UJIAN
TENGAH SEMESTER GENAP T.A 2019/2020
PERBANDINGAN
HUKUM PIDANA
Dosen
Pengampu: Bapak Dr.Edi Yunara,SH,M.Hum
Nama : Andre
NIM: 170200180
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
1.
a.Jelaskan dimana letak perbedaan antara Perbandingan Hukum sebagai suatu
Metoda dan sebagai bagian dari ilmu hukum.
Ada
perbedaan pandangan tentang perbandingan hukum, yaitu yang berpendapat bahwa
perbandingan hukum merupakan metode dan yang lain berpendapat perbandingan
hukum sebagai disiplin atau cabang ilmu hukum. Berikut adalah ketak perbedaan
antara keduanya:
Perbandingan
Hukum sebagai Metode
· Romli
Atmasasmita, pengertian perbandingan hukum meliputi hukum asing yang
diperbandingkan, persamaan dan perbedaan antara sistem-sistem hukum yang
diperbandingkan tersebut (hal.6). Perbandingan hukum adalah ilmu pengetahuan
yang mempelajari secara sistematis hukum (pidana) dari dua atau lebih sistem
hukum dengan mempergunakan metode perbandingan (hal. 12).
· Rudolf
B. Schlesinger, perbandingan hukum merupakan metode penyelidikan dengan tujuan
untuk memperoleh pengetahuan yang lebih dalam tentang bahan hukum tertentu.
Perbandingan hukum bukanlah perangkat peraturan dan asas-asas hukum dan bukan
suatu cabang hukum, melainkan merupakan teknik untuk menghadapi unsur hukum
asing dari suatu masalah hukum. Rudolf B. Schlesinger mengemukakan pendapatnya:
perbandingan sistem-sistem dari keluarga hukum common law merupakan subjek
pembahasan perbandingan hukum.
· George
Winterton, perbandingan hukum adalah suatu metode yang membandingkan sistem-sistem
hukum dan perbandingan tersebut menghasilkan data sistem hukum yang
dibandingkan.
· Gutteridge,
perbandingan hukum tidak lain merupakan suatu metode yaitu perbandingan yang
dapat digunakan dalam semua cabang hukum. Gutteridge membedakan antara comparative
law dan foreign law (hukum asing). Istilah pertama untuk membandingkan dua
sistem hukum atau lebih, istilah kedua adalah mempelajari hukum asing tanpa
secara nyata membandingkan dengan sistem hukum lain. Gutteridge menegaskan
bahwa perbandingan sistem-sistem hukum dari keluarga common law merupakan
subjek pembahasan perbandingan hukum.
· Van
Apeldoorn, memakai tiga cara dalam menerangkan hubungan sebab akibat hukum
dengan gejala-gejala lainnya yaitu cara sosiologis, cara sejarah dan cara perbandingan
hukum.
· Zweigert
dan Kozt, perbandingan hukum adalah perbandingan dari jiwa dan gaya dari sistem
hukum yang berbeda-beda atau lembaga-lembaga hukum yang berbeda-beda atau
penyelesaian masalah hukum yang dapat diperbandingkan dalam sistem hukum yang
berbbeda-beda. Zweigert dan Kozt mengajukan pendekatan yang lain terhadap
perbandingan hukum dan muncul dengan gaya functional legal comparison dengan
menggunakan metoe yang bersifat:
a)
Kritis, karena para ahli perbandingan hukum tidak lagi mementingkan persamaan
dan perbedaan dari berbagai sistem hukum semata-mata sebagai suatu fakta
melainkan yang dipentingkan adalah “keajegan, dapat dipraktikkan, keadilan dan
jalan keluar bagi suatu masalah hukum tertentu.
b)
RealistIk, karena perbandingan hukum bukan saja meneliti perundang-undangan,
putusan hakim atau doktrin sematamata melainkan semua motivasi yang
sesungguhnya menentukan atau memengaruhi dunia seperti etika, psikologi,
ekonomi dan kebijakan perundang-undangan.
c)
Tidak bersifat dogmatis, karena perbandingan hukum tidak hendak terkekang dalam
kekuasaan dogma-dogma
Perbandingan
Hukum sebagai Disiplin Ilmu Hukum
· Lemaire,
perbandingan hukum sebagai cabang ilmu pengetahuan (yang juga mempergunakan
metode perbandingan) mempunyai lingkup (isi dari) kaidah-kaidah hukum,
persamaan dan perbedaannya, sebab-sebabnya dan dasar kemasyarakatan.
· Ole
Lando, perbandingan hukum mencakup analisis dan perbandingan dari sistem-sistem
hukum.
· Hessel
Yutema, perbandingan hukum hanya nama lain untuk ilmu hukum dan merupakan
bagian yang menyatu dari suatu ilmu sosial, atau seperti cabang ilmu hukum
lainnya perbandingan hukum memiliki wawasan yang universal; sekalipun caranya
berlainan, masalah keadilan pada dasarnya sama menurut waktu dant empat di
seluruh dunia.
· Orucu,
perbandingan hukum merupakan suatu disiplin ilmu hukum yang bertujuan
mengemukakan persamaan dan perbedaan serta menemukan pula hubungan erat antara
pelbagai system-sistem hukum; melihat perbandingan lembaga-lembaga hukum dan
konsep-konsep serta mencoba menentukan suatu penyelesaian atas masalah-masalah
tertentu dalam sistem-sistem hukum dimaksud dengan tujuan seperti pembaharuan
hukum, unifikasi hukum dan lain-lain.
· Soedarto,
perbandingan hukum merupakan cabang dari ilmu hukum dan karena itu lebih tepat
menggunakan istilah perbandingan hukum dari istilah hukum perbandingan
b.
Sebutkan beberapa dasar pertimbangan mengapa kita mengambil sistem hukum Common
Law yg berlaku di Inggris dalam mempelajari perbandingan Hukum Pidana.
Menurut
Bapak Dr.Edy Yunara.SH.M.Hum beberapa tujuan dari mengambil sistem hukum Common
Law yang berlaku di Inggris dalam mempelajari perbandingan Hukum Pidana adalah
sebagai berikut:
1. Pemahaman
akan hukum yang lebih baik;
Artinya
mahasiswa bertambah cakrawala ilmu hukumnya tidak hanya sekedar mempelajari
hukum Indonesia semata yang bersistem Civil law namun juga mengenal lebih dalam
tentang system hukum lain seperti Common Law
2. Membantu
dalam hal pembuatan peraturan perundang-undangan dan badan reformasi hukum
lainnya;
Hal
ini dimungkinkan dengan adanya transplantasi hukum yang kian berkembang di
Indonesia seperti Omnibus Law yang saat ini sedang disusun oleh DPR
3. Membantu
pembentukan hukum dalam sistem peradilan;
Dalam
system peradilan sebagai ius constituendum dapat ditarik asas-asas hukum
Inggris yang dapat dijadikan pembentukan hukum kedepannya.
4.
Membantu para pengacara untuk berpraktik;
Masyarakat
Ekonomi Asean (MEA) memungkinkan para advokat di Indonesia berpraktek di negara
Asia Tenggara lainnya seperti Singapura,Malaysia,Brunei Darussalam yang memakai
system Common Law dan hanya Indonesia sendiri yang menggunakan Civil Law
di ASEAN sehingga mempelajari common law dalam perbandingan hukum pidana sangat
penting.
4. berguna
dalam hal hubungan perdagangan dan ekonomi dengan negara lain.
Saat
ini,hampir seluruh negara di Dunia menggunakan Common Law System.Hal itu
dikarenakan hampir di seluruh dunia negara yang merdeka dulunya pernah dijajah
oleh Inggris dan hanya sedikit negara yang dijajah oleh negara-negara Eropa
Kontinental seperti Belanda.Oleh karena negara yang dijajah oleh Persemakmuran
Kerajaan Inggris setelah merdeka mewarisi system hukum Common Law maka Indonesia
yang menggunakan Civil Law System juga harus mempelajari Common Law khususnya
Hukum Inggris karena selain hubungan perdagangan dan ekonomi dengan negara lain
tapi juga ada beberapa karakteristik yang sama antara hukum Nasional Indonesia
khususnya Hukum Adat dengan Hukum Inggris yaitu adanya norma kebiasaan yang
ditarik menjadi norma hukum,di inggris disebut Presedent,di Indonesia
disebut hukum adat.
2.
a. Menurut Rene David ada 5 Keluarga Hukum. Sebutkan beberapa manfaat dan
kegunaan dari mempelajari "Perbandingan Hukum" khususnya di Indonesia.
Rene
David Membagi keluarga hukum menjadi 5:
1)
Western System;
2.
Socialist Family
3)
Islamic Law;
4)
Hindu Law;
5)
Chinese Law (Law of Far East)
Namun
kini setelah perkembangan zaman Rene David membagi menjadi 4 keluarga hukum
yaitu:
1) The Romano-Germanic Law
1) The Romano-Germanic Law
2)
The Common Law Family
3)
The family of Socialist Law
4)Other
conceptions of law and the social order
Ada 4 (empat) tujuan kita mempelajari perbandingan hukum
pidana khususnya di Indonesia :
·
Tujuan Praktis : Merupakan alat pertolongan untuk tertib masyarakat dan pembaharuan
hukum nasional serta memberikan pengetahuan mengenai berbagai peraturan dan
pikiran hukum kepada pembentuk undang-undang dan hakim ;
·
Tujuan Sosiologis : Mengobservasi suatu ilmu hukum yang secara umum
menyelidiki hukum dalam arti ilmu pengetahuan dengan maksud membangun azas-azas
umum sehubungan dengan peranan hukum dalam masyarakat ;
·
Tujuan Politis : Mempelajari perbandingan hukum untuk mempertahankan
“Status Quo” dimana tidak ada maksud sama sekali mengadakan perubahan mendasar
di negara yang berkembang ;
·
Tujuan Pedagogis : Untuk memperluas wawasan mahasiswa sehingga mereka dalat
berpikir inter dan multi disiplin serta mempertajam penalaran di dalam
mempelajari hukum asing.
b.
Sebutkan klasifikasi tentang Keluarga Hukum yg harus dipenuhi masing-masing
menurut 1. Marc Ancel.
2.
Adolf F. Schmitzer.
Dan
jelaskan juga perbedaan yg pokok antara kedua klasifikasi tsb
Marc
Ancel membedakan sistem hukum dunia menjadi 5 jenis hukum yang dikelompokkan
dalam satu keluarga berdasarkan asal-usulnya, sejarah perkembangannya serta
metode penerapannya (their origin, their historis development and their methods
of application).
Stelsel
Hukum Civil Law
Pada
mulanya negara Eropa tergabung pada sistem Eropa Kontinental. Ciri khusus dari
stelsel hukum Eropa Kontinental atau civil law yakni:
1.
Hukum merupakan produk legislatif.
2.
Hukum adalah peraturan perundang-undangan.
3.
Sangat dipengaruhi oleh persepsi hukum romawi.
4.
Semua sistem hukum Eropa Kontinental atau civil law dikodifikasi dalam suatu peraturan
perundang-undangan.
5.
Keputusan pengadilan dalam sistem hukum kontinental atau civil law bukan sumber
hukum yang pertama tetapi hanya keterangan mengenai hukum.
6.
Dalam commom law memberi tempat yang sangat penting pada pengadilan sedangkan
pada sistem Eropa Kontinental atau civil law tidak demikian, hukum tidak hanya
penuntutan tetapi sebagaian besar mengenai fungsi umumnya.
7.
Dualisme hukum kebiasaan dan kepatutan sebagaimana dalam commom law tidak
dikenal dalam sistem hukum Eropa Kontinental atau civil law.
8.
Semua sistem civil law berbeda dalam substansi dan prosedur antara hukum
perdata dengan hukum administrasi.
Stelsel
Hukum Common Law
Sistem
hukum commom law mulanya berasal dari kebiasaan di Inggris kemudian berkembang
sejak abad XI. Sistem hukum commom law dikenal juga dengan istilah Anglo Saxon
atau Anglo Amerika. Pada dasarnya sistem hukum ini menekankan pada unwritten
law. Sistem hukum commom law mempunyai ciri-ciri:
1.
Sebagian hukum commom law adalah hasil dari pertumbuhan historis yang
terlaksana secara bertahap sehingga masih mempunyai dan menunjukkan unsur-unsur
feodalnya.
2.
Putusan pengadilan dalam sistem hukum commom law adalah salah satu sumber hukum
yang sangat penting.
3.
Dualisme hukum kebiasaan dalam kepatutan dengan sistem hukum commom law yang
diakui dan ini tidak dikenal dalam sistem civil law.
4.
Semua hukum civil law berbeda dalam substansi dan prosedur dalam hukum perdata
dan hukum administratif, hukum commom law menolak pembagian dalam dua bagian
ini dan berpegang setidak-tidaknya dalam teori, pada prinsipnya berlaku asas
perlakuan yang sama di muka hukum.
5.
Sistem hukum commom law memberi tempat yang sangat penting dan istimewa kepada
pengadilan.
6.
Semua sistem commom law masih menundukkan diri berdasarkan kebiasaan sedangkan
dalam sistem hukum civil law semua hukum dikodifikasikan, ada dalam peraturan
perundang-undangan dan merupakan produk hukum legislatif.
Dalam
sistem hukum commom law hakim di pengadilan dapat membuat hukum sendiri dengan
melihat kasus-kasus dan fakta-fakta. Hal ini sering diistilahkan dengan judge
made law atau case law. Pada hakikatnya hakim berfungsi sebagai legislatif.
Meskipun dalam sistem hukum commom law hakim mengikuti the doctrine of
precedent (stare dececis) tetapi dalam penggunaan doktrin tersebut hakim harus
mempergunakan ukuran:
1.
Setiap perkara harus bersifat einmalig artinya hanya satu kali saja terjadi dan
tidak mungkin persis sama dengan perkara-perkara sebelumnya. Dalam hal ini
hakim hanya diwajibkan mengikuti the doctrine of precedent bila ada hal-hal
yang berhubungan langsung dengan produk perkara (racio decidendi) sedangkan
hal-hal yang bersifat tambahan atau ilustrasi (obiter dicta) dapat
mengesampingkannya atau menurut keyakinannya.
2.
Harus reasonabless yakni harus dilihat dalam rangka sistem hukum yang
bersangkutan dalam rangka kemungkinan atau keadilan. Jadi putusan yang
terdahulu kalau tidak reasonabless tidak perlu diikuti.
Sistem
juri merupakan ciri khas dari commom law yaitu orang-orang sipil yang
mendapatkan tugas dari Negara untuk berperan sebagai juri dalam sidang perkara.
Juri ditunjuk oleh Negara secara acak dan seharusnya adalah orang-orang yang
kedudukannya sangat netral dengan asumsi juri adalah orang awam yang tidak
mengetahui sama sekali latar belakang perkara yang disidangkan. Kedua pihak
dalam perkara kemudian diberi kesempatan untuk mewawancara dan menentukan juri
pilihannya. Seseorang tidak boleh menolak untuk menjadi juri kecuali untuk
alasan-alasan tertentu seperti adanya conflict interest atau mengenal terdakwa
baik secara langsung maupun tidak langsung.
Dalam
keluarga sistem common law, keaktifan dituntut datang dari
para
hakim. Undang-undang bukanlah sesuatu yang dapat diandalkan oleh mereka dalam
menghadapi situasi terberi (given situation) di pengadilan. Dalam pencarian
sumber hukum, perhatian mereka pertama-tama tidak tertuju kepada undang-undang,
tetapi lebih kepada konstelasi hubungan para pihak yang bersengketa. Sekalipun
ada undang-undang yang dapat dijadikan sumber acuan, hakim tetap diberi kesempatan
untuk menemukan hukum lain di luar undang-undang, dengan bertitik tolak dari
pandangan subjektifnya atas kasus yang dihadapi.
Pada
kasus-kasus demikian, hakim dituntut untuk menyelaraskan makna kemanfaatan itu
tadi dengan kepentingan masyarakat luas, sehingga tercapai pula dimensi
keadilan (Gerechtigkeit) dalamputusannya. Untuk melembagakan semangat
berkeadilan inilah, antara lain lalu dihadirkan dewan juri di pengadilan
sebagai pranata khas common law. Demikian juga dengan eksistensi pranata equity
yang lahir sebagai alternatif dari pengadilan common law. Selanjutnya, agar
nilai kepastian hukum juga tercakup dalam putusan hakim, maka asas preseden
yang mengikat (the binding force of precedent) diterapkan. Tatkala hakim
menjatuhkan putusan, ia dipastikan sudah memperhatikan dengan saksama
putusan-putusan sebelumnya yang mengadili kasus serupa. Jika tidak ada alasan
yang sangat prinsipil, hakim tersebut tidak dapat mengelak kecuali ia juga
menjatuhkan putusan yang secara substantif sama dengan putusan sebelumnya.
Sistem
Hukum Timur Tengah
Sistem
hukum timur tengah dianut oleh Irak, Yordania, Saudi arabia, Libanon, Siria,
Maroko, Sudan. Sistem hukum timur tengah berasal dari agama Islam sehingga
disebut dengan stelsel hukum Islam. Stelsel hukum Islam bersumber kepada:
1.
Qur’an yaitu kitab suci kaum muslimin yang merupakan wahyu Allah yang
diturunkan melalui Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW
2.
Hadis yakni ucapan, pesan, perbuatan serta sikap Nabi Muhhamad SAW yang
kemudian dijadikan pedoman oleh para pengikutnya.
3.
Ijma yaitu kesepakatan para ulama mengenai suatu hukum terhadap sesuatu yang
belum diatur pada Al-Qur’an dan al-Hadis Rasullah SAW.
4.
Ijtihad para mujtadid terhadap suatu hukum terhadap suatu masalah hukum yang
ada hukumnya.
5.
Hadis Riwayat Abu Daud.
Sistem
hukum Islam mempunyai ciri khas yang berbeda dengan sistem hukum yang lain
yakni:
1.
Merupakan ketentuan yang tidak berubah yakni takanul yaitu sempurna, bulat dan
tuntas.
2.
Menempuh jalan tengah, yakni keseimbangan antara kejiwaan dan kebendaan.
3.
Kemampuan yang bergerak dan berkembang, mempunyai daya hidup, dapat membentuk
diri sesuai dengan perkembangan dan kemajuan.
Salah
satu sistem hukum ini dapat dilihat pada tertib Syari'at, Al Quran Surat Al
Ahzab ayat 36 mengajarkan bahwa sekiranya Allah dan RasulNya sudah memutuskan
suatu perkara, maka umat Islam tidak diperkenankan mengambil ketentuan lain.
Oleh sebab itu secara implisit dapat dipahami bahwa jika terdapat suatu perkara
yang Allah dan RasulNya belum menetapkan ketentuannya maka umat Islam dapat
menentukan sendiri ketetapannya itu. Pemahaman makna ini didukung oleh ayat
dalam Surat Al Maidah QS 5:101 yang menyatakan bahwa hal-hal yang tidak
dijelaskan ketentuannya sudah dimaafkan Allah. Di dalam sistem hukum Islam ada
lima hukm atau kaidah, yang dijadikan sebagai patokan untuk mengukur perbuatan
manusia baik beribadah maupun bermuamalah. Kelima jenis kaidah tersebut disebut
dengan al-ahkam al-khamsah atau penggolongan hukum yang lima yaitu (1) Wajib,
(2) Sunnah, (3) Mubah, (4) Makruh, dan (5) Haram.
Sistem
Hukum Timur Jauh
Sistem
hukum Timur jauh merupakan sistem hukum yang kompleks yang merupakan perpaduan
antara sistem civil law, common law, dan Hukum Islam sebagai basis fundamental
masyarakat. Sistem hukum timur jauh ini dianut oleh negara-negara seperti Cina
dan Jepang. Sistem hukum timur jauh yang merupakan kompilasi dari beberapa
sistem hukum yang ada di dunia ini ketika diimplementasikan dalam budaya hukum
masyarakat menunjukkan sifat yang tertutup dan terisolasi. Kompleksitas dari
sistem hukum ini menyebabkan sistem hukum ini terlalu berkembang jika
dibandingkan dengan sistem hukum anglosaxon dan eropa kontinental.
Stelsel
Hukum Sosialis
Sistem
hukum sosialis berasal dari hukum Uni Soviet yang dikembangkan sejak 1917,
dimana pada tahun ini terjadi Revolusi Oktober yang mengakhiri pemerintah
kerajaan Rusia. Hukum ini mengalami penyebaran melalui politik demokrasi rakyat
ke negara-negara di Eropa dan Asia. Pokok stelsel hukum sosialis adalah hukum
yang dijiwai ajaran unmarxis-Lenimisme yang dianut oleh para pakar hukum di Uni
Soviet serta ajaran materialisme dan teori evolusi dimana dikatakan bahwa
materi merupakan satu-satunya benda nyata di dunia ini.Sedangkan menurut Adolf F.Schnitzer bahwa perbandingan
hukum baru abad ke 19, berkembang sebagai cabang dari ilmu hukum ketika hukum
dikodifikasi dalam masing2 negara, yang ketika setiap negara mempelajari maka
menjadi hukum asing (foreign law)
3.
a. Mengapa di Inggris menganut "Precedent" ?
Menurut
Oxford Dictionary of Law (6th edition OUP Oxford, 2006),doctrine
of precedentdiartikan sebagai, “judgement or decision of a Court used as
an authority for reaching the same decision in subsequent cases.” Kemudian
menurut Black's Law Dictionary (5th edition 1979),doctrine of
precedentdiartikan sebagai, "rule of law established for the first
time by a court for a particular type of case and thereafter referred to in
deciding similar cases.”
Sejarah doctrine
of precedent pertama kali berkembang di Inggris abad pertengahan, pada
saat ketika hukum dibentuk dan hakim menginginkan konsistensi dan
standardisasi. Hakim abad pertengahan sering diangkat karena status sosial
mereka, bukan pemahaman mereka tentang hukum, sehingga banyak yang nyaris tidak
kompeten. Dalam perkembangan common law system dan doktrin stare
decisis mengharuskan para hakim ini untuk membuat keputusan yang lebih
rasional dan konsisten.
Hirarki
pengadilan sangat penting bagi doctrine of precedent untuk dapat
berfungsi secara efektif. Sebuah preseden yang ditetapkan dalam satu pengadilan
berlaku untuk semua pengadilan yang lebih rendah, tetapi hanya dalam hirarki
yang sama.Ketika sebuah kasus diajukan ke pengadilan, secara umum hakim akan
mengikuti dan melakukan pendekatan berikut ini:
(1) memastikan
fakta-fakta dengan mendengar dari semua pihak, saksi dan memeriksa bukti;
(2)
mengulas dan menerapkan undang-undang yang relevan dan menafsirkan
undang-undang (jika diperlukan);
(3)
menemukan putusan sebelumnya, dalam kasus serupa dan preseden yang relevan;
(4) memastikan
apakah preseden ini berlaku untuk kasus dan fakta-faktanya, kemudian menerapkan
preseden;
(5)Jika
tidak ada preseden yang berlaku untuk kasus tertentu, membuat putusan yang
menetapkan preseden baru.
Doctrine
of precedent mensyaratkan bahwa semua pengadilan
secara ketat terikat untuk mengikuti keputusan yang dibuat oleh pengadilan di
atasnya dalam hierarki. Namun, banyak yang
berpendapat bahwa hal itu dapat menghilangkan independensi hakim dan juga
membatasi kemampuan hakim untuk tetap mengikuti perkembangan masyarakat.
Oleh
karena itu, terdapat kelebihan dan kelemahan dalam penerapan doctrine of
precedent. Kelebihannya antara lain:
(1) Certainty (warga
negara akanmengetahui hukumnya dan bagaimana hal itu akan diterapkan dalam
kasus mereka);
(2)Consistency (bahwa
kasus-kasus serupa harus diputuskan dengan cara yang sama);
(3)Precision (prinsip
hukum ditetapkan dalam kasus hukum, sehingga menjadi sangat tepat dan dapat
diandalkan); dan
(4)time
saving(proses peradilan menjadi lebih cepat dan evisien).
Sedangkan
kelemahannya meliputi:
(1)rigid (Fakta
bahwa pengadilan yang lebih rendah dalam hirarki terikat pada pengadilan yang
lebih tinggi);
(2)complex (putusan
sangat panjang dan sulit untuk memisahkan antara pertimbangan hukum dan
pernyataan obiter);
(3) Illogical
decisions (sulit membedakan fakta-fakta);
(4) Slowness
of growth(terdapat ratusan kasus setiap tahun yang berarti ini sangat
menyulitkan doctrine of precedentyang relevan untuk diterapkan kepada kasus
yang tepat).
Terlepas
dari adanya kelebihan dan kelemahan dalam penerapan doctrine of
precedent, namun doktrin tersebut tetap menjadi fondasi yang sangat
diperlukan dalam pembangunan hukum yang teratur di Inggris
b.
Sebutkan unsur unsur umum dari suatu delik menurut sistem Common Law.
- Asas
Legalitas
Walaupun asas ini tidak pernah secara formal dirumuskan
dalam perundang-undangan, namun asas ini menjiwai putusan-putusan pengadilan.
Karena bersumber pada case law, pada mulanya pengadilan di Inggris merasa
dirinya berhak menciptakan delik. Namun dalam perkembangannya tahun 1972 House
of Lords menolak secara bulat adanya kekuasaan pengadilan untuk menciptakan
delik-delik baru atau memperluas delik yang ada. Jadi nampaknya ada pergeseran
dari asas legalitas dalam pengertian materiil ke asas legalitas dalam
pengertian formal. Artinya suatu perbuatan pada mulanya dapat ditetapkan
sebagai suatu delik oleh hakim berdasarkan common law (hukum kebiasaan yang
dikembangkan lewat putusan pengadilan), namun dalam perkembangannya hanya dapat
ditetapkan berdasarkan undang-undang (statute law).
- Asas Mens
Rea
Berdasarkan asas ini, ada dua syarat yang harus dipenuhi
untuk seseorang dapat dipidana, yaitu ada perbuatan lahiriah yang terlarang (artus
reus) dan ada sikap batin jahat/tercela(mens rea). Artus
reus tidak hanya menunjuk pada suatu perbuatan (an act) dalam
arti yang biasa, tetapi mengandung arti yang lebih luas, yaitu meliputi:
- Perbuatan
dari si terdakwa
- Hasil atau
akibat dari perbuatannya itu.
- Keadaan-keadaan
yang tercantum/ terkandung dalam perumusan tindak pidana, misalnya dalam
perumusan delik pencurian disebut barang milik orang lain.
- Strict
Liability
Walaupun pada prinsipnya berlaku asas Mens Rea,
namun di Inggris ada delik-delik yang tidak mensyaratkan adanya mens
rea. Si pembuat sudah dapat dipidana apabila ia telah melakukan perbuatan
sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang tanpa melihat bagaimana sikap
batinnya. Di sini berlaku apa yang disebut dengan Strict
Liability yang sering diartikan secara singkat pertanggungjawaban
tanpa kesalahan.
Menurut common law, Strict Liability berlaku
terhadap tiga macam delik, yaitu:
a. Public
nuisance (gangguan terhadap ketertiban umum, menghalangi jalan raya,
mengeluarkan bau tidak enak yang mengganggu lingkungan).
b. Criminal
libel (fitnah, pencemaran nama).
c. Contempt
of court (pelanggaran tata tertib pengadilan)
- Vicarious
Liability
Vicarious Liability sering diartikan dengan pertanggungjawaban menurut hukum
seseorang atas perbuatan salah yang dilakukan oleh orang lain. Secara singkat
sering diartikan pertanggungjawaban pengganti.
Dalam hal-hal bagaimanakah seseorang dapat
dipertanggungjawabkan atas perbuatan orang lain?
a. Ketentuan
umum yang berlaku menurut Common law ialah bahwa seseorang tidak dapat
dipertanggungjawabkan secara Vicarious untuk tindak pidana
yang dilakukan oleh pelayan/buruhnya. Jadi, seorang majikan tidak dapat
dipertanggungjawabkan atas perbuatan (tindak pidana) yang dilakukan oleh
pelayannya.
b. Menurut
Undang-undang (Statute law) Vicarious Liability dapat
terjadi dalam hal-hal sebagai berikut:
(1) Seseorang dapat
dipertanggungjawabkan atas perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh orang lain,
apabila ia telah mendelegaikan kewenangannya menurut undang-undang kepada orang
lain itu. Jadi, harus ada prinsip pendelegasian (the delegation principle).
(2) Seorang majikan dapat
dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang secara fisik/jasmaniah dilakukan oleh
buruh/pekerjanya apabila menurut hukum perbuatan buruhnya itu dipandang sebagai
perbuatan majikan. Jadi, apabila si pekerja sebagai pembuat materi/fisik dan
majikan sebagai pembuat intelektual.
- Pertanggungjawaban
Korporasi
Pertanggungjawaban pidana yang disebut Vicarious
Liability dapat dihubungkan dengan pertanggungjawaban dari korporasi.
Korporasi berbuat dengan perantaraan orang. Apabila orang ini melanggar suatu
ketentuan undang-undang, maka menjadi pertanyaan apakah korporasi yang
dipertanggungjawabkan. Atas pelanggaran terhadap suatu kewajiban hukum
oleh occupier dari pabrik dan atau perbuatan dari pelayan,
korporasi dapat dipertanggungjawabkan. Dalam hal ini korporasi hanya
bertanggungjawab atas sejumlah kecil delik, pada dasarnya delik undang-undang
yang cukup dengan adanya strict liability.
- Penyertaan (Participation in a crime)
Ada empat kategori participation, yaitu:
a. A principal in the first
degree (pelaku tingkat pertama; pelaku utama atau pembuat materiil/
actual offender).
b. A principal in the second
degree (pelaku tingkat kedua; yaitu pembantu/ aider abettor).
c. An accessory before the
fact (pembantu sebelum tindak pidana).
d. An accessory after the fact (pembantu
setelah tindak pidana).
- Inchoate
offences (tindak
pidana yang tidak lengkap atau baru taraf permulaan)
Terjadi suatu tindak pidana sering melibatkan atau
didahului oleh berbagai aktivitas perbuatan yang sangat erat hubungannya dengan
tindak pidana pokok. Berbagai perbuatan yang mendahului terjadinya tindak
pidana pokok yang sebenarnya beru merupakan taraf permulaan, dapat dilihat
sebagai tindak pidana yang berdiri sendiri (independent offence) dan
oleh karena itu dapat disebut sebagai preliminary crimes (kejahatan
pada taraf persiapan/permulaan/pendahuluan). Preliminary crimes inilah yang
dalam kepustakaan Inggris dikenal dengan istilah inchoate
offences, yang meliputi:
a. Incitement (Penganjuran).
b. Conspiracy (Permufakatan jahat).
c. Attempt (Percobaan).
- Alasan
penghapusan pidana (exemptions from liability)
Seseorang yang dituduh melakukan tindak pidana, dapat
mengajukan alasan pembelaan atau alasan penghapusan pidana.
Seperti: mistake (kesesatan), compulsion (paksaan), intoxication (keracunan/mabuk
alkohol), automatism (gerak refleks), insanity (kegilaan/ketidakwarasan), infancy (anak
di bawah umur), dan consent of the victim (persetujuan korban)
c.
Apakah unsur-unsur tsb harus selalu terpenuhi pada setiap delik. Jelaskan.
Hanya
pada delik tertentu yang dirumuskan dalam Undang-Undang yang harus terpenuhi
unsurnya karena asas legalitas ini tidak
pernah secara formal dirumuskan dalam perundang-undangan, namun asas ini
menjiwai putusan-putusan pengadilan. Karena bersumber pada case law,
pada mulanya pengadilan di Inggris merasa dirinya berhak menciptakan delik.
Namun dalam perkembangannya tahun 1972 House of Lords menolak secara bulat
adanya kekuasaan pengadilan untuk menciptakan delik-delik baru atau memperluas
delik yang ada. Jadi nampaknya ada pergeseran dari asas legalitas dalam
pengertian materiil ke asas legalitas dalam pengertian formal. Artinya suatu
perbuatan pada mulanya dapat ditetapkan sebagai suatu delik oleh hakim
berdasarkan common law (hukum kebiasaan yang dikembangkan lewat putusan
pengadilan), namun dalam perkembangannya hanya dapat ditetapkan berdasarkan
undang-undang (statute law) seperti:
a. UU
mengenai tindak pidana terhadap orang (Offences against the Person Act)
tahun 1861.
b. UU
Sumpah Palsu (Perjury Act) tahun 1911.
c. UU
tindak Pidana Seksual (Sexual Offecens Act) 1956.
d. UU
mengenai pembunuhan (Homicide Act) 1957.
e. UU
mengenai pembunuhan anak (Infanticide Act) 1922, yang telah diubah
dengan UU tahun 1938.
f. UU
mengenai pembunuhan berencana atau UU mengenai penghapusan pidana mati (Murder/Abolition
of death Penalty Act) tahun 1965.
g. UU
mengenai abortus (Abortion Act) tahun 1967.
h. UU
mengenai pencurian (Theft Act) tahun 1968.
i. UU
mengenai obat-obatan berbahaya (The Dangerous Drugs Act) tahun 1965.
j. UU
mengenai pembajakan pesawat udara (Hijacking Act) 1971.
4.
a. Dalam ciri2 karakreristik Hukum Inggris diantaranya ada dikenal Azas Strict
Liability dan Azas Vicariuos Liability.
a.
Jelaskan apa arti dan msksud dari kedua azas tsb.
Strict Liability
Walaupun pada prinsipnya berlaku asas Mens Rea,
namun di Inggris ada delik-delik yang tidak mensyaratkan adanya mens
rea. Si pembuat sudah dapat dipidana apabila ia telah melakukan perbuatan
sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang tanpa melihat bagaimana sikap
batinnya. Di sini berlaku apa yang disebut dengan Strict
Liability yang sering diartikan secara singkat pertanggungjawaban
tanpa kesalahan.
Menurut common law, Strict Liability berlaku
terhadap tiga macam delik, yaitu:
a. Public
nuisance (gangguan terhadap ketertiban umum, menghalangi jalan raya,
mengeluarkan bau tidak enak yang mengganggu lingkungan).
b. Criminal
libel (fitnah, pencemaran nama).
c. Contempt
of court (pelanggaran tata tertib pengadilan)
- Vicarious
Liability
Vicarious Liability sering diartikan dengan pertanggungjawaban menurut hukum
seseorang atas perbuatan salah yang dilakukan oleh orang lain. Secara singkat
sering diartikan pertanggungjawaban pengganti.
Dalam hal-hal bagaimanakah seseorang dapat
dipertanggungjawabkan atas perbuatan orang lain?
a. Ketentuan
umum yang berlaku menurut Common law ialah bahwa seseorang tidak dapat
dipertanggungjawabkan secara Vicarious untuk tindak pidana
yang dilakukan oleh pelayan/buruhnya. Jadi, seorang majikan tidak dapat
dipertanggungjawabkan atas perbuatan (tindak pidana) yang dilakukan oleh
pelayannya.
b. Menurut
Undang-undang (Statute law) Vicarious Liability dapat
terjadi dalam hal-hal sebagai berikut:[7]
(1) Seseorang dapat
dipertanggungjawabkan atas perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh orang lain,
apabila ia telah mendelegaikan kewenangannya menurut undang-undang kepada orang
lain itu. Jadi, harus ada prinsip pendelegasian (the delegation principle).
(2) Seorang majikan dapat
dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang secara fisik/jasmaniah dilakukan oleh
buruh/pekerjanya apabila menurut hukum perbuatan buruhnya itu dipandang sebagai
perbuatan majikan. Jadi, apabila si pekerja sebagai pembuat materi/fisik dan
majikan sebagai pembuat intelektual.
b.
Jelaskan pula apa perbedaan dan persamaan dari kedua azas tsb.
Perbedaanya
adalah pertanggungjawaban pidana Strict Liability terletak pada subjek hukum
yang melakukan delik sedangkan Vicarious Liability yang bertanggung jawab
adalah majikan/korporasi Sedangkan
persamaannya adalah sama-sama dapat dipertanggungjawaban secara mutlak walaupun
tanpa ada unsur mens rea
c.
Apakah di Indonesia juga menganut azas tsb dalam sistem hukum pidananya. Kalau
ada jelaskan dalam.peraturan apa saja serta dasar hukumnya.
Iya,dianut
juga di Indonesia
Konsep strict
liability pertama kali diintrodusir dalam hukum Indonesia antara
lain melalui UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup. Yang selanjutnya diubah dengan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup (“UUPPLH”).
Dalam Pasal 88 UU PPLH ini disebutkan secara tegas mengenai
konsep strict liability:
“Setiap
orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3 (Bahan
Berbahaya dan Beracun, editor), menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3,
dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung
jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur
kesalahan.”
Penjelasan
pasal ini menjelaskan apa yang dimaksud dengan “bertanggung jawab mutlak”
atau strict liability yaitu berarti unsur kesalahan tidak
perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran ganti rugi.
Ketentuan dalam pasal ini dijelaskan merupakan lex specialis dalam
gugatan tentang perbuatan melanggar hukum pada umumnya sebagaimana diatur
dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Namun,
dalam kenyataannya, penerapan konsep ini di Indonesia memang tidak mudah.
Konsep strict
liability ini juga diterapkan untuk kasus perlindungan konsumen, sebagaimana
diatur secara implisit dalam Pasal 19 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Namun, konsep ini juga belum pernah diterapkan oleh pengadilan Indonesia
terkait dengan kasus perlindungan konsumen. Hal ini disampaikan oleh Yusuf
Shofie, pengajar tetap dari Universitas Yarsi yang juga memiliki pengalaman
bekerja di Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (“YLKI”)
Di
Indonesia, vicarious liability lebih dikenal sebagai pertanggungjawaban
korporasi, namun dalam perjalanan Konsep KUHP, vicarious liability telah
diakomodir dan dirumuskan di dalam Pasal 38 ayat (2) Konsep KUHP 2008, adapun
bunyi pasal tersebut adalah:
“Dalam
hal ditentukan oleh Undang-Undang, setiap orang dapat dipertanggungjawabkan
atas tindak pidana yang dilakukan oleh orang lain”.
5.
Bagaimana bentuk pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Inggris. Dan bandingkan
pula dengan bentuk pertanggungjawaban pidana korporasi di Indonesia. Jelaskan
dimana hal tersebut diatur ?
Di Inggris, sejak tahun 1944 telah mantap pendapat
bahwa suatu korporasi dapat bertanggungjawab secara pidana, baik sebagai
pembuat atau peserta untuk tiap delik, meskipun disyaratkan adanya mens rea dengan menggunakan asas
identifikasi. Dengan demikian, berbeda dengan di Indonesia, pertanggungjawaban
korporasi tidak terbatas hanya pada delik-delik tertentu, meskipun tidak semua
delik dapat dilakukan oleh korporasi. Inggris termasuk negara yang
banyak diikuti oleh negara-negara lain dalam hal sistem
pertanggungjawaban pidana korporasi. Kasus hukum terkenal yang terjadi di
Inggris berkaitan dengan penerapan sistem pertanggungjawaban pidana korporasi
adalah Tesco Supermarket Ltd. vs Nattrass, [1972].Menurut hukum pidana
Inggris, terlepas dari tanggungjawab mereka sebagai pelaku atau sebagai peserta
dalam tindak pidana, sebuah korporasi mungkin diharuskan bertanggungjawab
secara pidana.
Berdasarkan ketentuan
tersebut maka dapat disimpulkan bahwa jika suatu pelanggaran berdasarkan
undang-undang telah dilakukan oleh sebuah korporasi, terbukti telah dilakukan
oleh persekutuan atau dengan sengaja dibiarkan terjadi oleh perusahaan atau
dapat dikaitkan dengan kelalaian di pihak direktur, manajer, sekretaris atau
pejabat lain pada tingkat yang sama dalam korporasi itu, korporasi harus
dinyatakan bersalah melakukan pelanggaran itu. Meskipun hal ini umumnya memperluas tanggungjawab yang diberlakukan oleh
undang-undang pidana terhadap pelaku pelanggaran atau pihak lain yang turut
serta, hal ini benar-benar dapat menjangkau para pelaku tindak pidana dan
mungkin juga membuat tugas penuntutan perkara pidananya menjadi lebih mudah di
mana tanggungjawab pembuktian berdasarkan prinsip yang lazim digunakan akan
sulit diterapkan. Sikap menyetujui dan membiarkan dilakukannya pelanggaran itu
pada umumnya tumpang-tindih dengan tindakan yang berupa membantu dalam
melakukan pelanggaran dan
menganjurkannya, akan tetapi
semua itu mungkin lebih mudah dibuktikan dengan menggunakan Betting Gaming
and Lotteries Act 1963 Section 53 dan The Trades Description Act 1968.
Adapun tahap-tahap perkembangan korporasi sebagai
subjek hukum pidana di Indonesia ternyata mengikuti perkembangan yang terjadi
di Belanda. Pada tahap pertama dalam W.v.S. Belanda, Pasal 51 sebelum diadakan
perubahan ketentuan tersebut rumusannya sama dengan ketentuan Pasal 59 KHUP.
Hal ini dipengaruhi oleh asas universitas delingquere nonpotest, yaitu
sifat delik yang dilakukan korporasi dibatasi pada perorangan.
KUHP yang digunakan Indonesia hingga saat ini belum
mengenal konsep pertanggungjawaban korporasi. Pelaku, pertama-tama ialah ia
yang melaksanakan bagian-bagian dari delik, yang memenuhi semua syarat yang
dirumuskan dalam rumusan delik. Pribadi kodrati sebagai subjek hukum pidana
juga terlihat dari rumusan pasal yang selau menggunakan redaksi “barangsiapa”, “seorang”, atau “orang yang melakukan kejahatan”. Meskipun,
di dalam KUHP Indonesia korporasi bukanlah suatu subjek hukum pidana, namun
dalam beberapa undang-undang, korporasi telah dijadikan subjek hukum pidana.
Dalam perkembangannya, korporasi telah menjadi
subyek hukum pidana dalam berbagai peraturan perundang-undangan, di antaranya
yaitu:
a)
Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup;
b)
Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31
Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
c)
Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen; dan
d)
Rancangan Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP)
DAFTAR
PUSTAKA
Buku:
Barda Nawawi Arief. 2012. Perbandingan Hukum Pidana. Jakarta: PT Raja Grafindo.
Collin P.H.
2000/2001. Dictionary of Law. London:
Peter Collin Publishing.
Dwidja Prayitno. 1991. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Hukum Pidana cet. I.
Bandung: Sekolah Tinggi Hukum.
Kristian. 2016. Sistem
Pertanggungjawaban Pidana Korporasi (Tujuan Teoritis dan Perbandingan Hukum Di
Berbagai Negara). Bandung: PT. Refika Aditama.
Mahmud Mulyadi dan Feri Antoni Surbakti. 2010. Politik Hukum Pidana terhadap
Kejahatan Korporasi. Medan: PT. Softmedia.
Mahrus Ali. 2013. Asas-Asas Hukum Pidana
Korporasi. Jakarta: Rajawali Pers.
Michael John Allen. 1999. Textbook on Criminal Law. London: Blackstone Press.
Muladi dan Dwidja Priyatno. 2010. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi. Jakarta: Kencana.
N.H.T Siahaan. 2008. Hukum Lingkungan. Edisi
Revisi Cetakan Kedua. Jakarta: Pancuran
Alam.
Ronny Hanitijo Soemitro. 1985. Metodologi Penelitian Hukum dan Yurimetri. Jakarta: Ghalia
Indonesia.
Soerjono
Soekanto. 1981. Pengantar Penelitian
Hukum. Jakarta: UI Pres.
Sutan Remy Sjahdeini. 2006. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi. Jakarta: Grafiti Pers.
Jurnal:
ADB/OECD
Anti Corruption Initiative for Asian and the Pacific.
Edward B. Diskant. 2008. Comparative Corporate Criminal Liability:Exploring the Uniquely
American Doctrine Through Comparative Criminal Procedure. The Yale Law
Journal. Vol. 118:126.
Jennifer Arlen. 2011. Corporate Criminal Liability : Theory and Evidence, New York University Law and Economic Working
Papers. Paper 273.
Jimmy Tawalujan. 2012. Pertanggungjawaban Korporasi
Terhadap Korban Kejahatan. Lex Crimen Vol.I/No.3/Jul-Sep/2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar