MAKALAH
LEMBAGA PEMASYARAKATAN
Dosen:
Dr.Marlina, S.H., M.Hum
Dr.Marlina, S.H., M.Hum
Mata Kuliah:
Hukum Penitensier
Disusun Oleh:
KELOMPOK 8
Andre 170200180
Dhea Chintya Ginting 170200181
Hana Serbina Br.Sembiring 170200183
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA
UTARA
2020
DAFTAR ISI
Kata pengantar 2
Bab I: PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang 3
B.
Identifikasi Masalah 8
Bab II:
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Pengertian Pidana
Penjara 9
B.
Sejarah Pidana Penjara 11
C.
Pelaksanaan Pidana
Penjara 16
D.
Hak Dan Kewajiban
Warga Binaan 20
Bab III: TINJAUAN LAPAS
A.
Keadaan Dan Isi Lapas
Anak 26
B.
Program Pendidikan
Dan Pembinaan 26
C.
Kondisi Lapas 27
Bab IV:
PEMBAHASAN
A.
Proses Pembinaan
Warga Binaan 28
B.
Kendala Yang Ditemui
Di Lapas 34
Bab V:
PENUTUP
A.
Kesimpulan 35
B.
Saran 35
DAFTAR PUSTAKA 36
KATA PENGANTAR
Segala
puji bagi Tuhan yang telah memberikan kami
kemudahan sehingga dapat menyelesaikan makalah ini. Tanpa pertolongan-Nya
mungkin penyusun tidak akan sanggup menyelesaikannya dengan baik..
Makalah ini disusun agar
pembaca dapat memperluas ilmu tentang "Lembaga Pemasyarakatan", yang
kami sajikan berdasarkan pengamatan dari berbagai sumber. Makalah ini di susun
oleh penyusun dengan berbagai rintangan. Baik itu yang datang dari diri
penyusun maupun yang datang dari luar. Namun dengan penuh kesabaran dan terutama
pertolongan dari Tuhan akhirnya makalah ini dapat terselesaikan.
Semoga makalah ini dapat
memberikan pengetahuan yang lebih luas kepada pembaca. Walaupun makalah ini
memiliki kelebihan dan kekurangan. Penyusun membutuhkan kritik dan saran dari
pembaca yang membangun. Terima kasih.
Medan, 2 April 2020
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Lembaga
Pemasyarakatan (disingkat LP atau LAPAS) adalah tempat untuk melakukan
pembinaan terhadap narapidana dan anak didik pemasyarakatan di Indonesia. Dalam
beberapa tahun belakangan ini Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) di Indonesia telah
beralih fungsi. Jika pada awal pembentukannya bernama penjara (bui)
dimaksudkan untuk menghukum orang-orang yang melakukan kejahatan dan ketika
namanya diganti menjadi Lembaga Pemasyarakatan, maka fungsinya tidak lagi
semata - mata untuk menghukum orang-orang yang melakukan kejahatan tetapi lebih
kepada upaya pemasyarakatan terpidana. Artinya tempat terpidana sungguh-sungguh
dipersiapkan dengan baik agar kelak setelah masa hukumannya selesai akan
kembali ke masyarakat dengan keterampilan tertentu yang sudah dilatih di Lapas.
Sahardjo juga memiliki pandangan mengenai pembaharuan sistem kepenjaraan yang
sejalan dengan pemikiran diatas, antara lain:
1. Tiap orang adalah makhluk kemasyarakatan
2. Tidak ada orang yang hidup di luar
masyarakat
3. Narapidana hanya dijatuhi hukuman kehilangan kemerdekaan
bergerak. Jadi perlu diusahakan supaya
tetap dapat mempunyai mata pencaharian.[1]
Perubahan pandangan dalam memperlakukan narapidana di Indonesia
tentunya didasarkan pada suatu evaluasi kemanusiaan yang merupakan wujud
manifestasi Pancasila, sebagai dasar pandangan hidup bangsa yang mengakui hak
hak asasi narapidana. Melihat butir ketiga dari pemikiran sahardjo diatas, ada
suatu mata rantai yang harus jelas diperhatikan oleh para pembina maupun
pemerintah yaitu, bagaimana pembina itu mampu menghasilkan narapidana yang
tetap mempunyai mata pencaharian setelah keluar dari penjara. Adanya model pembinaan
bagi narapidana di dalam Lembaga Pemasyarakatan tidak terlepas dari sebuah
dinamika, dinamika yang bertujuan untuk lebih banyak memberikan bekal bagi
Narapidana dalam menyongsong kehidupan setelah selesai menjalani masa hukuman.
Istilah Penjara telah mengalami perubahan menjadi pemasyarakatan.
Istilah Lembaga Pemasyarakatan dicetuskan oleh Sahardjo, S.H dipilih sesuai dengan
visi dan misi lembaga itu untuk menyiapkan para narapidana kembali ke
masyarakat. Secara umum dapatlah dikatakan bahwa pembinaan dan bimbingan pemasyarakatan
haruslah ditingkatkan melalui pendekatan pembinaan mental (agama, Pancasila dan
sebagainya) meliputi pemulihan harga diri sebagai pribadi maupun sebagai
warganegara yang meyakini dirinya masih memiliki potensi produktif bagi
pembangunan bangsa dan oleh karena itu mereka dididik juga untuk menguasai
ketrampilan tertentu guna dapat hidup mandiri dan berguna bagi pembangunan. lni
berarti, bahwa pembinaan dan bimbingan yang diberikan mencakup bidang mental
dan pendidikan ketrampilan. Berbekal mental dan ketrampilan yang mereka miliki,
diharapkan mereka dapat berhasil mengintegrasikan dirinya di dalam masyarakat. Semua
usaha ini dilakukan dengan berencana dan sistematis agar selama mereka dalam
pembinaan dapat bertobat menyadari kesalahannya dan bertekad untuk menjadi
manusia yang berguna bagi masyarakat, negara dan bangsa.
Disadari bahwa untuk melaksanakan pembinaan dan bimbingan
melalui berbagai bentuk dan usaha, tentunya menuntut kemampuan dan tanggung
jawab yang lebih berat dari para pelaksananya termasuk perlunya dukungan berupa
sarana dan fasilitas yang memadai.[2]
Pembinaan dan pembimbingan narapidana, kepribadian dan kemandirian meliputi
hal-hal yang berkaitan dengan: ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, kesadaran
berbangsa dan bernegara, intelektual, sikap dan perilaku, kesehatan jasmani dan
rohani, kesadaran hukum, reintegrasi dengan masyarakat, keterampilan kerja,
latihan kerja dan produksi sesuai dengan Pasal 3 Peraturan Pemerintah nomor 31
tahun 1999. Dengan adanya pembinaan di bidang pendidikan bagi narapidana,
keinginan untuk mengulangi perbuatan jahat dari narapidana menjadi berkurang
karena selama berada di lembaga pemasyarakatan narapidana dibekali dengan
berbagai macam keterampilan dan pendidikan. Dengan pembinaan narapidana yang
baik selama berada di lembaga pemasyarakatan, diharapkan narapidana bisa berbuat
baik di masyarakat dan diterima kembali keberadaanya oleh masyarakat.
Tugas LAPAS adalah sebagai tempat untuk membina para
pelaku tindak pidana yang di lakukan oleh Narapidana. Dalam pembinaan ini para
narapidana di berikan hak dan kewajiban antara lain hak untuk memperoleh
pendidikan dan latihan sesuai dengan minat dan bakat serta dengan kemampuannya.
Manfaat pembinaan bagi narapidana ini tentu untuk membuat para narapidana
menjadi manusia yang lebih baik agar dapat kembali ke masyarakat dan tidak di
kucilkan dalam kehidupan bermasyarakat sesuai dengan Pasal 1 butir 3
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Selama mereka berada
di dalam Lembaga Pemasyarakatan mereka dibekali dengan berbagai macam
pendidikan dan latihan keterampilan.
Konsep perlakuan terhadap narapidana dari waktu ke waktu
terus mengalami perubahan sebagai konsekuensi logis dari dinamika perkembangan
jaman. Perlakuan terhadap terpidana dari sistem kepenjaraan menjadi sistem
pemasyarakatan juga mengalami perubahan. Pemasyarakatan sebagai suatu sistem
pembinaan narapidana yang memandang narapidana sesuai dengan fitrahnya baik
selaku pribadi, anggota masyarakat maupun mahluk Tuhan menempatkan narapidana
bukan semata-mata sebagai alat produksi.
Dalam undang-unadng Republik Indonesia nomor 12 tahun
1995 tentang Pemasyarakatan, bahwa sistem pemasyarakatan menghendaki pembinaan
narapidana dapat memberikan keterampilan kepada narapidana, sehingga dapat
aktif dan produktif dalam pembangunan.
Pembinaan dan pembimbingan narapidana meliputi program
pembinaan dan bimbingan yang berupa kegiatan pembinaan kepribadian dan kegiatan
pembinaan kemandirian. Pembinaan kepribadian diarahkan pada pembinaan mental
dan watak agar narapidana menjadi manusia seutuhnya, bertaqwa dan bertanggung jawab
kepada diri sendiri, keluarga, dan masyarakat. Pembinaan kemandirian diarahkan
pada pembinaan bakat dan keterampilan agar narapidana dapat kembali berperan
sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab.
Lembaga Pemasyarakatan memiliki sepuluh (10) prinsip
pemasyarakatan yang meliputi 10 Prinsip Pemasyarakatan yaitu:[3]
1. Narapidana perlu diayomi dan diberi bekal hidup supaya
menjalankan peranan dalam masyarakat.
2. Penjatuhan pidana bukan sebagai balas
dendam oleh negara.
3. Narapidana supaya bertobat, harus diberi
bimbingan bukan penyiksaan.
4. Negara tidak berhak membuat narapidana lebih buruk
atau jahat dari sebelum dijatuhi pidana.
5. Narapidana tidak boleh diasingkan dari
masyarakat.
6. Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana bukan sekedar
pengisi waktu, tetapin harus sesuatu pekerjaan yang terdapat dalam masyarakat.
7. Bimbingan dan pendidikan kepada narapidana
berdasarkan Pancasila.
8. Narapidana sebagai orang tersesat adalah manusia yang
tetap harus diperlakukan sebagai manusia.
9. Pidana dinilai sebagai derita satu satunya, hanyalah
hilang kemerdekaan narapidana yang bersangkutan.
10. Sarana yang mendukung fungsi rehabilitasi, koreksi
dan edukasi disediakan serta dipupuk bagi narapidana.
Dari uraian sepuluh prinsip pemasyarakatan diatas,
pemikiran dan tujuan Sahardjo menetapkan pemasyarakatan sebagai tujuan pidana penjara:[4]
1. Sebagai upaya mengatasi kecenderungan buruk yang
terjadi di penjara pada masa kolonial Belanda, di mana pada masa ini, walaupun
penjara sudah “modern” namun pelaksanaanya banyak menimbulkan efek negatif dari
pelaksanaan hukuman, disamping itu juga perlakuan terhadap narapidana yang cenderung
mengabaikan hak haknya.
2. Pemasyarakatan sebagai tujuan pidana penjara adalah suatu
cara untuk membimbing terpidana agar bertobat, dengan jalan mendidik. Dalam hal
ini, bimbingan dan didikan diarahkan untuk membentuk kesadaran hukum maupun
kesadaran bermasyarakat.
3. Pemasyarakatan sebagai tujuan pidana penjara adalah
suatu proses, dimana metodenya adalah sistem pemasyarakatan. Dalam hal ini
sistem pemasyarakatan dijadikan suatu pedoman maupun arah pembinaan yang harus
dipedomani oleh petugas maupun narapidana pada saat menjalani pidana.
4. Disamping bertujuan mengembalikan narapidana ke
masyarakat, pemasyarakatan juga bertujuan agar narapidana tidak terasing dari
lingkungan sosialnya, yang dilakukan melalui asimilasi. Dalam pada itu juga,
ada keterkaitan emosi yang hendak dicapai dari keterlibatan masyarakat dalam
proses penerimaan kembali. Oleh karena itu, masyarakat menjadi salah satu unsur
yang berpengaruh dalam proses proses pemulihan hubungan sosial, disini
masyarakat atau keluarga yang dirugikan setidak tidaknya dapat mempercayai
proses pembinaan dan didikan yang dijalani oleh narapidana.
Berdasarkan 10 Prinsip Pemasyarakatan salah satunya menyebutkan
bahwa pekerjaan yang diberikan kepada narapidana bukan sekedar pengisi waktu,
tetapi harus sesuatu pekerjaan yang terdapat dalam masyarakat, artinya
pemberian pembinaan kerja pada narapidana harus sesuai dengan pekerjaan yang
ada di masyarakat, bukan hanya sekedar untuk mengisi waktu luang selama
menjalani masa tahanan di dalam Lembaga Pemasyarakatan.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas
penulis mempunyai beberapa identifikasi masalah yaitu:
1.
Bagaimana proses pembinaan terhadap narapidana di Lembaga Pemasyarakatan
?
2.
Kendala apa saja yang ditemui oleh Lembaga Pemasyarakatan dalam
memberikan pembinaan terhadap narapidana dibidang pembekalan keterampilan ?
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Pengertian Pidana Penjara
Pidana penjara adalah salah satu bentuk dari pidana
perampasan kemerdekaan. Pidana penjara atau hukuman penjara mulai dipergunakan
terhadap orang Indonesia sejak tahun 1918, waktu mulai berlaku KUHP. Sebelum
tangal itu, orang Indonesia biasanya dihukum dengan kerja paksa di luar atau di
dalam rantai (sebetulnya sebuah gelang leher). Ada beberapa sistem dalam pidana
penjara, yaitu:
1.
Pensylvania
system: terpidana menurut
sistem ini dimasukkan dalam sel-sel tersendiri, ia tidak boleh menerima tamu
baik dari luar maupun sesama napi, dia tidak boleh bekerja di luar sel
satu-satunya pekerjaan adalah membece buku suci yang diberikan padanya. Karena
pelasanaanya dilakukan di sel-sel maka disebut juga cellulaire system.
2.
Auburn
system: pada waktu malam ia
dimasukkan dalam sel secara sendiri-sendiri, pada waktu siangnya diwajibkan
bekerja dengan narapidana lainnya, tetapi tidak boleh saling berbicara di
antara mereka, biasa disebut dengan silent system.
3.
Progressive
system: cara pelaksanaan
pidana menurut sistem ini adalah bertahap, biasa disebut dengan english/ire
system.
Dalam penjara-penjara besar, orang hukuman penjara
dibagi dalam empat kelas ( Bab VII R.P.) yakni yang dimaksud dalam:
Kelas I: oarang yang dihukum seumur hidup dan orang yang menjalankan hukuman sementara, mereka yang berbahaya bagi orang lain. Dal Undang-undang tidak dijelaskan mengenai pengertian napi yang dianggap berbahaya, akan tetapi pengertian bahaya ini erat kaitannya dengan masalah keselamatan, baik napai yang lain maupun bagipetugasLembagaPermasyarakatan.
Kelas II: orang yang menjalankan hukuman penjara lebih dari 3 bulan.
Kelas III: diperuntukkan bagi mereka yang sebelumnya menjadi penghuni kelas II, yang selama 6 bulan menjalani hukuman menunjukkan perbuatan-perbuatan yang baik (sesuai dengan tata tertib yang ditentukan).
Kelas IV: yaitu diperuntukkan bagi mereka yang dijatuhi hukuman kurang dari 3 bulan.
Kelas I: oarang yang dihukum seumur hidup dan orang yang menjalankan hukuman sementara, mereka yang berbahaya bagi orang lain. Dal Undang-undang tidak dijelaskan mengenai pengertian napi yang dianggap berbahaya, akan tetapi pengertian bahaya ini erat kaitannya dengan masalah keselamatan, baik napai yang lain maupun bagipetugasLembagaPermasyarakatan.
Kelas II: orang yang menjalankan hukuman penjara lebih dari 3 bulan.
Kelas III: diperuntukkan bagi mereka yang sebelumnya menjadi penghuni kelas II, yang selama 6 bulan menjalani hukuman menunjukkan perbuatan-perbuatan yang baik (sesuai dengan tata tertib yang ditentukan).
Kelas IV: yaitu diperuntukkan bagi mereka yang dijatuhi hukuman kurang dari 3 bulan.
Di bawah ini dapat disimak beberapa hal berhubungan
dengan ketentuan pidana penjara yang dapat menjadi jus cunstituendum,
yaitu sebagai berikut:
1. Pidana penjara dijatuhkan untuk semur hidup atau untuk waktu tertentu. Waktu tertentu dijatuhkan paling lama lima belas tahun berturut-turut atau paling singkat satu hari, kecuali ditentukan minimum khusus.
2. Jika dapat dipilih antara pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, atau jika ada pemberatan pidana atas tindak pidana yang dijatuhi pidana penjara lima belas tahun maka pidana penjara dapat dijatuhkan untuk waktu dua puluh tahun berturut-turut.
3. Jika terpidana seumur hidup telah menjalani pidana paling kurang sepuluh tahun pertama dengan berkelakuan baik, Menteri Kehakiman dapat mengubah sisa pidana tersebut menjadi pidana penjara paling lama lima belas tahun.
4. Pelepasan bersyarat:
a. Menteri Kehakiman dapat memeberikan keputusan pelepasan bersyarat apabila terpidana telah mengalami setengah dari pidana penjara yang dijatuhkan, sekurang-kurangnya sembilan bulan dan berkelakuan baik.
b. Dalam pelepasan bersyarat ditentukan masa percobaan yaitu selama sisa waktu pidana penjara yang belum dijalani ditambah dengan satu tahun. Adapun syarat yang harus dipenuhi selama masa percobaan ialah sebagai berikut:
1. Pidana penjara dijatuhkan untuk semur hidup atau untuk waktu tertentu. Waktu tertentu dijatuhkan paling lama lima belas tahun berturut-turut atau paling singkat satu hari, kecuali ditentukan minimum khusus.
2. Jika dapat dipilih antara pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, atau jika ada pemberatan pidana atas tindak pidana yang dijatuhi pidana penjara lima belas tahun maka pidana penjara dapat dijatuhkan untuk waktu dua puluh tahun berturut-turut.
3. Jika terpidana seumur hidup telah menjalani pidana paling kurang sepuluh tahun pertama dengan berkelakuan baik, Menteri Kehakiman dapat mengubah sisa pidana tersebut menjadi pidana penjara paling lama lima belas tahun.
4. Pelepasan bersyarat:
a. Menteri Kehakiman dapat memeberikan keputusan pelepasan bersyarat apabila terpidana telah mengalami setengah dari pidana penjara yang dijatuhkan, sekurang-kurangnya sembilan bulan dan berkelakuan baik.
b. Dalam pelepasan bersyarat ditentukan masa percobaan yaitu selama sisa waktu pidana penjara yang belum dijalani ditambah dengan satu tahun. Adapun syarat yang harus dipenuhi selama masa percobaan ialah sebagai berikut:
(1) Terpidana tidak akan melakukan tindak pidana
(2) Terpidana harus melakukan atau tidak melakukan
perbuatan tertentu, tanpa mengurangi kemerdekaan beragama dan kemerdekaan
berpolitik
c.
Terpidana yang mengalami beberapa pidana penjnara berturut-turut, jumlah
pidananya dianggap sebagai satu pidana.
d. Pelepasan bersyarat tidak dapat
ditarik kembali setelah melampaui tiga bulan terhitung sejak habisnya masa
percobaan, kecuali jika sebelum waktu tiga bulan terpidana dituntut karena
melakukan tindak pidana dalam masa percobaan dan tuntutan berakhir karena
putusan pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Jangka waktu antara
saat mulai menjalani pelepasan bersyarat dan menjalani kembali pidana tidak dihitung
sebagai menjalani pidana.
B.
Sejarah Pidana Penjara
Pertumbuhan pidana penjara yang bersifat
rasional dan manusiawi itu mengalami proses yang memakan waktu hampir tiga
ratus tahun, dihitung sejak menghembusnya angin kebangkitan baru di sekitar
abad ke-15 sampai berhasilnya gerakan pembaharuan pidana penjara oleh
pejuang-pejuang kepenjaraan di Inggris, Amerika, dan negara-negara Eropa dalam
abad ke 16-18.
Kepustakaan penologi mencatat sejarah
pertumbuhan penjara dimulai dari berbagai peristiwa: pertama, ketikan gereja
membentuk pengadilan tersendiri lepas dari pengadilan negara dengan cara
menetapkan tindakan pengurungan di dalam gereja (MenasticPrison) yang terjadi
pada abad ke-16; kedua, perang agama yang mengakibatkan imigran dari Inggris di
bawah pimpinan William Pen menetapkan peraturan pidana berupa membatasi
kebebasan bergerak seseorang selama pelariannya ke Benua Amerika Utara tahun
1676; dan ketiga, pendidikan paksa yang dikembangkan oleh pemerintahan Inggris
memperlakukan narapidana golongan wanita untuk dipekerjakan sebagai pemintal
(Spinhuis) tahun 1596 dan golongan laki-laki untuk dipekerjakan sebagai pembuat
bahan cat (rasphius) tahun 1597.[5]
Di Amsterdam (Negeri Belanda) pada tahun 1596
didirikan “rumah penertib” (tuchtuis) yang disebut spinhuis bagi terpidana
wanita dan juga Rasphius bagi terpidana laki-laki.[6]
Pada saat bentuk pidana penjara mulai dikenal
dalam masa peralihan ternyata pelaksanaan pidana penjara masih dipengaruhi oleh
praktek perlakuan terhadap pidana badan dan nafsu untuk membalas yang sudah
terlalu lama membekas dalam budaya hukum masyarakat, sehingga memakan waktu
yang lama untuk merubah jalan pikiran yang membedakan antara bentuk pidana
penjara dan pidana badan. Peninggalan cara berpikir masa lalu itumasih nempak
bekas bekasnya dari sikap masyarakat dan sebagian penegak hukum pada masa
sekarang.
Susunan pidana di dalam W. V.S Stb. 1872-85
yang berlaku bagi orang pribumi ditentukan sebagai berikut:
1.
Pidana mati
2.
Pidana kerja paksa dengan dibelenggu rantai atau dikolong lehernya
dengan besi, selama waktu 5 tahun samapai 20 tahun
3.
Pidana kerja paksa dengan dibelenggu rantai atau dikolong lehernya
dengan besi, selama waktu 5 tahun samapai 15 tahun
4.
Pidana kerja paksa dengan dibelenggu rantai atau dikolong lehernya
dengan besi, selama waktu 5 tahun samapai 10 tahun
5.
Pidana kerja paksa, selama paling tinggi 5 tahun
6.
Pidana dipekerjakan pada pekerjaan umum, selama paling tinggi 3 bulan
7.
Pidana penjara selama paling tinggi 8 hari
8.
Pidana denda
R. A. Koesnoen menyebutkan bahwa untuk
pertama kalinya dibangun “boei” di Batavia pada tahun 1602. Ditinjau dari
sejarah pemerintahan kolonial Belanda yang menduduki Hindia Belanda dahulu,
kiranya penentuan tahun 1602 menjadi sejarah permulaan berdirinya boei
mendekati kebenaran. Akan tetapi sejarah permulaan rumah boei menurut penulis
masih dapat ditentukan perkiraan tahun yang lain.[7]
Rumah Boei yang dibangun antara tahun 1872
(W.v.S.S. 1872-85) samapai tahun 1915 mempunyai peranan sebagai tempat
pelaksanaan berbagai jenis pidana badan, oleh karena dalam kurun waktu itu
jenis pidana penjara hanyalah pidana ringan. Pembangunan sarana pendukung
pidana penjara berupa boei dan markas perantaian Benteng Willem I di Ambarawa
tahun 1825, di rumah Ruku Sumatera Timur tahun 1887, di Medan tahun 1890, di
Surabaya tahun 1893, dan di beberapa tempat lainnya tidak tercatat tahunnya.
Di Nusakambangan (luas 210 km persegi) telah
dibangun sebanyak sepuluh rumah boei. Boei permisan dibangun dalam tahun 1908
yang terletak di Nusakambangan selatan, suatu tempat yang terpilih apabila
terjadi pelarian tentu hilang ditelan gelombang laut selatan atau dimakan
dimakan binatang buas di hutan sekelilingnya. Seterusnya dibangun boei
Karangayar dan Nirbaya tahun 1912, boei batu tahun 1925, boei Karangtengah dan
gliger tahun 1928, boei Besi tahun 1929, boei Limus Buntu dan Cilacap tahun
1935, dan terakhir boei Kembang Kuning tahun 1940.[8]
Peraturan hukum pidana dan peraturan
kepenjaraan menurut W.v.S S. 1866-55 bagi golongan Eropa telah dihapuskan
pidana kerja paksa diganti dengan tuchthuisstraf
sebagai pidana yang baru disamping gevangenisstraf,
ternyata belum membawa hasil yang diharapkan, sekalipun peraturan itu
mengandung unsur tuntutan pembaharuan pidana yang sudah berkembang sejak akhir
abad ke-19.
Gagasan pembaharuan Pidana mulai diatur dalam
Gestichten Reglement S. 1917 sebagai
peraturan pelaksanaan pasal 29 W.v.S 1915 yang berlaku pada tanggal 1 januari
1918 diharapkan menjadi titik tolak penghapusan peraturan pidana kerja paksa,
dan di beberapa bagian peraturannya terdapat dasar pelaksanaan pidana penjara
yang mengandung pandangan dari aspek aspek pembaharuan pidana.[9]
Konperensi Dinas pada tanggal 12-15 November
1951 di Nusakambangan berhasil memantapkan sistem kepenjaraan, yang antara lain
mengenai seleksi serta diferensiasi, perwatan sosial narapidana, dan
peningkatan pendidikan pegawai.
Konperensi dinas berikutnya yang dilakukan
pada tanggal 21-25 Juli 1956 di Srangan menetapkan acara tentang upaya
kepenjaraan yang tiada lain bermaksud menekankan bahwa pada prinsipnya pidana
penjara berupaya mengembalikan seseorang menjadi anggota masyarakat yang baik,
sehingga perlu meningkatkan usaha-usaha ke arah pendidikan, pekerjaan
narapidana, kegiatan rekreasi, urusan pidana bersyarat dan proses pelepasan
bersyarat harus ditingkatkan.
Dengan demikian hasil konperensi 1951 dan
1956 tersebut telah diperoleh konsep konsep rumusan tentang kebijaksanaan
kepenjaraan yang sedapat mungkin untuk mewujudkan prinsip standar minimun rules (S.M.R). Standar Minimum Rules yang mengandung prinsip berdasarkan azas
perikemanusiaan sebagai dasar pembaharuan pelaksanaan pidana penjara serta
perlakuan terhadap narapidana tidak dapat dikesampingkan begitu saja oleh
negara dan bangsa yang merdeka dan berdaulat di bawah naungan Perserikatan
Bangsa Bangsa.[10] Prinsip
prinsip di dalam rules tersebut mempunyai unsur unsur yang sama dengan Universal Declaration of Human Rights 1948.
Pembaharuan kepenjaraan di Indonesia mencapai
titik puncak ketika diselenggarakan konperensi dinas para pimpinan kepenjaraan
pada tanggal 27 April – 7 Mei 1964 di Lembang (Bandung) yang telah berhasil merumuskan
dasar dasar tentang usaha pemasyarakatan terhadap narapidana.[11]
C.
Pelaksanaan Pidana Penjara Dengan Sistem
Pemasyarakatan
Dalam hukum pidana kita
terdapat jenis pidana yang bersifat menghilangkan kemerdekaan bergerak dari
terpidana yaitu pidana penjara. Hal ini terdapat dalam ketentuan pasal 10 KUHP.
Tujuan dari pidana penjara sendiri menurut Saharjdo,SH dalam pidato penerimaan
gelar doctor honoris causa dalam ilmu hukum dari Universitas Indonesia tanggal
5 Juli 1963 adalah sebagai berikut: “Disamping menimbulkan rasa derita pada
terpidana karena hilangnya kemerdekaan bergerak, membimbing terpidana agar
bertobat,mendidik supaya ia menjadi seorang anggota masyarakat sosialis
Indonesia yang berguna. Dengan singkat tujuan pidana adalah kemasyarakatan”.
Jadi, di sini jelas bahwa dalam pelaksanaan pidana penjara tidak hanya
bertujuan sebagai pembalasan saja melainkan juga harus disertai dengan
pembinaan terhadap para terpidana dan pembinaan ini merupakan hal terpenting
untuk orientasi ke depan. Sejak tahun 1964 penjara bagi suatu tempat untuk
menjalankan pidana penjara sudah diganti dengan istilah Lembaga Pemasyarakatan
(LP). Perubahan ini memiliki hubungan dengan gagasan Dr. Saharjo untuk
menjadikan LP bukan sebagai suatu tempat yang semata-mata menghukum dan
menderitakan orang. Akan tetapi suatu tempat untuk membina atau mendidik
orang-orang yang telah berkelakuan menyimpang agar setelah menjalani pembinaan
di LP dapat menjadi orang dan dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan
masyarakat.
Menurut Mohamad Suhardi dalam perspektif sosiologis, kejahatan merupakan tindakan menyimpang individu sebagai hasil dari interaksi menyimpang individu itu di tengah masyarakatnya. Dari perspektif ini perlu dikembangkan sebuah teori pembinaan terhadap narapidana sebagai pelaku kejahatan, yaitu teori penyatuan kembali interaksi narapidana tersebut secara wajar dengan nilai-nilai positif masyarakatnya/reintegrasi social. Pelaksanaan pidana penjara dengan sistem pemasyarakatan, tidak hanya ditujukan untuk mengayomi masyarakat dari bahaya kejahatan, melainkan juga orang-orang yang tersesat karena melakukan tindak pidana perlu diayomi dan diberikan bekal hidup sehingga dapat menjadi warga yang berfaedah di dalam masyarakat. Namun dalam kenyataannya sangat tidak mudah mewujudkan tujuan mulia tersebut. Dalam praktek di lapangan banyak menemui kendala dan hambatan diantaranya masih banyak ditemukan berbagai bentuk kekerasan serta diskriminasi di Lembaga Pemasyarakatan. Keadaan tersebut mengakibatkan tujuan pidana penjara di negara kita kurang dapat terwujud secara efektif. Dalam menjalani pidana penjara di Lembaga Pemasyarakatan, narapidana wajib menjalankan pekerjaan-pekerjaan yang diwajibkan kepadanya menurut ketentuan pelaksanaan dari Pasal 29 KUHP. Kewajiban bekerja atau menjalankan pekerjaan bagi narapidana penjara dapat juga dilakukan di luar Lembaga
Menurut Mohamad Suhardi dalam perspektif sosiologis, kejahatan merupakan tindakan menyimpang individu sebagai hasil dari interaksi menyimpang individu itu di tengah masyarakatnya. Dari perspektif ini perlu dikembangkan sebuah teori pembinaan terhadap narapidana sebagai pelaku kejahatan, yaitu teori penyatuan kembali interaksi narapidana tersebut secara wajar dengan nilai-nilai positif masyarakatnya/reintegrasi social. Pelaksanaan pidana penjara dengan sistem pemasyarakatan, tidak hanya ditujukan untuk mengayomi masyarakat dari bahaya kejahatan, melainkan juga orang-orang yang tersesat karena melakukan tindak pidana perlu diayomi dan diberikan bekal hidup sehingga dapat menjadi warga yang berfaedah di dalam masyarakat. Namun dalam kenyataannya sangat tidak mudah mewujudkan tujuan mulia tersebut. Dalam praktek di lapangan banyak menemui kendala dan hambatan diantaranya masih banyak ditemukan berbagai bentuk kekerasan serta diskriminasi di Lembaga Pemasyarakatan. Keadaan tersebut mengakibatkan tujuan pidana penjara di negara kita kurang dapat terwujud secara efektif. Dalam menjalani pidana penjara di Lembaga Pemasyarakatan, narapidana wajib menjalankan pekerjaan-pekerjaan yang diwajibkan kepadanya menurut ketentuan pelaksanaan dari Pasal 29 KUHP. Kewajiban bekerja atau menjalankan pekerjaan bagi narapidana penjara dapat juga dilakukan di luar Lembaga
Pemasyarakatan, kecuali bagi.
a. Narapidana yang dipidana penjara seumur hidup
b. Narapidan wanita
c. Narapidana yang menurut pemeriksanaan dokter dengan pertimbangan tertentu tidak dapat bekerja di luar Lembaga Pemasyrakatan.
a. Narapidana yang dipidana penjara seumur hidup
b. Narapidan wanita
c. Narapidana yang menurut pemeriksanaan dokter dengan pertimbangan tertentu tidak dapat bekerja di luar Lembaga Pemasyrakatan.
Selain ketentuan tersebut
narapidana penjara dapat juga tidak diperbolehkan untuk bekerja di luar tembok
Lembaga Pemasyarakatan, yakni jika dalam putusan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan
tertentu hakim tidak memperbolehkan narapidanauntukbekerjadiluarLP.
Secara umum proses pembinaan narapidana dengan Sistem Pemasyarakatan Indonesia terdiri atas 4 (empat) tahap. Dalam tahap pertama lembaga pemasyarakatan melakukan penelitian terhadap hal ikhwal narapidana; sebab dilakukannya suatu pelanggaran. Pembinaan ini dilaksanakan saat yang bersangkutan berstatus sebagai narapidana sampai dengan 1/3 (sepertiga) masa pidananya. Masa ini juga merupakan masa orientasi berupa masa pengamatan, pengenalan, dan penelitian lingkungan yang dilakukan paling lama satu bulan. Di sini para narapidana mendapatkan pembinaan
Secara umum proses pembinaan narapidana dengan Sistem Pemasyarakatan Indonesia terdiri atas 4 (empat) tahap. Dalam tahap pertama lembaga pemasyarakatan melakukan penelitian terhadap hal ikhwal narapidana; sebab dilakukannya suatu pelanggaran. Pembinaan ini dilaksanakan saat yang bersangkutan berstatus sebagai narapidana sampai dengan 1/3 (sepertiga) masa pidananya. Masa ini juga merupakan masa orientasi berupa masa pengamatan, pengenalan, dan penelitian lingkungan yang dilakukan paling lama satu bulan. Di sini para narapidana mendapatkan pembinaan
kepribadian diantaranya :
a. Pembinaan kesadaran beragama
b. pembinaan kesadaran berbangsa dan bernegara
c. pembinaan kemampuan intelektual (kecerdasan)
d. pembinaan kesadaran hukum.
Pada tahap ini, pembinaan dilakukan didalam lembaga pemasyarakatan dengan pengawasan maksimum.
a. Pembinaan kesadaran beragama
b. pembinaan kesadaran berbangsa dan bernegara
c. pembinaan kemampuan intelektual (kecerdasan)
d. pembinaan kesadaran hukum.
Pada tahap ini, pembinaan dilakukan didalam lembaga pemasyarakatan dengan pengawasan maksimum.
Pada tahap kedua dimana
narapidana tersebut dianggap sudah mencapai cukup kemajuan maka kepada
narapidana diberikan kebebasan yang lebih banyak dan ditempatkan pada Lembaga
Pemasyarakatan dalam pengawasan medium security. Yang dimaksud dengan
narapidana telah menunjukkan kemajuan disini adalah dengan terlihatnya
keinsyafan, perbaikan diri, disiplin dan patuh pada peraturan tata-tertib yang
berlaku di Lembaga. Tahap ini dilakukan setelah narapidana menjalani 1/3 sampai
½ masa pidana. Di sini narapidana mendapatkan pembinaan kepribadian
lanjutan serta pembinaan kemandirian antara lain :
a.Keterampilan untuk mendukung usaha-usaha mandiri
b.Keterampilan untuk mendukung usaha-usaha industri kecil
c.Keterampilan yang dikembangkan sesuai dengan bakatnya masing-masing
d. Keterampilan untuk mendukung usaha-usaha industri/Pertanian/Perkebunan dengan teknologi madya/ tinggi.
a.Keterampilan untuk mendukung usaha-usaha mandiri
b.Keterampilan untuk mendukung usaha-usaha industri kecil
c.Keterampilan yang dikembangkan sesuai dengan bakatnya masing-masing
d. Keterampilan untuk mendukung usaha-usaha industri/Pertanian/Perkebunan dengan teknologi madya/ tinggi.
Tahap ketiga selanjutnya
ialah tahap asimilasi yang dilakukan setelah menjalani 1/2 dari masa pidana
yang sebenarnya. pelaksanaannya terdiri dari 2 bagian yaitu yang pertama
waktunya dimulai sejak berakhirnya tahap awal sampai dengan 1/2 dari masa
pidananya. Pada bagian ini pembinaan masih dilaksanakan di dalam Lapas dengan
sistem pengawasan menengah (medium security). Bagian kedua dimulai sejak berakhirnya
masa lanjutan pertama sampai dengan 2/3 masa pidananya. Dalam bagian lanjutan
ini narapidana sudah memasuki tahap asimilasi dan selanjutnya dapat diberikan
pembebasan bersyarat atau cuti menjelang bebas dengan pengawasan minimum.
Tahap keempat atau tahap
akhir dilaksanakan setelah proses pembinaan telah berjalan selama 2/3 masa
pidana yang sebenarnya atau sekurang-kurangnya 9 bulan. Pembinaan tahap akhir
yaitu berupa kegiatan perencanaan dan pelaksanaan program integrasi yang
dimulai sejak berakhirnya tahap lanjutan sampai dengan selesainya masa pidana.
Pada tahap ini, bagi narapidana yang memenuhi syarat diberikan cuti menjelang
bebas atau pembebasan bersyarat. Pembinaan dilakukan diluar Lapas oleh Balai
Pemasyarakatan (BAPAS) yang kemudian disebut pembimbingan Klien Pemasyarakatan.
Setelah tahap-tahap tersebut narapidana siap untuk dikembalikan ke masyarakat
dan diharapkan menjadi manusia yang madiri, tidak melakukan tindak pidana lagi,
serta dapat berperan aktif dalam masyarakat.\
D.
Hak Dan Kewajiban Warga
Binaan
Warga
Binaan Pemasyarakatan ( WBP ) adalah Orang-Orang yang di cabut kebebasannya
untuk bergerak sebagai konsekwensi dari perbuatan / pelanggaran yang pernah di
lakukan sedangkan hak-hak lainnya sebagai manusia tetap di berikan oleh negara
dan di atur sesuai Undang-Undang dan Peraturan yang berlaku.
berikut ini adalah Hak dan Kewajiban
Warga Binaan Pemasyarakatan:
1. Melakukan ibadah sesuai dengan agama dan keyakinannya
1. Melakukan ibadah sesuai dengan agama dan keyakinannya
a. Untuk yang beragama Islam melaksanakan shalat Fardhu
di kamar atau di masjid,melaksanakan ibadah puasa Ramadhan dan memperingati
hari-hari besar Islam lainnya
b. Untuk yang beragama Nasrani untuk melaksanakan
kebaktian sesuai jadwal yang telah di tentukan dan memperingati hari-hari besar
Nasrani lainnya
c. Untuk yang beragama Nasrani untuk melaksanakan
persembahyangan di Pura dan memperingati hari-hari besar keagamaan lainnya
d. Untuk yang beragama Budha di berikan kesempatan
untuk beribadah yang sama
2. Mendapatkan perawatan Rohani dan Jasmani
a. Perawatan Rohani di lakukan melalui penyuluhan rohani
secara terjadwal
b. Perawatan Jasmani di lakukanmelalui kegiatan senam
pagi secara terjadwal dan kegiatan olah raga sesuai dengan fasilitas yang ada
c. WBP selama di Lapas di tempatkan dalam kamar sesuai
yang telah di tentukan oleh Pihak Petugas
d. Pada kamar hunian di siapkan kamar mandi atau toilet
serta perlengkapan mandi ( sabun mandi, pasta gigi,sabun cuci untuk mencuci
pakaian ) dan kamar mandi umum
e. WBP di wajibkan mengenakan baju yang telah di tentukan
(baju warna biru untuk Napi dan orange untuk tahanan
3. Mendapatkan
pendidikan dan pengajaran
a. Pendidikan
umum ( keaksaraan fungsional ) dan pendidikan keagamaan
b. Penyuluhan
hukum,Napza,HIV / AIDS, dll
c. Upacara peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia
tiap tanggal 17 Agustus
d. Peringatan Hari besar Nasional ,Hari Bhakti
Pemasyarakatan dan Hari Dharma Karya Dhika
e. WBP di berikan kesempatan yang seluas-luasnya untuk
mengembangkan bakat dan potensi yang di milikinya ( Keolahragaan, Kesenian
keterampilan , Dsb )
4. Mendapatkan pelayanan kesehatan ,makanan dan
minum yang layak
a. Pelayanan kesehatan di berikan melalui pengecekan
kesehatan rutin,pemberian obat-obatan,pengobatan massal ,perawatan di
poliklinik Lapas dan perawatan di Rumah Sakit luar Lapas
b Makanan di berikan bagi WBP sebanyak 3 kali sehari
(Pagi,Siang, sore) dengan menu yang variatif dan makanan lainnya sesuai dengan
ketentuan Perundang-undangan yang berlaku
c. Minuman di berikan berupa air putih matang
d. Setiap WBP yang mengidap penyakit menular di tempatkan
pada kamar isolasi atau kamar khusus
e. Tes urine kepada WBP
5. Menyampaikan keluhan
a. Keluhan mengenai perlakuan pelayanan petugas maupun
sesama WBP dapat di sampaikan kepada Kalapas secara lisan maupun tertulis
melalui kotak saran dan atau nomer sms pengaduan yang telah di sediakan
b. Kalapas menugaskan Wali Blok/ Pembina Blok /
Petugas Paste Blok pada setiap Blok Hunian atau Wali Pemasyarakatan untuk
memantau perkembangan kepribadian WBP
6. Mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa yang tidak di larang
a. Perpustakaan Lapas menyediakan bahan bacaan berupa
buku pengetahuan umum dan keagamaan yang dapat di pinjam dan di baca di dalam
kamar
b. siaran media elektronika di sediakan melalui
televisi yang di pasang pada Blok Hunian
7. Mendapatkan Upah atau Premi atas pekerjaan
yang di lakukan
a. Upah atau Premi di berikan kepada WBP yang
melakukan kerja produktif di Balai Latihan Kerja Lapas / Bengkel Kerja Lapas
b. Upah yang di berikan dalam bentuk voucher belanja
tau di masukkan dalam buku tabungan WBP yang bersangkutan
8. Menerima kunjungan Keluarga, Penasehat Hukum atau orang tertentu lainnya
a. Kunjungan keluarga WBP di lakukan di ruang
kunjungan secara terjadwal sesuai dengan alur dan tata cara yang telah di
tentukan
b. Kunjungna Penasehat Hukum di berikan kesempatan
sesuai dengan Prosedur yang berlaku
c. Kunjungan khusus Idul Fitri atau moment tertentu di
lakukan sesuai dengan ketentuan yang telah di tetapkan oleh Lapas
d. Setiap WBP atau Pengunjung sebelum dan setelah
kunjungan di adakan pemeriksaan
terhadap badan dan barang bawaan , apabila di temukan barang yang di larang
akan di proses sesuai dengan aturan yang berlaku
e. Uang yang di miliki oleh WBP di masukkan dalam buku
tabungan yang bersangkutan
9.
Mendapatkan pengurangan pidana ( remisi )
a. Setiap WBP mendapatkan pengurangan masa hukuman
setiap tanggal 17 Agustus dan setiap hari besar keagamaan yang di anut sesuai
dengan ketentuan yang berlaku
b. WBP yang melanggar ketentuan Lapas tidak di berikan
remisi dan di berikan kesempatan untuk mendapatkan Program Asimilasi (PB, CMB,
CB )
10. Mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk
cuti mengunjungi keluarga
a. Asimilasi di berikan kepada WBP yang telah menjalani
1/2 ( setengah ) masa pidana ( kecuali kasus tertentu ) dan sesuai dengan
peraturan yang berlaku
b. Cuti mengunjungi keluarga dapat di berikan
setelah menjalani 1/2 masa pidana selama 2 x 24 jam
11. Mendapatkan pembebasan bersyarat
a. Pembebasan bersyarat ( PB ) dapat di berikan kepada
WBP yang dengan hukuman 1/2 bulan atau lebih setelah menjalani 2/3 ( dua per
tiga ) masa pidana
b. PB di berikan setelah memenuhi syarat subtantib dan
administratif sesuai dengan ketentuan hukum dan perundang-undangan yang
berlaku
12.
Mendapatkan Cuti Menjelang Bebas ( CMB ) dan Cuti Bersyarat ( CB )
a. Cuti menjelang bebas ( CMB ) di berikan kepada WBP
yang dengan hukuman 1/2 bulan atau lebih setelah menjalani 2/3 ( dua per tiga )
masa pidana sebesar remisi terakhir
b. Cuti Bersyarat ( CB ) di berikan kepada WBPdengan
hukuman kurang dari atau sama dengan 12 bulan setelah menjalani 6 ( enam
) bulan hukuman pidana sebesar maksimal 3 (tiga ) bulan
c. CMB dan CB di berikan setelah memenuhi syarat subtantib
dan administratif sesuai dengan ketentuan
hukum dan perundang-undangan yang berlaku
13. Mendapatkan ijin khusus
a. Ijin khusus keluar Lapas sesuai dengan ketentuan
yang berlaku
b. Ijin tidak di berikan kepada terpidana mati maupun
kepada WBP yang terancam jiwanya
14.Mendapatkan
hak-hak lain sesuai dengan ketentuan hukum dan perundang-undangan yang berlaku
BAB III
TINJAUAN LAPAS
A.
Keadaan Dan Isi Lapas Anak
Kapasitas hunian LPKA Medan adalah 468 anak, sampai dengan saat ini jumlah
anak (tahanan) dan anak (narapidana) di Lembaga Pembinaan Khusus Anak Klas II Medan sudah mencapai 163 anak.
B.
Program Pendidikan Dan Pembinaan Pendidikan
Beberapa Program Pendidikan yang ada di
Lembaga Pembinaan Khusus Anak Klas II Medan (LPKA), yang harus diikuti oleh setiap anak didik berupa pendidikan
pesantren, pendidikan formal, dan informal. Pendidikan keagamaan melalui wadah
pesantren dan
sekolah umum yang di dalamnya antara lain:
1.
Sekolah Layanan Khusus
2.
SMP Terbuka
3.
Sekolah Pendidikan Khusus
Beberapa Program pembinaan yang ada di LPKA Medan antara lain adalah:
1.
Pembinaan mental rohani
2.
Pembinaan intelektual dan wawasan kebangsaan
3.
Pembinaan olahraga dan kesenian
4.
Pembinaan kemasyarakatan/sosial
5.
Pembinaan kemandirian
C.
Kondisi LPKA
1.
Jumlah gangguan ketertiban
Kurun waktu tahun 2018-2019: NIHIL
2.
Jumlah Pengaduan
Kurun waktu tahun 2018-2019:
a.
Pengaduan eksternal (masyarakat): NIHIL
b.
Pengaduan Internal berupa saran dan masukan dari anak anak
3.
Layanan Kunjungan
Kunjungan di LPKA Medan diadakan setiap hari kerja, dan hari besar
keagamaan, kecuali hari jumat, minggu dan libur nasional pelaksanaannya
dilakukan dari jam 09.00 – 14.30, waktu kunjungan tentatif, dikarenakan
masyarakat dan keluarga yang berkunjung sangatlah minim.
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Proses
Pembinaan Terhadap Narapidana Di Lembaga Pemasyarakatan
Dinamika perkembangan dunia
yang pesat, kesadaran hukum masyarakat yang tinggi dan kualitas masyarakat yang
semakin kritis dalam menangani permasalahan yang berkaitan dengan hukum,
menyebabkan kualitas pembinaan terhadap narapidana dan pendekatannya juga harus
meningkat ke arah yang lebih baik dan lebih manusiawi sesuai dengan aspirasi dan
tuntutan masyarakat akan kepastian dan pengayoman yang berintikan keadilan dan
kebenaran.
Beberapa fase perkembangan diawali dengan adanya faham balas dendam kepada pelaku tindak pidana. Selanjutnya berkembang ke faham pembalasan yang setimpal. Berikutnya pada kurang abad ke XVIII dan awal abad ke XIX lahir faham rehabilitasi yaitu pelaku delik diperbaiki, dibina dan bukan semata-mata mendapat pembinaan.Pada awalnya gagasan/konsepsi pemasyarakatan sebagai reformasi pembinaan narapidana, diperknalkan pertama kali oleh Dr. Sahardjo dalam pidatonya tentang konsepsi hukum nasional yang dilambangkan sebagai pohon beringin pengayoman pada tanggal 5 Juli 1963. Disini pemasyarakatan dianggap sebagai tujuan dari pemidanaan, yang membedakan dari sistem kepenjaraan. Sedang istilah pemasyarakatan baru secara resmi digunakan dalam Konferensi Dinas Kepenjaraan pada tanggal 27 April 1964. Sistem kepenjaraan dan sistem pemasyarakatan perbedaannya terletak pada asas tujuan dan pendekatan yang melandasi tata perlakuan (pembinaan) terhadap para narapidana.
Beberapa fase perkembangan diawali dengan adanya faham balas dendam kepada pelaku tindak pidana. Selanjutnya berkembang ke faham pembalasan yang setimpal. Berikutnya pada kurang abad ke XVIII dan awal abad ke XIX lahir faham rehabilitasi yaitu pelaku delik diperbaiki, dibina dan bukan semata-mata mendapat pembinaan.Pada awalnya gagasan/konsepsi pemasyarakatan sebagai reformasi pembinaan narapidana, diperknalkan pertama kali oleh Dr. Sahardjo dalam pidatonya tentang konsepsi hukum nasional yang dilambangkan sebagai pohon beringin pengayoman pada tanggal 5 Juli 1963. Disini pemasyarakatan dianggap sebagai tujuan dari pemidanaan, yang membedakan dari sistem kepenjaraan. Sedang istilah pemasyarakatan baru secara resmi digunakan dalam Konferensi Dinas Kepenjaraan pada tanggal 27 April 1964. Sistem kepenjaraan dan sistem pemasyarakatan perbedaannya terletak pada asas tujuan dan pendekatan yang melandasi tata perlakuan (pembinaan) terhadap para narapidana.
Dalam sistem pemasyarakatan,
narapidana dipandang sebagai manusia yang memiliki fitrah kemanusiaan, itikad
dan potensi positif yang dapat digali dan dikembangkan dalam rangka pembentukan
manusia Indonesia seutuhnya, jadi berlainan dengan sistem kepenjaraan yang
semata-mata bersifat balas dendam dan penjelasan terhadap narapidana. Dalam sistem
pemasyrakatan dimaksudkan sebagai suatu proses pembinaan narapidana yang
bertujuan untuk membina narapidana dalam arti menyembuhkan seseorang yang
sementara tersesat hidupnya karena ada kelemahan-kelemahan yang dimilikinya.
Disamping itu juga mereka dapat menjadi manusia seutuhnya bagaimana telah
menjadi arah pembangunan nasional, hal ini sesuai dengan tujuan dan fungsi
sistem pemasyarakatan (Pasal 2 dan 3 Undang-undang tentang Pemasyarakatan No.
12 tahun 1995) yaitu :
a. Dalam rangka membentuk warga binaan sistem pemasyarakatan (antara lain narapidana) agar menjadi manusia seutuhnya menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat hidup secara wajar sebagai warga negara yang baik dan bertanggungjawab.
b. Menyiapkan warga binaan pemasyarakatan (antara lain narapidana) agar dapat berintegrasi secara sehat dengan masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab
a. Dalam rangka membentuk warga binaan sistem pemasyarakatan (antara lain narapidana) agar menjadi manusia seutuhnya menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat hidup secara wajar sebagai warga negara yang baik dan bertanggungjawab.
b. Menyiapkan warga binaan pemasyarakatan (antara lain narapidana) agar dapat berintegrasi secara sehat dengan masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab
c. Mampu
menempatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa dan mendapatkankebahagiaan di dunia
dan akhirat.
Mengingat ancaman pidana
untuk tindak pidana narkotika ini merupakan ancaman pidana yang tergolong cukup
lama bahkan ancaman pidananya bisa seumur hidup, oleh karena itu peranan
lembaga pemasyrakatan sangatlah penting dalam hal pembinaan terhadap narapidana
yang hukuman pidananya cukup lama, dikarenakan sekalipun telah diusahakan berbagai
hal dalam rangka pembinaan narapidana selama menjalani pidana, namun ternyata
dampak psikologis akibat pidana penjara masih nampak dan memerlukan pemikiran
yang tuntas. Bagaimana juga dampak psikologis akibat pidana penjara itu
sendiri, sehingga sebenarnya seorang narapidana tidak hanya dipidana secara
fisik, tetapi juga secara psikologis. Pidana secara psikologis merupakan beban
yang berat bagi setiap narapidana, sehingga diperlukan pemikiran untuk
memecahkan. Berbagai dampak psikologis tersebut antara lain :
a. Lose of personaling adalah seorang narapidana selama dipidana akan kehilangan kepribadian diri, identitas diri akibat peraturan dan tata cara di lembaga pemasyarakatan.
b. Lose of security adalah pengawasan yang setiap saat, narapidana kan ragu dalam bertindak, kurang percaya diri, dan tidak mampu mengambil keputusan secara baik.
a. Lose of personaling adalah seorang narapidana selama dipidana akan kehilangan kepribadian diri, identitas diri akibat peraturan dan tata cara di lembaga pemasyarakatan.
b. Lose of security adalah pengawasan yang setiap saat, narapidana kan ragu dalam bertindak, kurang percaya diri, dan tidak mampu mengambil keputusan secara baik.
c. Lose of liberty adalah hilangnya berbagai kemerdekaan individual seperti kemerdekaan berpendapat dan sebagainya.
d. Lose of personal communication adalah hilangnya kebebasan untuk berkomunikasi terhadap siapapun juga.
e. Lose of good and service adalah hilangnya pelayanan menyebabkan narapidana kehilangan rasa affection, kasih sayang yang biasanya didapat di rumah.
f. Lose of heterosexual adalah hilangnya penyaluran nafsu sex yang terpendam, sehingga akan terjadinya abnormalitas sexual eperti homo sex.
g. Lose of prestige adalah narapidana akan kehilangan dirinya, seperti kamar tidur (sel) yang hanya berpintu terali besi.
h. Lose of believe adalah karena hukum yang dijalani narapidana cukup lama maka ia akan kehilangan rasa percaya diri, seperti kurang memiliki stabilitas jiwa yang mantap.
i. Lose of creativity adalah narapidana akan terampas kreativitasnya, ide-idenya, bahkan juga mpian dan cita-citanya.
Pembinaan narapidana yang
dilakukan di lembaga pemasyarakatan ditujukan agar selama masa pembinaan dan
sudah selesai menjalankan pidananya para narapidana dapat :
a. Berhasil memantapkan kembali harga diri dan kepercayaan dirinya serta bersikap optimis akan masa depannya.
b. Dapat memperoleh pengetahuan, minimal keterampilan untuk bekal mampu hidup mandiri dan berpartisipasi dalam egiatan pembangunan nasional.
c. Berhasil menjadi manusia yang patuh hukum yang tercermin pada sikap dan erilaku yang tertib, disiplin serta mampu menggalang rasa kesetiakawanan nasional.
d. Memiliki jiwa dan semangat pengabdian terhadap bangsa dan negara.
a. Berhasil memantapkan kembali harga diri dan kepercayaan dirinya serta bersikap optimis akan masa depannya.
b. Dapat memperoleh pengetahuan, minimal keterampilan untuk bekal mampu hidup mandiri dan berpartisipasi dalam egiatan pembangunan nasional.
c. Berhasil menjadi manusia yang patuh hukum yang tercermin pada sikap dan erilaku yang tertib, disiplin serta mampu menggalang rasa kesetiakawanan nasional.
d. Memiliki jiwa dan semangat pengabdian terhadap bangsa dan negara.
Pembinaan narapidana tidak
dapat hanya dilakukan oleh petugas pemasyarakatan saja, tetapi sangat
diperlukan bantuan dari berbagai pihak yang terlibat dalam pembinaan
narapidana. Harus disadari bahwa dalam embinaan narapidana prinsi-prinsip dasar
pembinaan harus berjalan seiring, searah dan selaras untuk mencapai tujuan. Prinsip itu
adalah kemauan atau hasrat narapidana untuk membina sendiri, keterlibatan
keluarga dalam membina anggota keluarganya yang menjadi narapidana dan keterlibatan masyarakat untuk ikut serta membina
narapidana dan peran kelompok masyarakat serta pemerintah dalam membina
narapidana. Hanya dengan peran serta semua pihak, pembinaan narapidana dapai
dicapai dengan baik, sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai. Sesuai dengan prinsip-prinsip kemasyarakatan yang
dihasilkan melalui konferensi Lembang 27 April 1964, maka sebenarnya tujuan
dari lembaga pemasyarakatan ini adalah untuk membina narapidana agar setelah
narapidana selesai menjalani masa pidananya dapat berbaur dengan masyarakat
sekitarnya serta bisa hidup mandiri dengan baik. Dengan memperhatikan pengertian pemasyarakatan adalah sebagai suatu
proses pembinaan terpidana yang dengan putusan hakim untuk menjalani pidananya
ditempatkan dalam lembaga pemasyarakatan. Hal ini dapat diartikan bahwa
pembinaan narapidana harus merupakan bagian dari pembangunan nasional yang
dapat menggugah kesadaran setiap warga negara untuk berpartisipasi dalam usaha
pembinaan narapidana tersebut. Lembaga
pemasyarakatan yang bertugas membina para narapidana secara teratur dan
terencana harus memperhatikan latar belakang narapidana itu, misalnya tingkat
pendidikannya, agar tujuan yang diharapkan dapat diwujudkan. Dengan demikian
program pembinaan terhadap narapidana itu perlu ditangani secara khusus agar
sesuai dengan tingkat pendidikan dan kemampuan narapidana itu sendiri. Narapidana sebagai bagian dari masyarakat Indonesia
perlu mendapat perhatian yang sungguh-sungguh dari berbagai lapisan masyarakat
agar para narapidana itu dapat menikmati hidup bermasyarakat yang tenteram.
Peran dari lembaga pemasyarakatan yang bertugas
membina narapidana bahwa narapidana tersebut harus dibekali pengertian
norma-norma kehidupan serta melibatkan mereka dalam kegiatan-kegiatan sosial
yang dapat menumbuhkan rasa percaya diri dalam kehidupan bermasyarakat, agar
narapidana itu sanggup hidup mandiri. Narapidana itu harus mempunyai daya
tahan, dalam arti bahwa narapidana itu harus mampu hidup bersaing dengan
masyarakat tanpa melakukan kejahatan lagi.
Program pembinaan berdasarkan
proses tahapan pemidanaan, diawali
pada tahapan maksimum securiry (1/3 MP), tahapan medium security (1/2
MP-asimilasi), dan program reintegrasi
(PB/ Pembebasan bersyarat - 2/3 MP). Setiap tahapan di evaluasi oleh Tim PengamatPemasyarakatan (TPP)
Lapas, melalui sidang TPP dengan didampingi wali
pemasyarakatan dan dihadiri Petugas Bapas.
B.
Kendala Yang Ditemui Oleh Lembaga
Pemasyarakatan Dalam Pemberian Pembekalan Keterampilan
Kendala yang sering terjadi dalam melakukan
pemberian pembekalan keterampilan untuk narapidana biasanya adalah faktor yang
berasal dari Narapidana Dan Faktor yang berasal dari Lapas.
1.
Faktor yang berasal dari Narapidana
Narapidana melakukan
perbutan – perbuatan yang menyalahi aturan yang sudah ditetapkan oleh Lapas,
Narapidana tidak mau diatur dan melakukan perlawanan.
2.
Faktor yang berasal dari Lapas
Fasilitas fasiltas
penunjang Narapidana untuk menegmbangkan keahlian keterampilan seperti
fasilitas yang kurang di dalam lapas serta tenaga pengajar yang mengajarkan
keterampilan yang terkadang tidak ada.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1.
Program pembinaan
berdasarkan proses tahapan pemidanaan, diawali
pada tahapan maksimum securiry (1/3 MP), tahapan medium security (1/2
MP-asimilasi), dan program reintegrasi
(PB/ Pembebasan bersyarat - 2/3 MP). Setiap tahapan di evaluasi oleh Tim PengamatPemasyarakatan (TPP)
Lapas, melalui sidang TPP dengan didampingi wali
pemasyarakatan dan dihadiri Petugas Bapas.
2.
Kendala yang sering terjadi dalam melakukan pemberian pembekalan
keterampilan untuk narapidana biasanya adalah faktor yang berasal dari
Narapidana Dan Faktor yang berasal dari Lapas.
a.
Faktor yang berasal dari Narapidana
Narapidana melakukan
perbutan – perbuatan yang menyalahi aturan yang sudah ditetapkan oleh Lapas,
Narapidana tidak mau diatur dan melakukan perlawanan.
b.
Faktor yang berasal dari Lapas
Fasilitas fasiltas
penunjang Narapidana untuk menegmbangkan keahlian keterampilan seperti
fasilitas yang kurang di dalam lapas serta tenaga pengajar yang mengajarkan
keterampilan yang terkadang tidak ada.
B.
Saran
Lembaga Pemasyarakatan harus lebih aktif
dalam melakukan pembinaan terhadap warga binaan sehingga kualitas pembinaan
lebih baik dan program pembinaan bisa berjalan dengan baik dan mampu membuat
warga binaan dapat mempunyai keterampilan yang dapat diandalkan ketika bebas
nanti. Dan untuk para warga binaan seharusnya jangan bermalas-malasan serta
melanggar aturan yang ada di Lapas agar hubungan anatar petugas Lapas dengan
warga binaan terjalin dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
Petrus Irwan Panjaitan, dan Pandapotan
Simorangkir, LEMBAGA
PEMASYARAKTAN Dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta,1995, hlm. 13.
Pendahuluan
keputusan menteri hukum dan hak asasi manusia nomor M.02-PK.04.10 Tahun 1999
Ditjen BTW Dept. Kehakiman, Implementasi Standard Minimun
Rules, Majalah Kepenjaraan, 1969, hlm 2
Bambang Purnomo, Pelaksanaan Pidana Penjara Dengan Sistem
Pemasyarakatan, Liberty,Yogyakarta, 1986, hlm 140.
Bambang Purnomo, Pelaksanaan Pidana Penjara Dengan Sistem
Pemasyarakatan, Liberty, Yogyakarta,
1986, hlm 129.
Bambang Purnomo, Pelaksanaan Pidana Penjara
Dengan Sistem Pemasyarakatan, Liberty,
Yogyakarta, 1986, hlm 131.
Bambang Purnomo, Pelaksanaan Pidana Penjara
Dengan Sistem Pemasyarakatan, Liberty,
Yogyakarta, 1986, hlm 127.
Bambang Purnomo, Pelaksanaan Pidana Penjara Dengan Sistem
Pemasyarakatan, Liberty, Yogyakarta,
1986, hlm 124.
Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana,
Penertib Alumni, Bandung, 1981, hlm 90.
Bambang
Poernomo, Pelaksanaan Pidana Penjara Dengan Sistem Pemasyarakatan,
Liberty,Yogyakarta, 1986, hlm.187.
[1] Petrus
Irwan Panjaitan, dan Pandapotan Simorangkir, LEMBAGA
PEMASYARAKTAN
Dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana, Pustaka Sinar
Harapan, Jakarta,
1995,
hlm. 13.
[2]
Pendahuluan keputusan menteri hukum dan hak asasi manusia nomor M.02-PK.04.10
Tahun
1999
Yogyakarta,
1986, hlm.187.
Jakarta,
2007, hlm.103.
[5] Bambang Purnomo,
Pelaksanaan Pidana Penjara Dengan Sistem Pemasyarakatan, Liberty, Yogyakarta, 1986, hlm 124.
[6] Sudarto, Kapita Selekta
Hukum Pidana, Penertib Alumni, Bandung, 1981, hlm 90.
[7] Bambang
Purnomo, Pelaksanaan Pidana Penjara Dengan Sistem Pemasyarakatan, Liberty, Yogyakarta, 1986, hlm 127.
[8] Bambang
Purnomo, Pelaksanaan Pidana Penjara Dengan Sistem Pemasyarakatan, Liberty, Yogyakarta, 1986, hlm 129.
[9] Bambang
Purnomo, Pelaksanaan Pidana Penjara Dengan Sistem Pemasyarakatan, Liberty, Yogyakarta, 1986, hlm 131.
[10] Ditjen
BTW Dept. Kehakiman, Implementasi Standard Minimun Rules, Majalah Kepenjaraan,
1969, hlm 2.
[11] Bambang
Purnomo, Pelaksanaan Pidana Penjara Dengan Sistem Pemasyarakatan, Liberty, Yogyakarta, 1986, hlm 140.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar