu penetapan[7] ( ps. 272 RBg , ps. 236  HIR ). Bagi peradilan volunter pada umumnya tidak berlaku peraturan tentang pembuktian dari  BW buku IV.  Demikian pula, RBg dan HIR pada umumnya hanya disediakan untuk peradilan contentieus. Penyelesaian perkara dalam peradilan contentieus disebut putusan, sedangkan penyesaian perkara  peradilan volunter disebut penetapan.  Demikian juga yang dikemukakan oleh Asep Iwan Iriawan ( 2010 : 6 ),
permohonan ( Juridictio voluntaria ) adalah tuntutan hak yang tidak mengandung sengketa  diajukan ke pengadilan untuk mendapatkan penetapan. Penetapan atas
permohonan merupakan keputusan pengadilan tingkat pertama dan terakhir, yang tidak dapat dimohonkan banding (Yahya Harahap, 2008 : 42 – 43).
2.2. Isi Gugatan
   Bentuk gugatan adalah surat. Oleh karenanya harus memenuhi syarat sebagai surat, seperti: tempat dan tanggal gugatan itu dibuat (e.g: Denpasar, 10 Maret 2015), 
kepada siapa / kemana gugatan itu ditujukan (e.g: Kepada Yth. Bapak Ketua Pengadilan Negeri Denpasar di Denpasar), isi gugatan, ditutup dengan mencantumkan siapa yang membuat / mengirim gugatan atau kuasanya dan ditandatangani.
 Ditinjau dari isi gugatan , pasal 8 Rv menentukan bahwa gugatan memuat : 
  (1). Identitas para pihak; 
  (2). Posita (fundamentum petendi, middelen van eis) ; dan 
  (3).Petitum (tuntutan, onderwerp van den eis met een didelijke en bepaalde 
 conclutie).
1. Identitas Para Pihak.
   Dalam perkara perdata biasanya terdiri dari dua pihak, yaitu pihak penggugat dan pihak tergugat. Para pihak dapat beracara secara langsung di depan pengadilan atau dapat  mewakilkannya kepada seorang kuasa dengan kuasa khusus[8]. Para pihak itu dibedakan atas: pihak materiil dan pihak formil. Pihak materiil adalah pihak yang berkepentingan secara langsung, yaitu penggugat dan tergugat. Pihak formil yaitu pihak yang secara formil tampil dan beracara di depan pengadilan, yaitu penggugat, tergugat dan kuasa hukum.Identitas para pihak tiada lain adalah jati diri atau ciri-ciri masing-masing pihak baik penggugat maupun tergugat, terutama nama dan alamat / tempat tinggal / domisili / tempat kedudukan. Di samping itu untuk menambah kelengkapan dan kejelasannya biasanya perlu dicantumkan pula umur, pekerjaan, status perkawinan.Untuk perkara perkara tertentu, perlu pula dicantumkan agama, seperti dalam perkara perceraian.
2. Posita.
   Posita (fundamentun petendi) adalah dalil dalil dari penggugat  yang menjadi
dasar-dasar atau alasan alasan gugatan penggugat. Posita ini memuat dua hal pokok
dalam uraiannya, yaitu[9]:
1) Dasar-dasar atau alasan alasan yangmenguraikanmengenai fakta-fakta atau peristiwa peristiwa atau kejadian kejadian yang medeskripsikan duduknya masalah.
 2) Dasar-dasar atau alasan-alasan yang menguraikan mengenai hukumnya, yaitu memuat hubungan hukum antara pengugat dengan tergugat, hubungan hukum penggugat dan / atau tergugat dengan materi atau obyek sengketa.
 Dalam penyusunan posita dikenal adanya 2 teori terkait dengan luasnya uraian dalam posita, yaitu:
 1) Substantierings theorie,menurut teori ini, penyusunan posita tidaklah cukup
hanya  menguraikan mengenai peristiwa dan hubungan hukum yang menjadi
dasar  gugatan, melainkan harus diuraikan pula bagaimana sejarahnya sampai terjadi  peristiwa dan hubungan hukum itu.
2) Individualiseringtheorie,teori ini mengajarkan bahwa dalam menyusun suatu
posita adalah sudah dipandang cukup dengan menguraikan peristiwa dan hubungan hukum tanpa menguraikan secara detail sejarah dari peristiwa dan hubungan hukum tersebut[10].

3. Petitum.
   Petitum adalah apa yang dimohonkan atau dituntut supaya diputus demikian oleh pengadilan. Dalam putusan pengadilan, petitum ini mendapat jawaban dalam amar atau dictum putusan pengadilan. Petitum gugatan haruslah dirumuskan dengan jelas dan cermat karena berimplikasi luas baik dalam proses persidangan maupun nanti setelah putusan dimohonkan eksekusi. Perumusan petitum harus mempunyai keterkaitan yang jelas dengan perumusan posita. Setiap tuntutan dalam petitum haruslah dapat dicarikan dasarnya dalam posita. Dengan kata lain tidak ada bagian dari tuntutan dalam petitum yang tidak ada uraiannya dalam posita.
Tuntutan / petitum dibedakan menjadi tuntutan primer dan tuntutan subsider / tuntutan pengganti / tuntutan alternatif. Tuntutan primer dalam perkara perceraian:menyatakan perkawinan antara penggugat dan tergugat putus karena perceraian[11].Tuntutan subsidernya: menyatakan hubungan penggugat dan tergugat tidak dalam hubungan perkawinan yang sah.Lebih lanjut, terkait dengan petitum primer dalam praktek dikenal adanya tuntutan / petitum pokok dan tuntutan / petitum tambahan. Tuntutan pokok ini merupakan tuntutan yang langsung tertuju ke pokok perkara. Misalnya, dalam perkara perceraian: menyatakan perkawinan antara penggugat dengan tergugat putus karena perceraian; dalam perkara hutang piutang: menghukum tergugat membayar hutang sejumlah Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) kepada penggugat. Tuntutan tambahan, yang merupakan pelengkap tuntutan pokok misalnya: tuntutan agar tergugat dihukum membayar biaya perkara, tuntutan agar putusan dapat dilaksanakan terlebih dahulu (uitvoerbaar bij voorraad), tuntutan agar tergugat dihukum membayar uang paksa[12].

2.3. Kompetensi
  Dalam hukum acara dikenal dua macam kompetensi / kewenangan, yaitu:
  (1). Kompetensi /kewenangan absolut (atributie van rechtspraak); dan 
  (2). Kompetensi / kewenangan relatif (distributie van rechtspraak).

1. Kompetensi absolut.
   Kompetensi absolut adalah kewenangan badan peradilan dalam memeriksa
jenis perkara tertentu yang secara absolut / mutlak tidak dapat diperiksa oleh badan
peradilan lain baik dalam lingkungan peradilan yang sama (pengadilan negeri 
dengan pengadilan tinggi, yang sama-sama dalam lingkungan peradilan
umum)maupun dalam lingkungan peradilan yang berbeda (eg. pengadilan negeri
yang berada  dalam lingkungan peradilan umum, dengan pengadilan agama yang
berada dalam lingkungan peradilan agama).Jadi dengan demikian kompetensi
absolut ini adalah untuk menjawabpertanyaan :pengadilan macam apa (dalam
pengertian lingkungan peradilannya dan jenjangnya) yang berwenang untuk
menerima, memeriksa dan memutus perkara tertentu tersebut  Tiap tiap lingkungan peradilandibawah Mahkamah Agung secara umum mempunyai kompetensi absolutnyasendiri sendiri. Selanjutnya,   masing – masing tingkat dalam setiap lingkunganperadilan mempunyai kompetensi absolutnya tersendiri. Pengadilan di lingkungan peradilan umum memiliki kewenangan absolut  untuk menerima, memeriksa dan memutus perkara pidana dan perkara perdata   bagi rakyat pencari keadilan pada umumnya. Sehubungan dengan kewenangan absolut ini, Pasal 50 ayat UU No. 2 / 1986 tentang Peradilan Umum menentukan: Pengadilan  Negeri bertugas memeriksa,  memutus dan menyelesaikan perkara pidana dan perkara perdata di  tingkat pertama. Tentang Pengadilan Tinggi Pasal 51 ayat (1) menentukan: Pengadilan Tinggi bertugas dan berwenang mengadili perkara pidana dan perkara perdata di tingkat banding.     
2. Kompetensi relatif.
  Kompetensi relatif sering pula disebut dengan kewenangan nisbi, yang menyangkut pembagian kewenangan mengadili antar pengadilan sejenis berdasarkan yurisdiksi wilayahnya.  Artinya, bahwa suatu pengadilan hanya berwenang mengadili perkara yang subyeknya atau obyeknya berada pada wilayah pengadilan yang bersangkutan (H. Zainal Asikin, 2015: 88). Misalnya: antar pengadilan negeri Denpasar dengan pengadilan negeri Gianyar. Jadi kompetensi relatif dalam hukum acara perdata adalah untuk menjawab: ke pengadilan negeri mana gugatan harus diajukan.Kompetensi relatif ini pada pokoknya diatur dalam pasal 142 RBg / 118 HIR, sebagai berikut:
 1.Gugatan diajukan ke pengadinan negeri yang wilayah hukumnya meliputi
 tempat tinggal tergugat. Atau, jika tidak diketahui tempat tinggalnya,gugatan   
 diajukan ke pengadilan negeri yang wilayah hukumnya meliputi tempat          kediaman senyatanya dari tergugat.Ketentuan sesuai dengan asas actor sequitur forum rei”.
2. Apabila tergugat lebih dari satu, yang tempat tinggalnya tidak terletak dalam wilayah satu pengadilan negeri, gugatan diajukan ke pengadilan negeri yang wilayah hukumnya meliputi salah satu tempat tinggal tergugat, yang dipilih penggugat. Apabila para tergugat berkedudukan sebagai debitur dan penanggungnya , maka gugatan diajukan ke pengadilan negeri yang wilayah hukumnya meliputi tempat tinggal yang berhutang pokok (debitur).
3. Jika tempat tinggal tergugat tidak diketehui demikian juga tempat kediaman senyatanya tidak diketahui, atau tergugat tidak dikenal,  gugtan diajukan ke pengadilan negeri yang wilayah hukumnya meliputi tempat tinggal penggugat atau salah satu penggugat.
4. Apabila telah dilakukan pilihan tempat tinggal dengan suatu akta, gugatan diajukan ke pengadilan negeri yang wilayah hukumnya meliputi tempat tinggal yang dipilih tersebut.
5. Dalam hal gugatannya mengenai barang tetap, gugatan diajukan ke pengadilan
negeri yang wilayah hukumnya meliputi letak barang tetap tersebut. Jika barang
tetap itu terletak di dalam wilayah beberapa pengadilan negari, gugatan diajukan
ke salah satu pengadilan negeri yang wilayah hukumnya meliputi letak barang
tetap itu.


2.4. Kumulasi Atau Penggabungan Gugatan
   Dalam perkara perdata sekurang-kurangnya ada dua pihak, yaitu penggugat dan tergugat. Masing-masing pihak dapat terdiri dari satu orang atau lebih dari satu orang. Demikian pula tuntutannya, dapat terjadi hanya satu tuntutan, dan dapat pula terjadi ada beberapa tuntutan dalam satu gugatan. Apabila pihak terdiri lebih dari satu orang atau tuntutannya lebih dari satu, maka disebut telah terjadi kumulasi atau penggabungan gugatan.Kumulasi ini ada dua jenis, yaitu: kumulasi subyektif dan
kumulasi obyektif. Kumulasi subyektif terjadi apabila para pihak terdiri dari lebih dari satu orang atau subyek hukum.  Syarat untuk kumulasi subyektif adalah bahwa terhadap tuntutan yang diajukan tersebut haruslah ada hubungan yang erat antara satu subyek / orang dengan subyek / orang lainnya. Apabila hubungan itu tidak ada, maka harus digugat secara tersendiri. Kumulasi obyektif adalah penggabungan beberapa tuntutan dalam satu perkara sekaligus. Kumulasi obyektif pada umumnya tidak disyaratkan bahwa tuntutan tuntutan itu harus berhubungan erat satu sama lain. Akan tetapi dalam tiga hal komulasi obyektif itu tidak dibolehkan (Sudikno Mertokusumo, 1982: 47): 
 1. Kalau untuk suatu tuntutan (gugatan) tertentu diperlukan suatu acara khusus, sedangkan tuntutan yang lain harus diperiksa menurut acara biasa, maka kedua tuntutan itu tidak  boleh digabung dalam satu gugatan
 2. Demikian pula apabila hakim tidak berwenang (secara relatif) untuk memeriksa salah  satu tuntutan yang diajukan bersama sama dalam satu gugatan dengan tuntutan
 lain , maka kedua tuntutan itu tidak boleh diajukan bersama sama dalam satu  gugatan.
3. Tuntutan tentang “bezit” tidak boleh diajukan bersama sama dengan tuntutan  tentang “eigendom” dalam satu gugatan.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Bentuk gugatan adalah surat. Oleh karenanya harus memenuhi syarat sebagai surat, seperti: tempat dan tanggal gugatan itu dibuat kepada siapa / kemana gugatan itu isi gugatan, ditutup dengan mencantumkan siapa yang membuat / mengirim gugatan atau kuasanya dan ditandatangani. Dalam perkara perdata sekurang-kurangnya ada dua pihak, yaitu penggugat dan tergugat. Masing-masing pihak dapat terdiri dari satu orang atau lebih dari satu orang. Demikian pula tuntutannya, dapat terjadi hanya satu tuntutan, dan dapat pula terjadi ada beberapa tuntutan dalam satu gugatan. Apabila pihak terdiri lebih dari satu orang atau tuntutannya lebih dari satu, maka disebut telah terjadi kumulasi atau penggabungan gugatan.










DAFTAR PUSTAKA
Ali, Moch Chidin, dkk. 1993. Pengertian–Pengertian Elementer Hukum Perjanjian Perdata. Bandung: Mandar Maju.

Badrulzaman, Mariam Darus. 1980. Aneka Hukum Bisnis. Bandung : Alumni
Harahap, M. Yahya, 2012, Hukum Acara Perdata, Jakarta: Sinar Grafika.

Mertokusumo, Sudikno, 1993, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberty.

Projodikoro, Wirjono, 1988, Hukum Acara Perdata Di Indonesia, Bandung: Bina Cipta.

Subekti, R, 1989, Hukum Acara Perdata, Bandung: Bina Cipta.

Supomo, 1972, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Jakarta: Pradnya Paramita.

Suryabrata, Sumadi, 1992, Metode Penelitian, Yogyakarta: Andi Offset.

Sutantio, Retnowulan dan Oeripkartawinata, Iskandar, 1989, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, Bandung: Mandar Maju.

Waluyo, Bambang, 1996, Penelitian Hukum dalam Praktek, Jakarta: Sinar Grafika.

Wardah, Sri dan Sutiyoso, Bambang, 2007, Hukum Acara Perdata dan Perkembangannya di Indonesia, Yogyakarta: Gama Media.




[1] Projodikoro, Wirjono, 1988, Hukum Acara Perdata Di Indonesia, Bandung: Bina Cipta.
[2] Subekti, R, 1989, Hukum Acara Perdata, Bandung: Bina Cipta
[3] Sutantio, Retnowulan dan Oeripkartawinata, Iskandar, 1989, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, Bandung: Mandar Maju
[4] Harahap, M. Yahya, 2012, Hukum Acara Perdata, Jakarta: Sinar Grafika.
[5] Supomo, 1972, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Jakarta: Pradnya Paramita
[6] Mertokusumo, Sudikno, 1993, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberty.
[7] Mertokusumo, RM. Soedikno. 1982. Mengenal Hukum ( Suatu Pengantar ). Yogyakarta: Liberty
[8] Saherodji, H. Hari. 1980. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: Aksara Baru
[9] Syahrani, Riduan. 1992. Seluk Beluk Dan Asas-Asas Hukum Perdata. Bandung : Alumni
[10] Pradjidikoro, Wirjono. 1981. Pokok-pokok Hukum Perdata tentang Persetujuan-persetujuan Tertentu. Bandung: Sumur Bandung
[11] Tirtodiningrat, K.R.M.T. 1966. Ikhtisar Hukum Perdata dan Hukum Dagang. Jakarta: P.T Pembangunan.
[12] Badrulzaman, Mariam Darus. 1980. Aneka Hukum Bisnis. Bandung : Alumni