Minggu, 12 April 2020

UGAS KELOMPOK PERKEMBANGAN TEORI HUKUM PIDANA: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI DI INDONESIA, AMERIKA SERIKAT DAN INGGRIS






UNIVERSITAS INDONESIA


TUGAS KELOMPOK PERKEMBANGAN TEORI HUKUM PIDANA

TEMA : KORPORASI SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA
DI BIDANG PEREKONOMIAN: INDONESIA DAN 2
NEGARA LAINNYA
JUDUL : PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI
DI INDONESIA, AMERIKA SERIKAT DAN INGGRIS



ANGGOTA KELOMPOK:
M. Furqon Wicaksono 1606845993
Nurul Fauziah Hambali 1606846245
Anisa Rahmasari 1606933900
Leonardo K. Da Silva 1606934304
Zephaniah Ben Evan Sianturi 1606934733




Fakultas Hukum
Program Magister Reguler
2016
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI i
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Masalah Hukum 2
C. Pertanyaan Penelitian 3
D. Tujuan Penelitian 3
E. Metode Penelitian 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 6
A. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia 10
B. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Amerika Serikat 11
C. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Inggris 13
BAB III PEMBAHASAN 15
A. Kasus PT. Giri Jaladhi Wana (PT. GJW) 15
1. Kasus Posisi 15
2. Analisis Kasus 17
B. Kasus ConAgra Grocery Product Company, LCC. 19
1. Kasus Posisi 19
2. Analisis Kasus 24
C. Kasus Tesco Supermarket Ltd. V Nattrass 24
1. Kasus Posisi 24
2. Analisis Kasus 25
BAB IV PENUTUP 27
A. Kesimpulan 27
B. Saran. 30
DAFTAR PUSTAKA 31
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masyarakat Indonesia ketika diajak berbicara tentang kejahatan, gambaran yang ada pada benak mereka adalah kejahatan yang bersifat tradisional atau konvensional, seperti pembunuhan, pemerkosaan, pencurian, penipuan, penganiayaan, yang korbannya bersifat perseorangan. Mereka kurang memahami bahwa sebenarnya ada jenis kejahatan lain yang jika dilihat dari jumlah korbannya bisa bersifat massal, demikian juga dengan kerugian yang dialami. Itulah yang disebut dengan kejahatan korporasi. Pandangan masyarakat yang demikian adalah tidak salah, karena melalui media massa baik itu media cetak maupun media elektronik masyarakat lebih banyak disuguhi tempilan kasus-kasus konvensional.
Korporasi ini di dalam melakukan kegiatannya bergerak dalam berbagai bidang kehidupan. Sehingga dapat dikatakan bahwa tidak ada satu bidang kehidupan pun yang bukan urusan korporasi. Bahkan setiap kebutuhan kita mulai sejak masih di dalam kandungan maupun ketika sudah meninggal dunia tidak lepas dari cengkeraman korporasi.
Kejahatan korporasi merupakan hal yang baru jika dibandingkan dengan kejahatan konvensional. Dahulu orang hanya terpatri pada pemikiran bahwa pelaku tindak pidana atau kejahatan-kejahatan itu hanya dilakukan oleh orang-orang yang miskin, orang-orang berpendidikan rendah, dari kalangan masyarakat kumuh yang bertempat tinggal di pinggiran kota atau desa dan lain-lain.
Korporasi merupakan istilah yang biasa digunakan oleh para ahli hukum pidana untuk menyebut apa yang dalam bidang hukum lain khususnya hukum perdata sebagai badan hukum atau dalam bahasa Inggris disebut legal entities atau corporation. Namun, dalam hukum pidana pengertian korporasi tidak hanya mencakup badan hukum, seperti perseroan terbatas, yayasan, koperasi, atau perkumpulan yang telah disahkan sebagai badan hukum yang digolongkan sebagai korporasi. Menurut hukum pidana, firma, perseroan komanditer atau CV, dan persekutuan atau maatschap juga termasuk korporasi.
Kongres PBB VII pada tahun 1985, membicarakan jenis kejahatan dalam tema “Dimensi Baru Kejahatan Dalam Konteks Pembangunan”. Selain itu, melihat gejala kriminalitas yang merupakan suatu kelanjutan dari kegiatan dan pertumbuhan ekonomi di mana korporasi banyak berperan di dalamnya, seperti terjadinya penipuan pajak, kerusakan lingkungan hidup, penipuan asuransi, penipuan iklan yang dampaknya dapat merusak sendi-sendi perekonomian suatu negara. Berdasarkan perkembangan dan pertumbuhan korporasi yang berdampak negatif tersebut, kedudukan korporasi mulai bergeser dari hanya subyek hukum perdata menjadi termasuk juga subyek hukum pidana
Korporasi sebagai pelaku tindak pidana dan dapat dipertanggungjawabkan secara pidana perlu diperhatikan secara teliti. Karena korporasi dewasa ini semakin memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat, khususnya dalam bidang perekonomian. Kegiatan bisnis ataupun dunia usaha pada umumnya merupakan landasan utama untuk memenuhi kebutuhan hidup yang bersifat kompetisi. Berkembangnya perekonomian dan dunia usaha yang semakin pesat, menimbulkan penyimpangan-penyimpangan dan disertai dengan perubahan-perubahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat.
B. Masalah Hukum
Kasus tindak pidana korporasi yang akan dibahas oleh Penulis di antaranya tindak pidana korupsi penyalahgunaan Pasar Sentra Antasari Banjarmasin yang dilakukan oleh PT. Giri Jaladhi Wana tahun 2010, pencemaran makanan oleh ConAgra Food Company yang menarik kembali selai kacang dengan merk Peter Pan yang mereka produksi, karena terindikasi bakteri Salmonella sehingga menyebabkan sekitar 300-600 orang terinfeksi gastrointestinal tahun 2007, dan kelalaian seorang manajer toko supermarket di Inggris. Munculnya dampak negatif ini, diakibatkan karena korporasi terlalu mengejar keuntungan yang cukup besar dengan tidak memperhatikan asas kehati-hatian dalam menjalankan usahanya.
C. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan pada latar belakang dan permasalahan hukum tersebut di atas, maka terdapat 3 (tiga) pertanyaan penelitian hukum yang akan kami angkat, sebagai berikut:
1. Apakah teori-teori yang digunakan di dalam penyelesaian ketiga kasus di atas?
2. Bagaimana pembuktian pertanggungjawaban pidana bagi ketiga korporasi tersebut?
3. Apa saja bentuk pidana yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim?

D. Tujuan Penelitian
Berdasarkan pada latar belakang, permasalahan hukum dan pertanyaan penelitian di atas, maka tujuan penelitian makalah ini, sebagai berikut:
A. Untuk mengetahui teori-teori yang digunakan di dalam penyelesaian ketiga kasus di atas.
B. Untuk mengetahui pembuktian pertanggungjawaban pidana bagi ketiga korporasi tersebut.
C. Untuk mengetahui bentuk-bentuk pidana yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim.
E. Metode Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pendekatan yuridis normative, yaitu pendekatan yang menggunakan konsepsi yang legistis positivistis, konsepsi yuridis memandang hukum sebagai identik dengan norma-norma tertulis yang dibuat dan diundangkan oleh lembaga atau pejabat negara yang berwenang. Selain itu konsepsi tersebut melihat hukum sebagai suatu sistem normatif yang bersifat otonom, terhadap dan terlepas dari kehidupan masyarakat, maka konsep tersebut mengkonstruksikan hukum sebagai refleksi.
2. Spesifikasi Penelitian
Penelitian lebih bersifat deskriptif, spesifikasi penelitian deskriptif oleh Soerjono Soekanto dalam bukunya Pengantar Penelitian Hukum dijelaskan sebagai berikut:
“Penelitian deskriptif adalah suatu penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya, serta hanya menjelaskan keadaan objek masalahnya tanpa bermaksud mengambil kesimpulan yang berlaku umum.”  Spesifikasi penelitian secara deskriptif bertujuan untuk memperoleh gambaran suatu realitas yang terjadi di lapangan mengenai penerapan pertanggungjawaban korporasi
dalam tindak pidana korporasi di beberapa negara.
3. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Perpustakaan Pusat Universitas Indonesia dan Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
4. Sumber Data
Sumber Data Sekunder:
i. Bahan Hukum Primer
Merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif, artinya memiliki suatu otoritas, mutlak dan mengikat. Bahan hukum primer terdiri dari peraturan dasar, peraturan perundang-undangan, catatan resi, lembar negara dan risalah.  Bahan hukum primer yang digunakan antara lain:
a. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
b. UU Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
c. Betting Gaming and Lotteries Act 1963
d. The Trades Description Act 1968
e. Model Penal Code
ii. Bahan Hukum Sekunder
Merupakan bahan-bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, seperti pustaka di bidang ilmu hukum, artikel-artikel ilmiah, majalah ilmiah, makalah seminar, hasil-hasil pertemuan ilmiah dan bahan dari internet mengenai tindak pidana korporasi dan pertanggungjawaban korporasi di beberapa negara.
5. Metode Pengumpulan Data
Penelitian kepustakaan (Library Research), yaitu dengan mempelajari buku-buku pustaka, makalah-makalah, dan peraturan perundang-undangan yang ada kaitannya dengan pokok masalah yang menjadi obyek penelitian.
6. Metode Penyajian Data
Bahan yang diperoleh akan disajikan secara deskriptif dalam bentuk uraian yang disusun secara sistematis, yang didahului dengan pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, masalah hukum, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian dan diteruskan dengan analisa data dan hasil pembahasan serta diakhiri dengan kesimpulan.
7. Metode Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis secara normatif kualitatif, yaitu dengan menjabarkan dan menafsirkan data-data berdasarkan norma dan teori-teori ilmu hukum pidana yang disusun secara logis yang relevan dengan permasalahan yang diajukan.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Secara etimologi kata “korporasi” (Belanda : corporatie, Inggris : corporation, Jerman: korporation) berasal dari kata “corporatio” dalam bahasa Latin. Seperti halnya dengan kata-kata lain yang berakhir dengan “tio”, maka corporatio sebagai kata benda berasal dari kata kerja corporate. Corporate sendiri berasal dari kata corpus yang berarti memberikan badan atau membadankan. Corporatio diartikan sebagai hasil dari pekerjaan membadankan, perkataan badan yang dijadikan orang, badan yang diperoleh dengan perbuatan manusia sebagai lawan terhadap badan manusia, yang terjadi menurut alam.
Menurut kamus hukum sebagaimana dikutip oleh N.H.T Siahaan, korporasi adalah suatu perkumpulan atau organisasi, yang oleh hukum diperlakukan seperti seorang manusia (persona), ialah sebagai pengemban hak dan kewajiban; memiliki hak menggugat atau digugat dimuka pengadilan.
Sedangkan, menurut Subekti dan Tjitrosudiro yang dimaksud dengan korporasi (corporatie) adalah suatu perseroan yang merupakan badan hukum. Dan menurut Wirjono Prodjodikoro korporasi adalah suatu perkumpulan orang, dalam korporasi biasanya yang mempunyai kepentingan adalah orang-orang manusia yang merupakan anggota dari korporasi itu, anggota-anggota mana juga mempunyai kekuasaan dalam peraturan korporasi berupa rapat anggota sebagai alat kekuasaan yang tertinggi dalam peraturan korporasi.
Terkait dengan kemampuan bertanggung jawab korporasi sebagai pelaku tindak pidana, menurut Rolling sebagaimana dikutip oleh Muladi dkk, bahwa badan hukum dapat diperlakukan sebagai pelaku tindak pidana, bilamana perbuatan terlarang yang pertanggungjawabannya dibebankan kepada badan hukum (korporasi) dilakukan dalam rangka tugas dan pencapaian tujuan-tujuan badan hukum tersebut. Menurutnya, kriteria ini didasarkan pada delik fungsional. Sehubungan dengan hal tersebut, yang dimaksud dengan delik fungsional adalah delik-delik yang berasal dari ruang lingkup atau suasana sosial ekonomi di mana dicantumkan syarat-syarat bagaimana aktivitas sosial atau ekonomi tertentu harus dilaksanakan dan terarah atau ditujukan pada kelompok-kelompok fungsionaris tertentu.
Kedudukan korporasi sebagai pembuat tindak pidana dan sifat pertanggungjawaban pidana korporasi, terdapat model pertanggungjawaban korporasi antara lain:
1. Pengurus korporasi sebagai pelaku tindak pidana, sehingga oleh karenanya penguruslah yang harus memikul pertanggungjawaban pidana;
2. Korporasi sebagai pelaku tindak pidana tetapi pengurus yang harus memikul pertanggungjawaban pidana;
3. Korporasi sebagai pelaku tindak pidana dan kororasi itu sendiri yang harus memikul pertanggungjawaban pidana; dan
4. Pengurus dan korporasi keduanya sebagai pelaku tindak pidana dan keduanya pula yang harus memikul pertanggungjawaban pidana.
Dalam usaha meminta pertanggungjawaban korporasi, telah lahir sejumlah doktrin pertanggungjawaban, di antaranya adalah:
1. Identification Doctrine. Pertanggungjawaban pidana korporasi menurut hukum Inggris (paling tidak untuk kejahatan yang melibatkan niat) adalah dengan the identification doctrine. Menurut doktrin ini, bila seorang yang cukup senior dalam struktur korporasi, atau dapat mewakili korporasi melakukan suatu kejahatan dalam bidang jabatannya, maka perbuatan dan niat orang itu dapat dihubungkan dengan korporasi. Korporasi dapat diidentifikasi dengan perbuatan ini dan dimintai pertanggungjawaban secara langsung.
2. Vicarious Liability. Menurut doktrin ini, bila seorang agen atau pekerja korporasi, bertindak dalam lingkup pekerjaannya dan dengan maksud untuk menguntungkan korporasi, melakukan suatu kejahatan, tanggung jawab pidananya dapat dibebankan kepada perusahaan. Maka sepanjang seseorang tersebut bertindak dalam bidang pekerjaannya dan telah melakukan suatu kejahatan, maka perusahaan dapat dimintai pertanggungjawaban pidana. Hal ini akan mencegah perusahaan melindungi dirinya dari tanggung jawab kriminal dengan melimpahkan kegiatan illegal tersebut hanya kepada pekerjanya saja. Kejahatan semacam ini berhubungan dengan masalah yang berkaitan dengan polusi, perlindungan terhadap konsumen, makanan, obat-obatan, kesehatan dan keselamatan. Untuk kejahatan semacam ini, menemukan kesalahan pada pihak pelaku tidak diperlukan. Dalam hal ini, masih sulit untuk mendukung doktrin vicarious liability untuk seluruh kejahatan, khususnya yang serius seperti manslaughter.
3. Strict liability. Menurut doktrin ini, seseorang sudah dapat dipertanggungjawabkan untuk tindak pidana tertentu walaupun pada diri orang itu tidak ada mens rea. Secara singkat, strict liability diartikan sebagai liability without fault (pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan). Menurut L. B. Curson, dokrtin strict liability ini didasarkan pada alasan-alasan sebagai berikut: 
a. Adalah sangat esensial untuk menjamin dipatuhinya peraturan penting tertentu yang diperlukan untuk kesejahteraan sosial.
b. Pembuktian adanya mens rea akan menjadi sangat sulit untuk pelanggaran yang berhubungan dengan kesejahteraan sosial.
c. Tingginya tingkat bahaya sosial yang ditimbulkan oleh perbuatan yang bersangkutan.
4. Attribution Liabilty. Kemajuan dalam penerapan doktrin identifikasi telah melahirkan doktrin atribusi. Doktrin ini lahir setelah penanganan kasus Meridian Global Funds Management Asia Ltd v Securities Commission oleh The Privy Council.  Doktrin ini pada umumnya dibagi menjadi 2 (dua) bagian besar, yaitu:
a. Primary criteria for attribution. Bahwa suatu korporasi bertanggungjawab ketika tindakan yang dilakukan oleh organ atau karyawannya tersebut, dilakukan untuk memberikan keuntungan bagi korporasi atau kepentingan korporasi dan ketika tindakan tersebut dilakukan melanggar tugas korporasi; dan
b. Secondary criteria for attribution. Bahwa suatu korporasi dapat bertanggungjawab atas tindakan dari pembuat keputusan apabila pengambil keputusan melakukan tindakan yang melawan hukum dan melakukan suatu pelanggaran dalam proses pengambilan keputusan serta melihat kedudukan mereka sebagai pengambil keputusan.
Dapat dikatakan bahwa, doktrin ini mengadopsi doktrin identifikasi dan vicarious liability. Dipenuhinya unsur-unsur dan syarat-syarat untuk dapat membebankan pertanggungjawabannya kepada korporasi, yaitu:
a) Dilakukan oleh personil korporasi yang memiliki posisi sebagai directing mind korporasi;
b) Dilakukan dalam rangka pemenuhan maksud dan tujuan korporasi;
c) Tindak pidana dilakukan pelaku atau atas perintah pemberi printah dalam rangka tugasnya dalam korporasi;
d) Dilakukan dengan maksud memberikan manfaat bagi korporasi; dan
e) Pelaku atau pemberi perintah tidak memiliki alasan pembenar atau pemaaf untuk dibebaskan dari pertanggungjawaban pidana.
A. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia
Pengakuan korporasi (recht persoon) sebagai subjek hukum dalam hukum pidana penuh dengan hambatan-hambatan teoritis. Terdapat 2 (dua) alasan mengapa kondisi tersebut terjadi. Pertama, begitu kuatnya pengaruh teori fiksi (fiction theory) oleh Von Savigny, yakni kepribadian hukum sebagai kesatuan-kesatuan dari manusia merupakan hasil suatu khayalan. Kepribadian sebenarnya hanya ada pada manusia. Negara-negara, korporasi-korporasi, ataupun lembaga-lembaga tidak dapat menjadi subjek hak dan perseorangan, tetapi diperlakukan seolah-olah badan-badan itu manusia. 
Kedua, masih dominannya asas universalitas delinguere non potest yang berarti badan-badan hukum tidak dapat melakukan tindak pidana dalam sistem hukum pidana di banyak negara. Asas ini merupakan hasil pemikiran dari abad ke-19, di mana kejahatan menurut hukum pidana selalu diisyaratkan dan sesungguhnya hanya kejahatan dari manusia, sehingga erat kaitannya dengan individualisasi KUHP. Dalam konteks KUHP yang hingga saat ini masih diberlakukan di Indonesia, asas tersebut ternyata begitu mempengaruhi kemunculan Pasal 59 KUHP yang menyiratkan bahwa subjek tindak pidana yaitu korporasi belum dikenal dan yang diakui sebagai subjek dalam tindak pidana secara umum adalah orang.
Adapun tahap-tahap perkembangan korporasi sebagai subjek hukum pidana di Indonesia ternyata mengikuti perkembangan yang terjadi di Belanda. Pada tahap pertama dalam W.v.S. Belanda, Pasal 51 sebelum diadakan perubahan ketentuan tersebut rumusannya sama dengan ketentuan Pasal 59 KHUP. Hal ini dipengaruhi oleh asas universitas delingquere nonpotest, yaitu sifat delik yang dilakukan korporasi dibatasi pada perorangan. 
KUHP yang digunakan Indonesia hingga saat ini belum mengenal konsep pertanggungjawaban korporasi. Pelaku, pertama-tama ialah ia yang melaksanakan bagian-bagian dari delik, yang memenuhi semua syarat yang dirumuskan dalam rumusan delik. Pribadi kodrati sebagai subjek hukum pidana juga terlihat dari rumusan pasal yang selau menggunakan redaksi “barangsiapa”, “seorang”, atau “orang yang melakukan kejahatan”. Meskipun, di dalam KUHP Indonesia korporasi bukanlah suatu subjek hukum pidana, namun dalam beberapa undang-undang, korporasi telah dijadikan subjek hukum pidana.
Dalam perkembangannya, korporasi telah menjadi subyek hukum pidana dalam berbagai peraturan perundang-undangan, di antaranya yaitu:
a) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup;
b) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
c) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen; dan
d) Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).
B. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Amerika Serikat
Sistem pertanggungjawaban pidana korporasi di Amerika Serikat mengacu pada Model Penal Code, Official Draft and Explanatory Notes, yang diterbitkan oleh The American Law Institutes, 1985. Di Amerika Serikat, korporasi diterima sebagai subjek hukum pidana sejak tahun 1909 dalam kasus New York Central and H.R.R v. United States. Pengadilan tidak mengalami kesulitan dalam mendefinisikan niat dari kejahatan ini pada suatu fiksi hukum. Pengadilan negara bagian New York menggunakan doktrin respondeat superior/doktrin vicarious, yang menyatakan bahwa korporasi dapat dimintai pertanggungjawaban jika salah satu pegawainya melakukan kejahatan dalam lingkup pekerjaannya dan kejahatan tersebut dilakukan untuk keuntungan korporasi.
Pandangan ini terus digunakan hingga hari ini. Setelah munculnya putusan ini, dan tekanan dari para jaksa di Amerika Serikat, seluruh aturan dalam hukum pidana yang berlaku kepada setiap orang ikut berlaku kepada korporasi.  Hingga hari ini ruang lingkup dari pertanggungjawaban korporasi di Amerika Serikat cukup besar. Korporasi dapat dihukum karena melakukan tindak pidana umum, termasuk penipuan, pencucian uang, serta tindakan lain yang dapat dianggap sebagai kejahatan kerah putih.
Terdapat dua hukum yang berlaku di Amerika Serikat untuk hukum pidana, yaitu pada tingkat negara bagian dan tingkat federal. Di bawah federal law, korporasi dapat diminta pertanggungjawabannya atas tindakan ilegal yang dilakukan oleh pegawai atau agen korporasi jika dapat dibuktikan bahwa (1) perbuatan individu berada dalam lingkup tugasnya dan (2) perbuatan individu bertujuan untuk memberi keuntungan bagi korporasi. 
Jenis-jenis sanksi yang dapat dijatuhkan kepada korporasi di Amerika Serikat apabila terbukti melakukan tindak pidana adalah denda dan hukuman lain yang bersifat moneter (seperti restitusi dan remediasi), hukuman non-moneter, hukuman yang bergantung pada putusan hakim, sanksi perdata dan administrasi, dan dalam beberapa kasus, hukuman reputasional.
C. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Inggris
Di Inggris, sejak tahun 1944 telah mantap pendapat bahwa suatu korporasi dapat bertanggungjawab secara pidana, baik sebagai pembuat atau peserta untuk tiap delik, meskipun disyaratkan adanya mens rea dengan menggunakan asas identifikasi. Dengan demikian, berbeda dengan di Indonesia, pertanggungjawaban korporasi tidak terbatas hanya pada delik-delik tertentu, meskipun tidak semua delik dapat dilakukan oleh korporasi.
Inggris termasuk negara yang banyak diikuti oleh negara-negara lain dalam hal sistem pertanggungjawaban pidana korporasi. Kasus hukum terkenal yang terjadi di Inggris berkaitan dengan penerapan sistem pertanggungjawaban pidana korporasi adalah Tesco Supermarket Ltd. V. Nattrass, [1972] AC 153. Menurut hukum pidana Inggris, terlepas dari tanggungjawab mereka sebagai pelaku atau sebagai peserta dalam tindak pidana, sebuah korporasi mungkin diharuskan bertanggungjawab secara pidana.
Berdasarkan ketentuan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa jika suatu pelanggaran berdasarkan undang-undang telah dilakukan oleh sebuah korporasi, terbukti telah dilakukan oleh persekutuan atau dengan sengaja dibiarkan terjadi oleh perusahaan atau dapat dikaitkan dengan kelalaian di pihak direktur, manajer, sekretaris atau pejabat lain pada tingkat yang sama dalam korporasi itu, korporasi harus dinyatakan bersalah melakukan pelanggaran itu.
Meskipun hal ini umumnya memperluas tanggungjawab yang diberlakukan oleh undang-undang pidana terhadap pelaku pelanggaran atau pihak lain yang turut serta, hal ini benar-benar dapat menjangkau para pelaku tindak pidana dan mungkin juga membuat tugas penuntutan perkara pidananya menjadi lebih mudah di mana tanggungjawab pembuktian berdasarkan prinsip yang lazim digunakan akan sulit diterapkan.  Sikap menyetujui dan membiarkan dilakukannya pelanggaran itu pada umumnya tumpang-tindih dengan tindakan yang berupa membantu dalam melakukan pelanggaran dan menganjurkannya, akan tetapi semua itu mungkin lebih mudah dibuktikan dengan menggunakan Betting Gaming and Lotteries Act 1963 Section 53 dan The Trades Description Act 1968. 

















BAB III
PEMBAHASAN
A. Kasus PT. Giri Jaladhi Wana (PT. GJW)
1. Kasus Posisi
PT. Giri Jaladhi Wana (PT. GJW) selaku korporasi melakukan kerjasama kontrak bagi tempat usaha dengan Pemerintah Kota Banjarmasin untuk pembangunan Pasar induk Antasari berdasarkan surat perjanjian kerjasama Nomor 664/I/548/Prog; No. 003/GJW/VII/1998 tanggal 14 Juli 1998 antara Walikota Banjarmasin (pihak kesatu) dengan PT. Giri Jaladhi Wana (pihak kedua), yang diwakili oleh St. Widagdo (SW) selaku Direktur Utama dan Bonafacius Tjiptomo Subekti (BTS) selaku Direktur.
Dalam perjanjian kerjasama Nomor 664/I/548/Prog; Nomor 003/GJW/VII/1998 tanggal 14 Juli 1998 PT. GJW berkewajiban membangun Pasar Induk Antasari dan fasilitas penunjangnya berupa toko, kios, los, dan lain–lain, dengan total 5.145 unit. Namun, dalam pelaksanaanya PT. GJW membangun, menjual, dan mengelola toko, kios, los, dan lain-lain dengan total 6.045 unit, tanpa persetujuan Pemerintah Kota Banjarmasin dan tidak menyetorkan hasil penjualan kelebihan pembangunan pasar dengan jumlah 900 Unit dengan harga Rp 16.691.713.166,00 (Enam Belas Milyar Enam Ratus Sembilan Puluh Satu Juta Tujuh Ratus Tiga Belas Ribu Seratus Enam Puluh Enam Rupiah).
Dalam perjanjian kerja dimaksud, Terdakwa, PT. GJW juga mempunyai kewajiban kepada Pemerintah Kota Banjarmasin untuk membayar retribusi sebesar Rp. 500.000.000,- (Lima Ratus Juta Rupiah) untuk membayar penggantian uang sewa Rp.2.500.000.000.- (Dua Milyar Lima Ratus Juta Rupiah) dan membayar pelunasan kredit Inpres Pasar Antasari Rp.3.750.000.000.- (Tiga Milyar Tujuh Ratus Lima Puluh Juta Rupiah). Jumlah keseluruhan yang harus dibayar Rp.6.750.000.000.- (Enam Milyar Tujuh Ratus Lima Puluh Juta Rupiah), tetapi Terdakwa PT. GJW hanya membayar sebesar Rp.1.000.000.000.-, (Satu Milyar Rupiah), sehingga masih terdapat kekurangan sebesar Rp. 5.750.000.000.- (Lima Milyar Tujuh Ratus Lima Puluh Juta Rupiah) yang seharusnya disetor ke kas Pemerintah Kota Banjarmasin. Namun, Terdakwa, PT. GJW tidak bisa menyanggupi dengan alasan bahwa pada tahun 2004 pembangunan Pasar Sentra Antasari belum selesai.
Di lain pihak, PT. Bank Mandiri yang memberikan Kredit Modal Kerja kepada PT. GJW, menyatakan melalui Konsultan Pengawas Proyek Antasari yang diminta PT. Bank Mandiri memberikan laporan, bahwa PT. GJW telah menyelesaikan 100% proses pembangunan Pasar Sentra Antasari pada bulan September 2004 dan mendapatkan surplus Rp. 64.579.000.000,00 (Enam Puluh Empat Milyar Lima Ratus Tujuh Puluh Sembilan Juta Rupiah) dari hasil penjualan toko, kios, los, dan lain-lain.
PT. GJW juga menggunakan aset Pemerintah Kota Banjarmasin berupa tanah dan bangunan pasar tersebut untuk jaminan mendapatkan Kredit Modal Kerja (KMK) dari PT. Bank Mandiri sebesar Rp. 100.000.000.000,00 (Seratus Milyar Rupiah), dengan agunan seluruh bangunan Pasar Sentra Antasari milik Pemerintah Kota Banjarmasin. Dari hasil penjualan dan Kredit Modal Kerja dari PT. Bank Mandiri, PT. GJW memiliki uang sebesar Rp. 164.579.000.000,00 (Seratus Enam Puluh Empat Milyar Lima Ratus Tujuh Puluh Sembilan Juta Rupiah). Akan tetapi, PT. GJW tidak menyetorkan uang yang menjadi hak Pemerintah Kota Banjarmasin Sebesar Rp. 5.750.000.000,00 (Lima Milyar Tujuh Ratus Lima Puluh Juta Rupiah).
Serangkaian tindakan yang dilakukan oleh PT. GJW sebagaimana diuraikan di atas, telah merugikan keuangan negara, dalam hal ini Pemerintah Kota Banjarmasin sebesar Rp 7.332.361.516,00 (Tujuh Milyar Tiga Ratus Tiga puluh Dua Juta Tiga Ratus Enam Puluh Satu Ribu Lima Ratus Enam Belas Rupiah) dan Bank Mandiri sebesar Rp 199.536.064.675,00 (Seratus Sembilan Puluh Sembilan Milyar Lima Ratus Tiga Puluh Enam Juta Enam Puluh Empat Ribu Enam Ratus Tujuh Puluh Lima Rupiah).
2. Analisis Kasus
Pengajuan PT. GJW sebagai subyek hukum tindak pidana korupsi adalah hal yang dimungkinkan oleh UU PTPK. Hal ini kemudian dipertimbangkan oleh majelis hakim yang mengacu pada ketentuan Pasal 1 angka 3 UU PTPK. PT. GJW adalah korporasi yang berbentuk perseroan terbatas, sehingga berstatus sebagai badan hukum. Sebagaimana diketahui, PT. GJW sebagai korporasi dengan bentuk perseroan terbatas bertindak melalui organnya. Khusus untuk kepengurusan perseroan terbatas, organ yang ditunjuk ialah direksi.  Dalam hal ini, perbuatan-perbuatan PT. GJW diwakili oleh SW selaku Direktur Utama dan BTS selaku Direktur.
Perbuatan PT. GJW melalui direktur utama dan direkturnya memiliki kaitan dengan syarat-syarat yang diajukan oleh Pasal 20 ayat (2) UU PTPK untuk menyatakan kapan tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi. Syarat pertama ialah adanya hubungan kerja. SW dan BTS adalah orang-orang yang memiliki hubungan kerja dengan PT. GJW yaitu mengurus korporasi agar usaha korporasi berjalan dengan baik sesuai dengan tujuan korporasi sehingga mereka disebut sebagai pengurus korporasi (kedudukan fungsional). Syarat kedua ialah perbuatan yang dilakukan oleh keduanya masih dalam ruang lingkup usaha korporasi. Ruang lingkup PT. GJW dapat dilihat dari anggaran dasar. PT. GJW merupakan korporasi yang bergerak di bidang perdagangan, industri, agrobisnis, pengadaan barang, jasa, transportasi, pembangunan, design interior.  Pembangunan Pasar Antasari dan permohonan kredit kepada Bank Mandiri dalam rangka pembangunan pasar masih berada dalam ruang lingkup usaha PT. GJW. Oleh karena itu, perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh PT. GJW melalui direktur utama dan direkturnya telah memenuhi syarat dalam Pasal 20 ayat (2) UU PTPK.
Terkait dengan penggunaan teori pertanggungjawaban pidana korporasi, menurut kami dalam putusannya, Majelis Hakim menggunakan dua teori. Vicarious liability yang menekankan adanya hubungan kerja antara PT. GJW dengan BTS dan SW. Dan melihat kedudukan BTS dan SW sebagai directing mind PT. GJW, konsep ini lebih mengarah kepada identification doctrine. Adapun analisis kami terkiat doktrin pertanggngjawaban korproasi adalah dengan menerpakan doktrin attribution liability. Dengan memenuhi unsur-unsur dan syarat-syarat untuk dapat membebankan pertanggungjawabannya kepada korporasi, yaitu:
a. Dilakukan oleh personil korporasi yang memiliki posisi sebagai directing mind korporasi (SW selaku Direktur Utama);
b. Dilakukan dalam rangka pemenuhan maksud dan tujuan korporasi (tindak pidana korupsi dilakukan dalam ruang lingkup PT. GJW);
c. Tindak pidana dilakukan pelaku atau atas perintah pemberi printah dalam rangka tugasnya dalam korporasi (BTS selaku Direktur);
d. Dilakukan dengan maksud memberikan manfaat bagi korporasi (manfaatnya adalah tambahan dana dalam menjalankan dan memperluas usaha PT. GJW); dan
e. Pelaku atau pemberi perintah tidak memiliki alasan pembenar atau pemaaf untuk dibebaskan dari pertanggungjawaban pidana.

B. ConAgra Grocery Product Company, LLC
1. Kasus Posisi
ConAgra Grocery Products Company, LLC adalah sebuah perusahaan dari Amerika Serikat yang memproduksi dan memasarkan produk-produk makanan untuk jasa makanan dan ritel. Produk yang ditawarkan adalah tomat, minyak, popcorn, pudding, cokelat, selai, jeli, mentega, kacang-kacangan, sup, saus pasta dan makanan yang diawetkan lainnya. ConAgra Grocery Products Company, LLC sebelumnya dikenal sebagai Hunt-Wesson Inc.
Perusahaan ini didirikan pada tahun 1966 dan berbasis di Naperville, California. ConAgra Grocery Products Company, LLC beroperasi sebagai anak perusahaan dari ConAgra Foods, Inc.
Segala bentuk penjualan barang dan jasa tentu memiliki resiko dalam perjalanannya. Tidak terkecuali dalam bidang makanan. ConAgra Grocery Products Company, LLC menyadari beberapa risiko kontaminasi salmonella dalam produk selai kacang walau telah diuji secara rutin untuk salmonella di produk jadinya. Pada 2 Oktober dan 29 Oktober  2004, pengujian rutin yang dilakukan oleh ConAgra Grocery Products Company, LLC pabrik di Sylvester mengungkapkan adanya potensi salmonella dalam sampel selai kacangnya, yang di mana dalam pengujian tersebut juga disertakan protokol untuk mengisolasi produk yang terkontaminasi itu.
ConAgra Grocery Products Company, LLC mengambil langkah-langkah untuk menahan kacang berpotensi terkontaminasi agar tidak dikirimkan sampai pengujian selanjutnya. ConAgra Grocery Products Company, LLC mengikuti protokol dalam mengambil langkah-langkah untuk mengidentifikasi dan untuk menghancurkan kontaminasi selai kacang yang terdapat di fasilitasnya sendiri.
Salmonella adalah patogen yang dapat ditularkan dalam makanan dan berbahaya bagi kesehatan manusia. Mengkonsumsi salmonella dalam makanan dapat menyebabkan kondisi yang disebut salmonellosis, sebuah penyakit usus yang sering menyebabkan diare, demam, dan kram perut.
Jika terjadi kasus yang cukup parah maka mungkin hal tersebut akan memerlukan perawatan yang lebih dalam hal pengobatannya terutama terkait dengan masalah dehidrasi. Infeksi salmonella kadang-kadang juga dapat memicu kondisi serius lainnya, terutama pada anak-anak, orang tua, dan orang-orang dengan sistem kekebalan tubuh yang rendah.
Menyusul insiden Oktober 2004, karyawan ConAgra Grocery Products Company, LLC berusaha menentukan penyebab kontaminasi salmonella dalam produknya. Identifikasi yang dilakukan oleh karyawan pada tahun 2004 dan 2005 menyimpulkan bahwa hal tersebut berasal dari pemanasan kacang mentah, keamanan produk, keberadaan lebah dan burung dan atap bocor memungkinkan terjadi kelembaban yang dapat menyebabkan kontaminasi salmonella pada produk tersebut, serta aliran udara di pabrik yang dapat memungkinkan kontaminasi selai kacang tersebut. Upaya untuk mengatasi beberapa masalah ini sudah dilakukan atau sedang berlangsung, tetapi tidak selesai, sampai pada saat terjadinya wabah di tahun 2007.
Antara Oktober 2004 dan Februari 2007, karyawan dituduh menjalankan dan menganalisis tes produknya yang gagal dalam uji kontaminasi salmonella dalam selai kacang yang diproduksi pabrik di Sylvester. Pada bulan Februari 2007, Food and Drug Administration (FDA) dan Centers for Disease Control and Prevention (CDC) menyarankan bahwa wabah infeksi salmonella di seluruh Amerika Serikat bisa dilacak di dalam selai kacang yang dikirim dari Pabrik Sylvester.
CDC mengidentifikasi lebih dari 700 kasus salmonellosis terkait dengan wabah tersebut. CDC juga memperkirakan bahwa terdapat ribuan kasus yang dilaporkan. Setelah pengumuman dari FDA dan CDC, ConAgra Grocery Products Company, LLC segera dan secara sukarela menghentikan produksi pabrik di Sylvester pada tanggal 14 Februari, 2007 dan menarik kembali produk selai kacang yang sudah dipasarkan.
Dalam lingkungan pengujian yang dilakukan setelah penarikan produk juga mendeteksi adanya bakteri Salmonella Tennessee di sedikitnya sembilan lokasi dari seluruh wilayah penanaman tanaman kacang milik Sylvester. Dalam pernyataan publik menyusul penarikan kembali terhadap produk selai kacang, pejabat perusahaan ConAgra Grocery Products Company, LLC berpendapat bahwa kelembaban memasuki proses produksi dan sistem sprinkler dikarenakan adanya kerusakan di Pabrik Georgia yang memungkinkan adanya pertumbuhan aktif dari bakteri salmonella sehingga membantu bakteri salmonella tumbuh pada kacang mentah yang ia produksi.
Pada tanggal 20 Mei 2015, Amerika Serikat mengajukan criminal information terhadap ConAgra Grocery Products Company, LLC, anak perusahaan dari ConAgra Foods Inc, menyatakan bahwa perusahaan yang memproduksi selai kacang tersebut telah terkontaminasi salmonella selama melakukan perdagangan antar negara bagian pada tahun 2006. Perusahaan setuju untuk mengaku bersalah atas pelanggaran Pangan, Obat, dan Kosmetik, sebagai bagian dari kesepakatan pembelaan, perusahaan mengakui bahwa ia telah mengirim selai kacang Peter Pan terkontaminasi salmonella dan mentega dari kacang yang ia produksi yang menyebabkan pada tahun 2006-2007 terjadi wabah nasional salmonellosis, atau keracunan salmonella.
Dalam hasil kesepakatan pembelaan, yang disetujui oleh Kantor Jaksa Amerika Serikat (Distrik Georgia Tengah) dan Perlindungan Konsumen Cabang Departemen Kehakiman (selanjutnya disebut pemerintah atau Amerika Serikat), oleh dan melalui pengacara yang bertanda tangan, dan ConAgra Grocery Products Company, LLC (selanjutnya disebut ConAgra Grocery Products), sebagai berikut:
a) ConAgra Grocery Product, setuju dan mengaku bersalah atas pelanggaran dalam pertanggungjawaban yang ketat dalam undang-undang Pangan, Obat, dan Kosmetik, yang melanggar 21 U.S.C. §§ 331 (a), 342(a), and 333(a)(l), atas pengiriman selai kacang terkontaminasi salmonella antara 6 Oktober 2006 ke 14 Februari 2007.
b) Dalam Perjanjian pembelaan ini, bahwa badan usaha ConAgra Grocery Products adalah pihak yang mengaku bersalah terhadap pelanggaran tersebut, dan ia setuju bahwa ia adalah pihak yang memiliki dan mengoperasikan Pabrik di Sylvester, Georgia, dan satu-satunya bagian dalam struktur induk perusahaan yang menghasilkan selai kacang Peter Pan.
c) Para pihak setuju bahwa kesepakatan pembelaan ini dibuat berdasarkan Fed.R.Crim.P. 1 l (c) (l) (C) dan mempertimbangkan pertimbangan faktor-faktor yang ditetapkan dalam 18 USC §§ 3553 (a) dan 3572, disepakati kalimat sebagai berikut:
i. ConAgra Grocery Products membayar beban biaya pengadilan sebesar $ 125;
ii. ConAgra Grocery Products membayar denda pidana $ 8,011,000 ke Panitera Pengadilan Distrik Amerika;
iii. ConAgra Grocery Products membayar kehilangan aset $ 3,200,000, ke United States Marshal Service;
iv. ConAgra Grocery Products dan pemerintah sepakat bahwa tidak akan ada masa percobaan terhadap perusahaan ConAgra Grocery Product. ConAgra akan diminta untuk melaporkan ulang terhadap tanggal dan tahun dari perjanjian yang dilaksanakan dengan konfirmasi tertulis bahwa keamanan pangan dan kualitas program yang sedang dijalankan tetapi adanya batasan berdasarkan ketentuan undang-undang Pangan, Obat, dan Kosmetik.
Sebelumnya pada bulan April, dua mantan pejabat perusahaan Quality Egg, Austin “Jack” DeCoster dan Peter DeCoster, dihukum tiga bulan penjara karena sengaja dalam mengirimkan telur olah dengan tanggal kadaluwarsa palsu yang menyebabkan wabah salmonella. Mereka dihukum karena tuduhan pelanggaran hukum ringan dari menyajikan makanan tercemar ke dalam perdagangan.
Pada September tahun lalu, hakim federal di Georgia menghukum mantan pemilik Peanut Corporation of America, Stewart Parnell 28 tahun penjara,yang menurut Departemen Kehakiman adalah sanksi pidana yang paling keras dalam kasus pencemaran pangan. Parnell telah dihukum karena menjual makanan misbranded, memasukkan makanan tercemar ke dalam perdagangan antarnegara, penipuan, konspirasi dan biaya lainnya yang berhubungan, dengan sengaja membiarkan selai kacang terkontaminasi salmonella diperjualbelikan, serta sengaja melakukan pengiriman salmonella yang mencemari selai kacang yang dikaitkan dengan sembilan kematian yang ada dan 714 orang selamat dari keracunan makanan.
Michael Parnell, dijatuhi hukuman 20 tahun untuk hukuman yang mirip dengan saudaranya. Kejahatannya dilakukan karena didorong adanya keinginan untuk mendapatkan keuntungan dan melindungi keuntungan tersebut, meskipun ia mengetahui risikonya. Manajer Mary Wilkerson juga menerima hukuman lima tahun, Dia dihukum karena mengganggu jalannya proses peradilan. (U.S. v. Parnell, M.D. Ga., No. 1:13-cr-00012-WLS-TQL, sentencing 9/21/15).
2. Analisis Kasus
ConAgra Grocery Products Company, LLC selaku korporasi yang bertanggungjawab menurut pertanggungjawaban korporasi karena melakukan tindak pidana terhadap produk selai kacang yang telah terkontaminasi salmonella serta sengaja melakukan pengiriman salmonella yang mencemari selai kacang yang menyebabkan 628 orang keracunan di 47 negara bagian akibat mengkonsumsi selai kacang Peter Pan and Great Value yang telah terkontaminasi salmonella tersebut.
ConAgra Grocery Product Company, LLC sebagai subjek hukum, dalam pertanggungjawabannya terhadap perbuatannya, terdapat beberapa pihak yang turut serta melakukan kejahatan yang berkaitan dengan perbuatan yang dilakukan korporasi yaitu ConAgra Grocery Product Company, LLC.
Dalam hal ini pertanggungjawaban ConAgra Grocery Product Company, LLC sebagai korporasi yang bertanggungjawab secara pidana adalah berdasarkan teori vicarious liablility, kesalahan dari anggota direksi atau organ korporasi dan dapat dibebankan kepada korporasi tersebut. Dengan kesalahan yang dilakukan oleh salah satu dari para pihak tersebut, kesalahan itu secara otomatis diatribusikan kepada korporasi.
Dalam hal ini korporasi bisa dipersalahkan meskipun tindakan yang dilakukan secara tidak disadari atau disadari, dan tidak dapat dikontrol. Berdasarkan hal ini, tanpa adanya unsur mens rea (guilty mind) maka mereka yang dibebankan pertanggungjawabannya secara pidana.
C. Tesco Supermarket Ltd v Nattrass
1. Kasus Posisi
Tesco Supermarket menawarkan diskon pada produk bubuk cuci melalui iklan di poster yang ditampilkan di toko-toko. Namun promo diskon ini membuat produk tersebut laku keras. Setelah persediaan mereka habis, took-toko mulai mengganti dengan persediaan barang yang dijual sesuai eratur harga normal. Seorang manajer toko lalai melepaskan tanda harga diskon sehingga menyebabkan para pelanggan dikenai harga yang lebih mahal. Tesco didakwa telah melanggar Trade Descriptions Act 1968 untuk iklan palsu harga cuci bubuk.
Kasus hukum ini merupakan tindak pidana korporasi yang paling dikenal. House of Lords menerapkan doktrin identifikasi dalam memutus perkara ini. Suatu korporasi akan bertanggung jawab atas tindak pidana jika unsur kesalahan terdapat pada orang yang merupakan pikiran atau otak (directing mind) dari suatu korporasi. Pihak Tesco membela diri bahwa perusahaan telah mengambil semua tindakan pencegahan yang wajar dan semua due diligence, dan bahwa perilaku manajer tidak bisa disamakan dengan pertanggungjawaban untuk korporasi. 
Dalam perkara ini, Hakim Lord Reid menjelaskan bahwa seseorang yang hidup memiliki pikiran yang dapat mengetahui/knowingly atau berniat atau lalai dan ia memiliki tangan untuk melaksanakan niatnya. Korporasi tidak memiliki semua ini. Korporasi harus bertindak melalui orang-orang yang hidup meski tidak selalu orang yang sama. Kemudian orang yang bertindak tidak berbicara atau bertindak untuk perusahaan yang dimaksud. Orang tersebut merupakan perwujudan perusahaan atau dapat dikatakan dia mendengar dan berbicara melalui karakter perusahaan itu dalam ruang lingkup yang wajar dan pikirannya adalah pikiran perusahaan. Kesalahan perusahaan jika pikiran itu merupakan a guilty mind.
2. Analisis Kasus
Dalam perkara Tesco, perusahaan dituntut melakukan tindak pidana berdasarkan The Trade Description Act 1968. Pembelaan pihak Tesco adalah berdasarkan Section 24 Subsection 1 dalam undang-undang itu dengan alasan bahwa dilakukannya pelanggaran disebabkan oleh perbuatan atau kelalaian orang lain yaitu manajer cabang toko tersebut dan perusahaan telah berhati-hati dengan mencegah dilakukannya pelanggaran itu. Pengadilan mengetahui bahwa perusahaan telah menyusun suatu sistem yang layak sehingga telah menjalankan prinsip kehati-hatian yang semestinya namun pengadilan menemukan keterangan bahwa manajer cabang bukan orang lain dan perbuatannya merupakan perbuatan perusahaan.
Pada waktu banding, House of Lords mencabut pernyataan bersalah dan memutuskan bahwa pembelaan dapat diterima karena manajer cabang adalah orang lain yang merupakan tangan dan bukan otak perusahaan. Manajer cabang harus mengikuti arahan umum dari perusahaan dan menerima perintah dari atasannya. Karenanya perbuatan tersebut merupakan kelalaian pribadi bukan sebagai kelalaian perusahaan.
Suatu pelanggaran tidak dapat dikaitkan dengan kelalaian dari semua direktur yang ada pada suatu korporasi. Suatu kelalaian hanya dapat dikaitkan dengan kelalaian salah seorang direktur atau beberapa pejabat lain yang ada di perusahaan itu karena tidak ada kewajiban umum terhadap seorang direktur untuk mengawasi rekannya sesama direktur atau kewajiban untuk mengetahui semua rincian tentang pengoperasian perusahaannya.

BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Kasus PT. GJW
Perkara korupsi penyalahgunaan Pasar Sentra Antasari Banjarmasin pada 2010 oleh PT. GJW selaku terdakwa sudah dinyatakan berkekuatan hukum tetap dan mengikat di tingkat banding. Setelah Pengadilan Tinggi Banjarmasin memutus PT. GJW terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi, PT. GJW tidak mengajukan kasasi dan menerima putusan banding. perkara korupsi penyalahgunaan Pasar Sentra Antasari Banjarmasin pada 2010.
Dilihat dari pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan dan analisis kami terhadap kasus PT. GJW ini, maka kami mengemukakan bahwa terkait doktrin pertanggungjawaban pidana dalam kasus ini adalah doktrin pertanggugjawaban atribusi (attribution liability).
Akan tetapi, penerapan pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana korupsi masih minim dan terdapat perbedaan penerapan hukum. Minim berarti masih sedikit jumlah putusan pengadilan yang menyatakan korporasi bersalah melakukan indak pidana korupsi. Pada kasus PT. GJW Penuntut Umum berhasil membuktikan PT. GJW telah melakukan tindak pidana korupsi namun masih terdapat kegamangan pada majelis hakim dalam menggunakan teori pertanggungjawaban pidana korporasi.
2. ConAgra Grocery Products Company, LLC
Dalam kasus ini terlihat adanya kelalaian dalam selai kacang yang terkontaminasi bakteri salmonella hasil produksi ConAgra Grocery Products Company, LLC. Hal tersebut terkuak ketika Pusat Pengendalian Penyakit (Centers for Disease Control and Prevention) menemukan lebih dari 700 kasus salmonellosis atau wabah salmonella yang menjangkit banyak orang.
Selain itu dengan adanya kasus tersebut maka menghasilkan keputusan sebagai berikut:
a) ConAgra Grocery product, setuju dan mengaku bersalah atas pelanggaran dalam pertanggungjawaban yang ketat dalam undang-undang Pangan, Obat, dan Kosmetik, yang melanggar 21 U.S.C. §§ 331 (a), 342(a), and 333(a)(l), atas pengiriman selai kacang terkontaminasi salmonella antara 6 Oktober 2006 ke 14 Februari 2007.
b) ConAgra Grocery product membayar beban biaya pengadilan sebesar $ 125
c) ConAgra Grocery product membayar denda pidana $ 8,011,000 ke Panitera Pengadilan Distrik Amerika
d) ConAgra Grocery product membayar kehilangan aset $ 3.200.000, ke United state Marshals Service
Dalam hal ini pertanggungjawaban ConAgra Grocery Product Company, LLC sebagai korporasi yang bertanggungjawab secara pidana adalah berdasarkan teori vicarious liablility, kesalahan dari anggota direksi atau organ korporasi dan dapat dibebankan kepada korporasi tersebut. Dengan kesalahan yang dilakukan oleh salah satu para pihak tersebut, kesalahan itu secara otomatis diatribusikan kepada korporasi. Dalam hal ini korporasi bisa dipersalahkan meskipun tindakan yang dilakukan secara tidak disadari atau disadari, dan tidak dapat dikontrol. Berdasarkan hal ini, tanpa adanya unsur mens rea (guilty mind) maka mereka yang dibebankan pertanggungjawabannya secara pidana.
3. Tesco Supermarkets Ltd v Nattrass
Kasus Tesco menunjukkan bahwa prinsip identifikasi berfungsi bukan hanya untuk menetapkan tanggung jawab tetapi juga dapat memanfaatkan tanggung jawab atas delik undang-undang (regulatory offences) di mana pembelaan pihak ketiga dapat diterima. Manajer cabang tidak berbuat sebagai perusahaan maka perbuatannya adalah perbuatan yang dilakukan oleh pihak ketiga. Perusahaan melalui para pejabatnya telah menetapkan suatu sistem pengawasan yang sesuai dank arena itu telah menjalankan seluruh prinsip kehati-hatian dengan semestinya.
Namun penerapan prinsip identifikasi memiliki beberapa masalah yaitu:
a. Semakin besar dan semakin banyak bidang usaha perusahaan, semakin besar kemungkinan perusahaan tersebut menghindar dari tanggungjawab.
b. Prinsip yang dianut Tesco tidak sesuai dengan regulatory offences yang tidak memerlukan adanya mens rea tetapi untuk pembelaan adalah untuk mengurangi tekanan dari pertanggungjawaban berdasarkan strict liability.
c. Bahwa perusahaan hanya akan bertanggungjawab jika orang itu diidentikkan dengan perusahaan yaitu dirinya sendiri yang secara perseorangan atau individual bertanggungjawab karena dia memiliki mens rea untuk melakukan tindak pidana.
d. Prinsip ini juga dilemahkan oleh keputusan The Privy Council  (Meridian Global Funds Management Asia Ltd. V Securities Commision) yang mengkaitkan apa yang diketahui oleh perusahaan untuk menentukan tanggungjawab perusahaan atas pelanggaran karena lalai berdasarkan The New Zealand Securities Act tahun 1998. Lalai membeberkan sesuatu di mana fakta yang harus dibeberkan diketahui oleh tim investigasi senior. Tim ini bukan merupakan the directing mind dari perusahaan.


B. Saran
1. Tindak pidana yang dilakukan korporasi merupakan kejahatan yang butuh perhatian ekstra oleh pemerintah, karena korporasi juga dapat menyuap pemerintah atau siapapun yang dianggap dapat merugikan dan menguntungan korporasi tersebut. Sehingga akan lebih baik jika para penegak hukum dapat memidanakan korporasi dan menjatuhkan pidana sesuai dengan tindak pidana yang dilakukan korporasi dan sesuai dengan kerugian yang ditanggung oleh Negara.
2. Perlu adanya keseragaman pengaturan dalam hal pertanggunggjawaban pidana korporasi seperti teori apa yang akan digunakan dalam meminta pertanggungjawaban pidana korporasi. Hal ini seperti di Canada yang dalam Criminal Code-nya menggunakan teori identifikasi karena hal tersebut akan membantu pembuktian nantinya, menyesuaikan peraturan-undangannya dengan konvensi internasional, dalam hal ini adalah UNTOC dan UNCAC sebagai konsekuensi dari diratifikasinya konvensi tersebut, kerja sama antar penegak hukum, pelatihan bagi penegak hukum agar lebih paham lagi mengenai konsep peranggunjawaban pidana korporasi.


DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Barda Nawawi Arief. 2012. Perbandingan Hukum Pidana. Jakarta: PT Raja Grafindo.
Collin P.H. 2000/2001. Dictionary of Law. London: Peter Collin Publishing.
Dwidja Prayitno. 1991. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Hukum Pidana cet. I. Bandung: Sekolah Tinggi Hukum.
Kristian. 2016. Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi (Tujuan Teoritis dan Perbandingan Hukum Di Berbagai Negara). Bandung: PT. Refika Aditama.
Mahmud Mulyadi dan Feri Antoni Surbakti. 2010. Politik Hukum Pidana terhadap Kejahatan Korporasi. Medan: PT. Softmedia.
Mahrus Ali. 2013. Asas-Asas Hukum Pidana Korporasi. Jakarta: Rajawali Pers.
Michael John Allen. 1999. Textbook on Criminal Law. London: Blackstone Press.
Muladi dan Dwidja Priyatno. 2010. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi. Jakarta: Kencana.
N.H.T Siahaan. 2008. Hukum Lingkungan. Edisi Revisi Cetakan Kedua. Jakarta: Pancuran Alam.
Ronny Hanitijo Soemitro. 1985. Metodologi Penelitian Hukum dan Yurimetri. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Soerjono Soekanto. 1981. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Pres.
Sutan Remy Sjahdeini. 2006. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi. Jakarta: Grafiti Pers.
Jurnal:
ADB/OECD Anti Corruption Initiative for Asian and the Pacific.
Edward B. Diskant. 2008. Comparative Corporate Criminal Liability:Exploring the Uniquely American Doctrine Through Comparative Criminal Procedure. The Yale Law Journal. Vol. 118:126.
Jennifer Arlen. 2011. Corporate Criminal Liability : Theory and Evidence, New York University Law and Economic Working Papers. Paper 273.
Jimmy Tawalujan. 2012. Pertanggungjawaban Korporasi Terhadap Korban Kejahatan. Lex Crimen Vol.I/No.3/Jul-Sep/2012.
Internet:
Allens Arthur Robinson. 2008. Corporate Culture “As A Basis For The Criminal Liability of Corporations” diakses melalui http://198.170.85.29/Allens-Arthur-Robinson-Corporate-Culture-paper-for-Ruggie-Feb-2008.pdf. pada tanggal 18 November 2016. pkl. 14.46 WIB.
ConAgra Plea agreement United States of America V Conagra Grocery Products Company LLC. US Department of Justice. https://www.justice.gov/file/440646/download. diakses Sabtu. 19 November 2016.
www.nbcnews.com/health/health-news/cracked-case-egg-executives-get-jail-salmonella-outbreak-n340916. diakses Sabtu. 19 November 2016.
www.bna.com/food-execs-high-n57982058911/. diakses Sabtu. 19 November 2016.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar