Minggu, 12 April 2020

TUGAS HUKUM RUANG UDARA DAN ANTARIKSA

HUKUM RUANG UDARA DAN ANTARIKSA



KELOMPOK 7
Disusun Oleh:
1. Andre (170200180)
2. Hana Serbina Br. Sembiring (170200183)
3. Fachrurrozy Aziz Purba {170200188}
4. Jafan Fifaldi Harahap (170200204)
5. Zulfadli Adhan Sihite (170200206)


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2018

KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kami haturkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan berkat dan Rahmat-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan penulisan makalah kami yang berjudul “Ruang Udara dan Antariksa”. Makalah ini bertujuan untuk menggali bagaimana hukum udara dan antariksa mulai eksis sebagai cabang ilmu hukum internasional kontemporer hingga bagaimana kepentingan Indonesia atas ruang antariksa. Judul yang kami pilih diharapkan dapat memberi sumbangsih ilmu dalam studi hukum internasional yang sebagaimana kita ketahui kerap kali terjadi pelanggaran dalam ruang udara nasional oleh negara asing sebab posisi strategis Indonesia di posisi silang yang menjadi lintasan pesawat udara asing dalam rangka lintas damai.Kami juga mengucapkan terima kasih kepada Dosen Pengampu mata kuliah Hukum Internasional yaitu:
1. Prof. Dr. Ningrum Natasya Sirait, SH. M.Li
2. Rosmalinda, S.H., LLM
yang telah memberikan pengarahan hingga sumbangsih ilmu dalam proses pembuatan makalah ini.
Akhir kata, kami ucapkan terima kasih.

Medan,Oktober 2018



Kelompok 7




ABSTRAK
HUKUM RUANG UDARA DAN ANTARIKSA
Perkembangan teknologi yang semakin maju seperti hadirnya pesawat terbang juga harus diikuti payung hukum yang mengaturnya. Payung hukum tersebut adalah hukum ruang udara dan antariksa yang didasarkan pada ketentuan konvensional serta hukum kebiasaan sebagai peranan tambahan dalam pembentukan hukum udara dan antariksa. Kemudian setelah hadirnya pesawat udara, hadir roket eksplorasi antariksa hingga yang terbaru adalah turisme luar angkasa. Bagaimana hukum ruang udara dan antariksa mengatur hal tersebut hingga apakah kepentingan Indonesia atas ruang antariksa telah diakomodir lewat peraturan perundang-undangan semuanya akan dielaborasikan pada makalah ini.

ABSTRACT
AIRSPACE AND OUTER SPACE LAW
The development of increasingly advanced technologies such as presence of aircraft also have to follow the legal umbrella set them up. The umbrella of the law is the law of air space and space based on the conventional provisions as well as the law of habit as an additional role in the establishment of air and space law. Then after the presence of aircraft, space exploration rockets to present the latest space tourism. How the law of air space and space set it up and how interests of Indonesia over space accomodated by legislation would all be ellaborated on this paper.
Kata kunci:Hukum Udara,Hukum Antariksa.
Keyword:Airspace Law,Outer Space Law.




BAB I
PENDAHULUAN
1.1.   Latar Belakang
Kehadiran teknologi harus diikuti regulasi yang mengaturnya agar tercapai kepastian hukum. Pesawat udara ialah salah satu contoh teknologi mutakhir saat ini dan kemunculannya diikuti dengan perkembangan hukum udara dan antariksa.Namun,dalam perkembangan teknologi yang mutakhir tidak diikuti oleh ketaatan hukum dimana semakin banyak pelanggaran yang terjadi di ruang udara nasional.Atas hal tersebut,kami meyambut baik tugas yang diberikan kepada kami dengan mengangkat judul Ruang Udara dan Antariksa untuk dapat memperkaya daya analisis kami

1.1.1. Perumusan Masalah
Berdasarkan pengamatan dan uraian yang telah penulis lakukan dari berbagai literatur peraturan perundang-undangan, penulis mengemukakan beberapa permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini yaitu:
1. Bagaimana hukum udara mengatur kedaulatan negara?
2. Bagaimana hukum antariksa mengatur kedaulatan negara?
3. Apakah Indonesia telah menegakkan supremasi hukum yang akomodatif dalam penerapan hukum ruang udara dan antariksa?

1.2. Tujuan dan Manfaat Penulisan
1.   Adapun tujuan dari penulisan ini adalah :
a. Memberikan gambaran mengenai hukum udara dan antariksa.
b. Memahami kedaulatan negara dalam perspektif hukum udara dan antariksa.
c. Mengetahui pengaturan hukum yang akomodatif yang bersesuaian dengan kepentingan Indonesia atas ruang antariksa.





2. Adapun manfaat dari penulisan ini adalah :
a. Manfaat Teoritis
Hasil dari penulisan ini diharapkan memberikan sumbangsih pemikiran yang dapat bermanfaat dalam penegakan supremasi hukum, khususnya mengenai Hukum Ruang Udara dan Antariksa.
b. Manfaat Praktis
Hasil dari penulisan ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan masukan bagi para pembaca, khususnya yang ingin melakukan eksplorasi ruang udara dan antariksa. Tulisan ini dapat menjadi bahan kajian bagi pemerintah sebagai pembuat kebijakan agar dapat menjadikan pertimbangan hukum ruang udara dan antariksa dalam pembuatan regulasi yang berkaitan.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Hukum Udara
2.1.1 Konvensi Paris 1919
Konvensi  Paris 1919 ini dilangsungkan dan ditandatangani oleh komisi khusus yang dibentuk oleh Dewan Tertinggi Negara-negara Sekutu pada tanggal 13 Oktober 1919 yang berkaitan tentang Navigasi Udara. Konvensi ini berlaku pada bulan Juli 1922 dan berkembang serta mengikat 29 negara. Konvensi Paris merupakan upaya pertama Internasional mengenai penerbangan udara. Negara-negara pihak diizinkan untuk membentuk kesepakatan bilateral diantara mereka selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip  konvensi. Namun perjanjian ini banyak terjadi ketidakadilan bagi negara-negara yang kalah pada Perang Dunia Pertama. Karena bagi negara-negara yang kalah pada Perang Dunia Pertama untuk menjadi bagian dari konvensi ini harus terlebih dahulu menjadi anggota LBB.
Konvensi ini menjadi konvensi yang bersifat umum sejak berlakunya Protokol 1919.Pada Pasal 1 konvensi menegaskan kedaulatan penuh negara pada ruang udara di atasnya. Ruang udara tunduk pada kedaulatan negara yang membawahi daratan dan wilayah laut dibawahnya. Namun konvensi memberi keringanan dalam lalu-lintas udara sesuai Pasal 2 konvensi mengenai lintas. Tiap-tiap negara pihak mengizinkan hak lintas damai pesawat udara negara pihak lainnya sesuai syarat pada konfensi. Selanjutnya hak lintas terbang ini dibatasi karena alasan militer atau alasan keamanan. Bersamaan dengan kebebasan lintas persamaan perlakuan juga dijamin dari semua diskriminasi atas dasar motif politik, seperti kebangsaan dari pesawat. Konvensi juga membentu suatu organ permanen untuk mengawasi pelaksanaan ketentuan, yaitu Komisi Internasional Navigasi Udara di bawah kebangsaan LBB. Menurut konvensi tiap-tiap pesawat udara harus memiliki satu kebangsaan. Hal ini memiliki kepentian dalam segi tanggung jawab dan perlindungan. Sistem ini sesuai dengan logika konvensi yang selaras dengan prinsip kedaulatan negara.Karena banyaknya kritik dari negara-negara netral pada Perang Dunia I, maka perubahan konvensi tidak dapat dihindarkan. Perubahan tersebut berlangung dalam 3 tahap: (1) Protokol tambahan pada 1 Mei 1920 (2) Pengaturan pada tanggal 14 Desember 1926 (3) Diterimanya Protokol pada 15 Juni 1929. Perubahan tersebut dilakukan oleh Komisi Internasional Navigasi Udara dalam Sidangnya di Paris 10 – 15 Juni 1929 mengenai persoalan keanggotaan Jerman.

2.1.2 Konvensi Chicago 1944
Konvensi ini berlangsung tanggal 1-7 November 1944  membahas 3 konsep yang saling berbeda yaitu : (1) konsep internasionalisasi yang disarankan Australia dan Selandia Baru. (2) konsep Amerika yang bebas untuk semua. Konsep persaingan bebas atau free enterprice. (3) konsep intermedier Inggris yang menyangkut pengaturan dan pengawasan. Pada akhir konfrensi sidang menerima 3 instrumen yaitu:
- Konvensi mengenai penerbanga sipil internasional.
- Persetujuan mengenai transit jasa-jasa udara internasional.
- Persetujuan mengenai alat angkutan udara internasional.
Konvensi mulai berlaku tanggal 7 April 1947 yang mengakui fasilitas kesepakatan bilateral yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang ada.
Konvensi Chicago mendirikan suatu organisasi dengan nama International Civil Aviliation Organisation (ICAO) suatu organisasi teknik yang bertujuan menyeragamkan ketentuan navigasi udara. Pasal 44 konvensi berisi fungsi dari ICAO yaitu untuk mengembangkan prinsip-prinsip dan tekink navigasi internasional sehinggga dapat melaksanakan perkembangan penerbangan sipil internasional secara teratur dan aman.
Pada umumnya negara-negara menyelesaikan masalah sengketa-sengketa bilateral melalui Mahkamah Internasional atau membentuk suatu tribunal arbiteral. Sebagai contoh insiden antara Iran dan Amerika Serikat 3 Juli 1988. Dalam hal ini dewan menolak tuntutan Iran untuk mengecam tindakan Amerika Serikat yang dianggap bertentangan dengan Konvensi Montreal 1971.
2.2 Status Yuridik Ruang Udara
a. Wilayah Udara Nasional
Konvensi Chicago 1944 mengambil secara integral prinsip dalam Konvensi Paris 1919 yang menjelaskan bahwa wilayah negara juga terdiri dari laut wilayahnya yang berdekatan. Pada Pasal 2 Konvensi Jenewa ketentuan-ketentuan yang berlaku terhadap navigasi udara, termasuk udara di atas laut wilayah, sama sekali berbeda dengan ketentuan pelayaran maritim. Terutama tidak ada norma-norma hukum kebiasaan yang mengatur lintas terbang di atas wilayah negara seperti mengatur lintas damai perairan kecuali ada kesepakatan mengenai lintas udara di selat-selat internasional dan tiap-tiap penerbangan yang tidak diizinkan merupakan pelanggaran terhadap kedaulatan teritorial negara yang berada dibawahnya karena merupakan wilayah udara nasional.
Oleh karena itu, aspek keamanan lalu lintas udara dan pengamanan atas pesawat-pesawat udara dalam pengaturan-pengaturan hukum yang dibuat negara . Untuk memperkuat keamanan dan ketentuannya, negara banyak melakukan kesepakatan-kesepakatan bilateral atau regional.Apabila terjadinya pelanggaran mengenai keamanan dan batas teritorial udara tersebut dimungkinkan terjadinya penyergapan pesawat asing tersebut. Jika menyangkut pesawat sipil maka negara meminta secara bijaksana tanpa membahayakan nyawa penumpang pesawat.
b. Masalah Delimitasi
Tidak adanya delimitasi veritikal antara ruang dan antariksa ini menimbulkan kesukaran untuk memberikan defenisi terhadap ruang mengenai kepemilikannya. Ini dikarenakan dalam bentuk fisik udara, seperti laut secara matriil tidak terpisahkan dengan bumi bahkan melekat seutuhnya. Konvensi-konvensi Paris dan Chicago sama sekali tidak membuat ketentuan mengenai delimitasi horizontal  dari ruang udara sehingga batas udara hanya dapat ditetapkan melalui batas udara dan laut. Dengan belum dikembangkannya alat yang digunakan untuk menentukan batas-batas wilayah tersebut, maka dimungkinkan kesalahan atau kekhilafan.
c. Ruang Udara Internasional
Kedaulatan teritorial suatu negara berhenti pada batas darat dan wilayah lautnya. Kedaulatan ini tidak berlaku terhadap ruang udara yang terdapat di atas laut lepas atau zona-zona dimana negara pantai hanya mempunyai hak-hak berdaulat seperti atas landas kontinen. Status kebebasan yang belaku di laut lepas tidak pula mungkin besifat absolut. Pasal 12 Konvensi Chicago dengan alasan keamanan tersebut menyatakan bahwa di laut lepas ketentuan yang berlaku adalah ketentuan-ketentuan yang dibuat ICAO yang sehubungan dengan penerbangan dan maneuver pesawat-pesawat. Namun, juga perlu diingat bahwa wewenang ICAO bukan pada pelaksanaan. Kepada masing-masing negara pihaklah diberikan wewenang untuk mengambil tindakan agar pesawat udara yang mempunyai kebangsaan dari negara tersebut yang berada di atas laut lepas atau zona eksklusif menyesuaikan diri dengan ketentuan-ketentuan dari perarturan yang berlaku (Pasal 12 Konvensi).

2.3 Rezim Yuridik Navigasi Udara
Status pesawat udara tergantung dari sifatnya apakah publik atau sipil. Sesuai Pasal 3 Konvensi Chicago dan sebelumnya Pasal Konvensi Paris pesawat udara publik adalah yang digunakan untuk dinas militer atau polisi. Sedangkan mengen ai pesawat sipil, Konvensi Chicago 1944 mengingatkan bahwa pesawat-pesawat harus mempunyai satu kebangsaan dimana imatrikulasi dilakukan di tiap-tiap negara menetapkan syarat-syarat imatrikulasi tersebut.
Ada beberapa kategori pesawat udara, yaitu:
a. Pesawat-pesawat udara sipil yang tidak melakukan pelayanan pengangkutan komersial yang terdiri dari orang-orang, barang dagangan atau surat-surat menikmati hak lintas yang dilaksanakan dalam dua bentuk kebebasan  yaitu kebebasan transit tanpa mendarat dan kebebasan untuk mendarat dengan tujuan non-komersial.
b. Pesawat-pesawat udara yang melakukan pelayaran pengangkutan komersial yang tidak regular juga menikmati kedua kebebasan diatas. Pesawat itu mendapat kemudahan untuk melakukan pendaratan komersial dengan syarat teritorial dapat melakukan pendaratan komersial sesuai dengan Pasal 5 alinea 3 Konvensi Chicago.
c. Pesawat-pesawat udara yang melakukan pelayanan pengangkutan komersial regular, sepanjang menyangkut kebebasan, diatur oleh kedua Perjanjian Chicago lainnya yaitu yang berkenaan dengan transit dan pengangkutan udara internasional. Perjanjian mengenai Pengangkutan Udara terdapat pada Pasal 1, seksi yang mengakui tiga kebebasan yang betul-betul komersial.
d.   Pesawat-pesawat yang melakukan cabotage ialah pelayanan komersial oleh penerbangan intern dari suatu tempat ke tempat yang lain dari wilayah negara yang sama dan yang secara prinsip harus mempunyai kebangsaan dari negara tersebut.
e.   Pesawat-pesawat publik tidak dapat de plano menikmati apapun dari kedua kebebasan klasik mengenai hak lintas damai. Konvensi Chicago hanya berlaku pada pesawat-pesawat sipil saja. Untuk pesawat militer harus mendapatkan otorisasi sebelumnya.

2.4 Hukum Antariksa
2.4.1  Sejarah Perkembangan
Status yuridik antariksa merupakan karya yang paling baru karena hanya berkembang semenjak permulaan tahun 1960-an. Hukum antariksa ini bersifat orisinil bila di tinjau dari bagaimana kondisi lahirnya, dan dari berbagai aspek, hukum antariksa ini juga bersifat klasik kalau dilihat dari karakteristik pokok rezim yuridiknya seperti halnya dengan rezim laut lepas.
Kegiatan negara-negara di bidang eksplorasi dan pemanfaatan antariksa dengan peluncuran ke antariksa berbagai satelit dengan cepat telah menjadi beraneka ragam seperti pengawasan wilayah-wilayah yang dilintasi, pencarian sumber-sumber alam darat dan laut, siaran radio dan televisi langsung, penentuan posisi kapal-kapal, meteorologi, observasi astronomi dan berbagai eksperimen lainnya.
Bila pada mulanya kegiatan-kegiatan antariksa ini hanya merupakan monopoli kedua negara adidaya, Uni Soviet dan Amerika. Di saat kegiatan-kegiatan ini tidak lagi bersifat sewaktu-waktu dan merupakan suatu sektor kegiatan yang terpisah dan berkembang secara berkelanjutan. Apalagi yang ikut dalam kegiatan kegiatan spesial bukan lagi satu atau dua negara dan kegiatan-kegiatan tersebut bukan hanya dilakukan di antariksa satu negara atau di atas wilayah negara-negara lain tetapi juga telah berputar mengelilingi bumi. Oleh karena itu, perlu untuk membuat suatu cabang baru hukum internasional.
a. Resolusi-Resolusi Majelis Umum
Hukum antariksa ini berbeda dari cabang internasional lainnya, mempunyai ciri-ciri khusus yaitu sifat hukumnya yang asli,  menyangkut kepentingan universal terdapat peranan penting yang dimainkan negara-negara adidaya Uni Soviet dan Amerika Serikat. Sehingga menyebabkan prosedur pembuatan hukum antariksa ini cukup unik dimulai dengan perundingan bilateral antara dua negara dilanjutkan dengan pembahasan-pembahasan di Majelis Umum PBB. Kemudian Majelis Umum  merumuskan prinsip-prinsip umum yang dimuat oleh resolusi-resolusi dan perjanjian-perjanjian yang bersifat universal.
Di tahun peluncuran Yuri Gagarin dengan pesawat luar angkasanya Majelis Umum tanggal 20 Desember 1961 menerima resulusi pertamanya mengenai prinsip kebebasan antariksa. Tahun 1963 Majelis Umum menerima deklarasi prinsip-prinsip yang mengatur kegiatan negara-negara dalam Eksplorasi dan Penggunaan Antariksa. Melaui perundingan antara Uni Soviet dan Amerika Serikat akhirnya Majelis Umum tanggal 19 Desember 1966 menerima traktat mengenai prinsip-prinsip yang mengatur kegiatan negara-negara dalam Eksplorasi dan Penggunaan Antariksa, termasuk bulan dan benda langit lainnya. Traktat ini yang dianggap sebagai dokumen induk bagi kegiatan-kegiatan antariksa termasuk Indonesia.


b. Perjanjian-Perjanjian Internasional yang Diterima Majelis Umum
Sebagai kelanjutan Deklarasi 1963 dan Traktat 1967, Majelis Umum menerima 4 perjanjian tambahan yang melengkapi dan mengembangkan dokumen yang sudah ada, yaitu : (1) persetujuan mengenai penyelamatan astronot; (2) konvesi mengenai tanggung jawab untuk kerugian oleh benda spesial; (3) kovensi mengenai imaterikulasi benda yang diluncurkan keluar angkasa; (4) persetujuan yang mengatur kegiatan negara di bulan dan benda langit lainnya.
Perlu dicatat bahwa pembuatan perjanjian-perjanjian di bidang angkasa luar bukan saja bersifat universal tetapi juga berbentuk regional maupun bilateral yang memungkinkan pengembangan kerjasama yang lebih maju dan konkrit. Amerika Serikat dan Unisoviet contohnya, pada tanggal 24 Mei 1972 membuat persetujuan mengenai eksplorasi dan pengguaan ruang angkasa untuk tujuan-tujuan damai yang merupakan wadah kerjasama ilmiah dan spesial.
c. Komite Penggunaan secara Damai Ruang Antariksa (Committee on The Peaceful Uses of Outer Space)
Komite telah meyiapkan 5 instrumen hukum yaitu:
- Treaty on Principles Goverming the Actifity of State in the Exploration and Use of Outer Space, including the Moon and Other Celestial Bodies (Outer Space Treaty), mulai berlaku tanggal10 Oktober 1967.
- The Agreement on the Rescue of Astronaute, the Retune of Astronauts, and the Return of Object Launched into Outer Space (Rescue Agreement), mulai berlaku tanggal 3 Desember 1968.
- The Convention on International Liability for Damage Caused by Space Object (Liability Convention), mulai berlaku tanggal 1September 1972.
- The Conventoin on Registration of Objects Launched into Outer Space, mulai berlaku tanggal 15 September 1976.
- The Agreement Goverming the Activities of States in the Moon and other Celestial Bodies (the Moon Agreement), mulai berlaku tanggal 11 Juli 1984.


2.4.2 Status Yuridik Antariksa
Seperti halnya lautnya lepas, antariksa mengikuti rezim internasional yang ditandai oleh pelaksanaan dua prinsip yaitu tidak dapat dimiliki dan kebebasan penggunaan, tetapi kebebasan penggunaan ini dibatasi oleh beberapa ketentuan.
a. Tidak Dapat Dimiliki
Prinsip ini jelas tercantum dalam deklarasi mengenai ruang angkasa luar tahun 1963, yang kemudian ditegaskan Pasal 2 Perjanjian Ruang Angkasa Luar tanggal 2 Januari 1967.

b. Kebebasan Penggunaan
Prinsip tidak boleh memiliki menyebabkan antariksa digunakan secara bebas oleh semua negara tanpa perbedaan dan atas kesamaan yang adil seperti disebutkan dalam Pasal 1 paragraf 2 Perjanjian Ruang Angkasa Luar 1967. Kebebasan ini berarti bahwa akses ke antariksa bebas dan kegiatan-kegiatan spesial yang dilakukan di sana terutama riset ilmiah tidak memerlukan otorisasi negara-negara yang berada di bawahnya. Namun di antariksa juga di laut lepas, kebebasan tidak berarti anarki dan perjanjian Ruang Angkasa Luar menetapkan batasan-batasan terhadap kebebasan tersebut.

c. Kekhususan Status Bulan dan Benda-Benda Langit Lainnya
Yang dimaksud dengan benda-benda langit adalah benda-benda natural dan solid yang terdapat di antariksa seperti planet-planet dan para satelitnya. Perbedaan antariksa dan benda-benda langit menimbulkan beberapa intepretasi karena Perjanjian Ruang Angkasa Luar 1967 hanya mengatur salah satu saja dari kedua hal tersebut. Dapat ditarik kesimpulan bahwa ketentuan-ketentuan yang merujuk pada antariksa juga berlaku pada benda-benda langit, tetapi sebaliknya ketentuan-ketentuan yang berlaku pada benda-benda langit tidak berlaku pada antariksa. Persetujuan tahun 1979 memberikan penjelasan yang lebih rinci atas ketentuan-ketentuan mengenai benda-benda langit.
Pertama, mengenai sangat pentingnya dari prinsip penggunaan damai.
Kedua, bukan saja eksplorasi dan penggunaan bulan dan benda-benda langit merupakan atribut dari seluruh umat manusia, tetapi juga benda-benda alamiah tersebut dan sumber-sumber alamnya merupakan milik bersama umat manusia (Pasals 11 ayat 1 Perjanjian Angkasa Luar).

d. Orbit Geostasioner (Geo-stationary Orbit)
Indonesia sebagai negara khatulistiwa yang terpanjang di dunia, mempunyai jalur geostasioner yang terpanjang pula, karena itu ingin memanfaatkannya untuk berbagai kepentingan nasional. Karena orbit tersebut merupakan sumber alam yang terbatas. Rezim hukum khusus ini terutama bertujuan untuk memberikan perlindungan kepadan negara-negara khatulistiwa dengan memperhatikan prinsip-prinsip kerja sama dengan negara-negara lainnya dalam memanfaatkan sumber-sumber antariksa. GSO untuk pertama kali dibahas dalam pertemuan International Astronautical Federation (IAF), International Institute of Space Law di Amsterdam tahun 1974. Kemudian pembahasan GSO ini dilanjutkan dalam pertemuan negara-negara khatulistiwa yang menghasilkan Deklarasi Bogota tahun 1976, yang juga ditandatangani oleh Indonesia, berisikan tuntutan kedaulatan terhadap jalur GSO yang berada di atas negara-negara khatulistiwa. Karena terdapatnya tantangan dari banyak negara terutama negara-negara barat, sejak tahun 1982 negara-negara khatulistiwa mulai mengubah posisi dari tuntutan kedaulatan atas GSO sulit untuk dipertahankan dan sejak tahun 1993 negara-negara khatulistiwa lebih menekankan pada penggunaan GSO yang adil dan merata bagi semua negara dan bukan lagi tuntutan mengenai kedaulatan.

2.4.3 Pengaturan Kegiatan di Antariksa
Kegiatan-kegiatan  di antariksa sejak semula selalu mengutamakan kerjasama antara negara-negara pemakai terutama di bidang penyelamatan astronot yang tercantum dalam persetujuan mengenai penyelamatan astronot. Kerjasama ini tentunya diharapkan dari negara-negara maju agar menggabungkan upaya-upaya mereka mengingat biaya sangat besar dari eksplorasi dan eksploitasi antariksa.
a. Wewenang Negara Imatulkurasi
Pasal 8 Perjanjian Angksa Luar menetapkan bahwa negara yang melakukan pendaftaran pesawat atau benda-benda yang diluncurkan ke antariksa menempatkan pesawat atau benda-benda dan personilnya di bawah yuridikasi negara tersebut apakah sedang berada di ruang udara atau antariksa akan tetap merupakan milik negara yang sama. Demikian juga halnya bila pesawat-pesawat tersebut setelah kembali ke bumi dari perjalanannya.

b. Kewajiban Kerjasama
Majelis Umum PBB menganggap bahwa negara-negara dalam melakukan kegiatan-kegiatan eksplorasi dalam pemanfaatan antariksa harus didasarkan atas prinsip-prinsip kerjasama dan saling membantu serta melakukan semua kegiatannya dengan memperhitungkan sepenuhnya kepentingan layak negara-negara lain yang dinyatakan oleh Deklarasi 13 Desember 1963. Prinsip-prinsip ini juga ditegaskan lagi secara jelas dalam Pasal 9 Perjanjian Ruang Angkasa Luar 1967. Prinsip kerja sama ini akan menjadi suatu keharusan menyangkut pelaksanaan Pasal 5 Perjanjian Ruang Angkasa Luar 1976 yang menyatakan bahwa para astronot merupakan utusan-utusan manusia di antariksa, oleh karena itu harus mendapat segala bantuan yang mungkin bila terjadi kekacauan dalam keadaan bahaya atau melakukan pendaratan darurat di wilayah suatu negara atau di laut lepas.


c. Masalah Tanggung Jawab
Tiap-tiap negara secara internasional bertanggung jawab atas kegiatan-kegiaan spesial yang dilakukan di wilayahnya dan menjaga agar kegiatan-kegiatan tersebut dilakukan sesuai dengan ketentuan-ketentuan Perjanjian Ruang Angkasa 1967 (Pasal 6). Pasal 7 menyebutkan pula bahwa tiap-tiap negara yang melakukan peluncuran suatu benda secara internasional bertanggung jawab atas kerusakan yang disebabkan benda spesial tersebut atau komponen-komponennya di bumi, di ruang udara atau di antariksa termasuk bulan dan benda-benda langit lainnya terhadap negara-negara pihak lainya atau terhadap person fisik atau moral yang berada di bawah kedaulatan negara lain tersebut.
Terhadap kerusakan kategori pertama, negara peluncur mempuyai tanggung jawab yang mutlak dan objektif sesuai Pasal 2 Perjanjian Angkasa Luar 1967, sedangkan untuk kerusakan kategori kedua negara peluncur hanya bertanggung jawab bila kerusakan tersebut adalah akibat kesalahan negara peluncur tersebut atau kesalahan dari personilnya (Pasal 3 dan 4).

d. Penyelesaian Sengketa
Besarnya kepentingan-kepentingan yang terlibat antara negara-negara mengharuskan dirumuskannya prosedur penyelesaian sengketa. Bila perundingan diplomatik mengalami kegagalan maka dibentuk Komisi Penyelesaian Tuntutan yang dapat mengadakan sidang atas pemerintahan sepihak suatu negara. Namun, penyelesaian yang disarankan komisi hanya mempunyai kekuatan mengikat bila disepakati oleh pihak-pihak yang bersengketa seperti dalam Pasal 16 sampai 20 Konvensi. Sekiranya perundingan-perundingan tersebut mengalami kegagalan salah satu dari negara pihak dapat meminta bantuan Sekertaris Jendral PBB tanpa perlu adanya persetujuan negara pihak lainnya untuk penyelesaian sengketa tersebut. Dalam hal ini intervensi Sekjen PBB tersebut dapat dikatakan sebagai mediasi.

2.4.4 Mekanisme Kelembagaan Kerja Sama
Kenyataan bahwa biaya kegiatan eksplorasi dan eksploitasi antariksa ini sangat besar dan karena itu negara-negara terpaksa melakukan kerja sama satu sama lain. Negara-negara terpaksa menyatukan upaya-upaya mereka dan mendirikan organisasi internasional untuk mencapai tujuan bersama.
a. Pada Tingkat Universal
Pada tingkat universal Komite Penggunaan secara Damai Ruang Angkasa memainkan peranan yang sangat penting karena merupakan organ konsultasi permanen PBB di bidang antariksa. Namun, satu-satunya realisasi nyata dibidang tersebut adalah kesepakatan yang ditandatangani pada tanggal 3 September 1976 dalam kerangka I.M.C.O. (Inter-govemmental Maritim Consultative Organization) yang mendirikan suatu organisasi internasional satelit untuk navigasi laut (INMARSAT), dan baru-baru ini program COSPAS-SARSAT yang mendirikan sistem global satelit untuk pencarian dan penyelamatan.


b. Pada Tingkat Organisasi Regional
Intelsat didirikan melalui Kesepakatan Washington tanggal 21 Agustus 1964 dan dirubahnya secara mendalam melalui kesepakatan-kesepakatan baru tanggal 20 Agustus 1971. Intelsat merupakan suatu organisasi internasional dengan tujuan untuk merancang, membuat dan mengelola suatu jaringan satelit komunikasi dunia, dan walaupun merupakan organisasi antar pemerintah, tetapi dikelola secara komersial. Sedangkan Intersputnik yang didirikan melalui kesepakatan Moskow tanggal 15 November 1971 sebagai jawaban dari pendirian Intelsat, telah berjalan sesuai prinsip yang hampir sama. Intersputnik ini dalam kegiatannya didominasi oleh Uni Soviet.

c. Kepentingan Indonesia atas Ruang Antariksa
Negara berdaulat adalah, negara yang mempunyai kekuasaan tertinggi bebas dari kekuasaan negara lain, bebas dalam arti seluas-luasnya baik ke dalam maupun keluar, namun demikian tetap harus memperhatikan hukum internasional serta sopan santun dalam pergaulan internasional lainnya. Sampai saat ini belum ada konvensi internasional yang secara khusus mengatur wilayah suatu negara yang meliputi wilayah darat, pelaut maupun udara .Hal tersebut juga dapat dikaitkan dengan keberhasilan Uni Soviet dalam meluncurkan satelit pertamanya tahun 1957 disusul oleh Amerika Serikat, Perserikatan Bangsa Bangsa telah menetapkan sejumlah pengaturan secara internasional untuk memecahkan berbagai masalah yang timbul, dimana sebagian diantaranya pada periode 1990-an telah disahkan dan diberlakukan oleh Indonesia. Pengaturan-pengaturan Internasional tersebut yaitu: Liabillity Convention 1972, disahkan melalui Keputusan Presiden nomor 20 Tahun 1996; Registration Convention 1975, dengan Keputusan Presiden nomor 5 Tahun 1997 (12 Maret 1997); dan Rescue Agreement 1968, dengan Keputusan Presiden 1999.
Dalam rangka melengkapi peraturan perundang-undangan dibidang Kedirgantaraan Nasional tahun 1982, Pemerintah Indonesia melalui melalui rapat-rapat interdep telah berupaya menyusun RUU Kedirgantaraan Nasional yang diusulkan bernama Rancangan Undang-Undang Tentang Pokok-pokok Kedirgantaraan Nasional.Dan, di tahun 2013 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2013 Tentang Keantariksaan telah diundangkan.Dalam prosesnya, hal ini dimaksudkan menghadapi berbagai persoalan yang secara teoritis dari ilmu hukum dan perundang-undangan disimpulkan dalam satu undang-undang tidak mungkin diatur dua rezim hukum yaitu udara dan antariksa, karena masing-masing sistem hukum tersebut berkembang sesuai dengan rezimnya sendiri-sendiri. Sedangkan mengenai tuntutan kedaulatan Imdonesia atas GSO, perjuangan penting yang telah dilakukan untuk mencapai kepentingan nasional atas orbit tersebut adalah penandatanganan oleh Indonesia Deklarasi Bogota tahun 1967 bersama-sama dengan negara-negara katulistiwa lainnya seperti Brazil, Equador, Kenya dan Kolumbia, yang berisikan tuntutan kedaulatan wilayah negara-negara katulistiwa atas jalur GSO di wilayahnya. Dalam sidang-sidang Komite Angkasa Luar PBB (UNCOPOS/United Nations Committee on the Peaceful Uses of Outer Space), Indonesia selalu mengambil peran aktif dalam memperjuangkan asipirasi dan kepentingan sesama negara katulistiwa dan negara-negara berkembang yang disesuaikan dengan perkembangan yang ada.
Mengenai Perjanjian Angkasa Luar (Space Treaty) 1967, walaupun mengandung beberapa kelemahan seperti belum dirincinya prinsip-prinsip pokok yang ada di dalamnya dan belum adanya delimitasi antara ruang udara dan antariksa, tetapi telah berisikan ketentuan-ketentuan yang dapat mendorong kerjasama antarnegara dalam pemanfaatan secara damai antariksa.







STUDI KASUS HUKUM UDARA DAN ANTARIKSA DI INDONESIA
Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara kepulauan yang berciri nusantara mempunyai kedaulatan atas wilayahnya untuk dikelola dan dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 . Ruang wilayah negara meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara. Sebagai negara berdaulat, Indonesia memiliki kedaulatan penuh dan utuh atas wilayah udara, sesuai dengan ketentuan Konvensi Chicago 1944 tentang Penerbangan Sipil Internasional, Pasal 1 disebutkan bahwa “every State has complete and exclusive sovereignity over the airspace above its territory . ”Pasal 5 Undang-undang No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, menyebutkan negara Indonesia berdaulat penuh dan eksklusif atas wilayah udara Indonesia. Ruang udara mempunyai arti yang sangat penting bagi suatu negara, salah satunya dilihat dari aspek integritas wilayah dan keamanan nasional, yang harus di dayagunakan sebaik-baiknya . Sebagai bagian dari kedaulatan suatu negara, ruang udara mempunyai fungsi strategis sebagai aset nasional yang sangat berharga  termasuk didalamnya untuk kepentingan pertahanan dan keamanan.Hal itulah yang membuat  Pesawat-pesawat  F-5 Tiger TNI AU mengusir pesawat jet F-18 Hornet milik angkatan udara Australia yang dinilai telah memasuki wilayah udara Indonesia di atas pulau Roti tanpa izin. Tahun 2003, lima pesawat F-18 Hornet AS nyaris menembak pesawat F-16 TNI AU yang sedang melakukan identifikasi atas penerbangan yang di lakukan di barat laut Pulau Bawean, ketika pesawat F-16 TNI AU mengontak pesawat F-18, kedua peswat tersebut tidak ada jawaban, mereka mengunci (lock on) dan bersiap untuk menembak pesawat F-16 TNI AU.

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Hukum udara dan antariksa merupakan salah satu cabang hukum internasional yang relatif baru karena mulai berkembang pada permulaan abad ke-20 setelah munculnya pesawat udara.Oleh karena itu,muncul berbagai pendapat dalam forum internasional apakah ruang udara mempunyai status yang analog dengan laut sehingga kedaulatan teritorial negara atas ruang udara di atasnya dengan ketinggian tertentu dan dalam perkembangannya kedaulatan negara atas laut wilayah dilanjutkan dengan rezim kebebasan di laut lepas.

3.2 Saran
Dengan kemajuan antariksa saat ini,diharapkan Perserikatan Bangsa-Bangsa terus melakukan upaya-upaya untuk merumuskan kesepakatan-kesepakatan baru atas masalah yang mendesak seperti komersialisasi antariksa hingga turisme luar angkasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar