Minggu, 12 April 2020

SOAL UJIAN PERBANDINGAN HUKUM PIDANA Bapak Dr.Edi Yunara,SH,M.Hum


UJIAN TENGAH SEMESTER GENAP T.A 2019/2020
PERBANDINGAN HUKUM PIDANA
Dosen Pengampu: Bapak Dr.Edi Yunara,SH,M.Hum
Nama : Andre
NIM: 170200180
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
1. a.Jelaskan dimana letak perbedaan antara Perbandingan Hukum sebagai suatu Metoda dan sebagai bagian dari ilmu hukum.
Ada perbedaan pandangan tentang perbandingan hukum, yaitu yang berpendapat bahwa perbandingan hukum merupakan metode dan yang lain berpendapat perbandingan hukum sebagai disiplin atau cabang ilmu hukum. Berikut adalah ketak perbedaan antara keduanya:
Perbandingan Hukum sebagai Metode
·       Romli Atmasasmita, pengertian perbandingan hukum meliputi hukum asing yang diperbandingkan, persamaan dan perbedaan antara sistem-sistem hukum yang diperbandingkan tersebut (hal.6). Perbandingan hukum adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari secara sistematis hukum (pidana) dari dua atau lebih sistem hukum dengan mempergunakan metode perbandingan (hal. 12).
·       Rudolf B. Schlesinger, perbandingan hukum merupakan metode penyelidikan dengan tujuan untuk memperoleh pengetahuan yang lebih dalam tentang bahan hukum tertentu. Perbandingan hukum bukanlah perangkat peraturan dan asas-asas hukum dan bukan suatu cabang hukum, melainkan merupakan teknik untuk menghadapi unsur hukum asing dari suatu masalah hukum. Rudolf B. Schlesinger mengemukakan pendapatnya: perbandingan sistem-sistem dari keluarga hukum common law merupakan subjek pembahasan perbandingan hukum.
·       George Winterton, perbandingan hukum adalah suatu metode yang membandingkan sistem-sistem hukum dan perbandingan tersebut menghasilkan data sistem hukum yang dibandingkan.
·       Gutteridge, perbandingan hukum tidak lain merupakan suatu metode yaitu perbandingan yang dapat digunakan dalam semua cabang hukum. Gutteridge membedakan antara comparative law dan foreign law (hukum asing). Istilah pertama untuk membandingkan dua sistem hukum atau lebih, istilah kedua adalah mempelajari hukum asing tanpa secara nyata membandingkan dengan sistem hukum lain. Gutteridge menegaskan bahwa perbandingan sistem-sistem hukum dari keluarga common law merupakan subjek pembahasan perbandingan hukum.
·       Van Apeldoorn, memakai tiga cara dalam menerangkan hubungan sebab akibat hukum dengan gejala-gejala lainnya yaitu cara sosiologis, cara sejarah dan cara perbandingan hukum.
·       Zweigert dan Kozt, perbandingan hukum adalah perbandingan dari jiwa dan gaya dari sistem hukum yang berbeda-beda atau lembaga-lembaga hukum yang berbeda-beda atau penyelesaian masalah hukum yang dapat diperbandingkan dalam sistem hukum yang berbbeda-beda. Zweigert dan Kozt mengajukan pendekatan yang lain terhadap perbandingan hukum dan muncul dengan gaya functional legal comparison dengan menggunakan metoe yang bersifat:
a) Kritis, karena para ahli perbandingan hukum tidak lagi mementingkan persamaan dan perbedaan dari berbagai sistem hukum semata-mata sebagai suatu fakta melainkan yang dipentingkan adalah “keajegan, dapat dipraktikkan, keadilan dan jalan keluar bagi suatu masalah hukum tertentu.
b) RealistIk, karena perbandingan hukum bukan saja meneliti perundang-undangan, putusan hakim atau doktrin sematamata melainkan semua motivasi yang sesungguhnya menentukan atau memengaruhi dunia seperti etika, psikologi, ekonomi dan kebijakan perundang-undangan.
c) Tidak bersifat dogmatis, karena perbandingan hukum tidak hendak terkekang dalam kekuasaan dogma-dogma


Perbandingan Hukum sebagai Disiplin Ilmu Hukum
·       Lemaire, perbandingan hukum sebagai cabang ilmu pengetahuan (yang juga mempergunakan metode perbandingan) mempunyai lingkup (isi dari) kaidah-kaidah hukum, persamaan dan perbedaannya, sebab-sebabnya dan dasar kemasyarakatan.
·       Ole Lando, perbandingan hukum mencakup analisis dan perbandingan dari sistem-sistem hukum.
·       Hessel Yutema, perbandingan hukum hanya nama lain untuk ilmu hukum dan merupakan bagian yang menyatu dari suatu ilmu sosial, atau seperti cabang ilmu hukum lainnya perbandingan hukum memiliki wawasan yang universal; sekalipun caranya berlainan, masalah keadilan pada dasarnya sama menurut waktu dant empat di seluruh dunia.
·       Orucu, perbandingan hukum merupakan suatu disiplin ilmu hukum yang bertujuan mengemukakan persamaan dan perbedaan serta menemukan pula hubungan erat antara pelbagai system-sistem hukum; melihat perbandingan lembaga-lembaga hukum dan konsep-konsep serta mencoba menentukan suatu penyelesaian atas masalah-masalah tertentu dalam sistem-sistem hukum dimaksud dengan tujuan seperti pembaharuan hukum, unifikasi hukum dan lain-lain.
·       Soedarto, perbandingan hukum merupakan cabang dari ilmu hukum dan karena itu lebih tepat menggunakan istilah perbandingan hukum dari istilah hukum perbandingan
b. Sebutkan beberapa dasar pertimbangan mengapa kita mengambil sistem hukum Common Law yg berlaku di Inggris dalam mempelajari perbandingan Hukum Pidana.
Menurut Bapak Dr.Edy Yunara.SH.M.Hum beberapa tujuan dari mengambil sistem hukum Common Law yang berlaku di Inggris dalam mempelajari perbandingan Hukum Pidana adalah sebagai berikut:
1.     Pemahaman akan hukum yang lebih baik;
Artinya mahasiswa bertambah cakrawala ilmu hukumnya tidak hanya sekedar mempelajari hukum Indonesia semata yang bersistem Civil law namun juga mengenal lebih dalam tentang system hukum lain seperti Common Law

2.     Membantu dalam hal pembuatan peraturan perundang-undangan dan badan reformasi hukum lainnya;
Hal ini dimungkinkan dengan adanya transplantasi hukum yang kian berkembang di Indonesia seperti Omnibus Law yang saat ini sedang disusun oleh DPR
3.     Membantu pembentukan hukum dalam sistem peradilan;
Dalam system peradilan sebagai ius constituendum dapat ditarik asas-asas hukum Inggris yang dapat dijadikan pembentukan hukum kedepannya.
4. Membantu para pengacara untuk berpraktik;
Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) memungkinkan para advokat di Indonesia berpraktek di negara Asia Tenggara lainnya seperti Singapura,Malaysia,Brunei Darussalam yang memakai system Common Law dan hanya Indonesia sendiri yang menggunakan Civil Law di ASEAN sehingga mempelajari common law dalam perbandingan hukum pidana sangat penting.
4.     berguna dalam hal hubungan perdagangan dan ekonomi dengan negara lain.
Saat ini,hampir seluruh negara di Dunia menggunakan Common Law System.Hal itu dikarenakan hampir di seluruh dunia negara yang merdeka dulunya pernah dijajah oleh Inggris dan hanya sedikit negara yang dijajah oleh negara-negara Eropa Kontinental seperti Belanda.Oleh karena negara yang dijajah oleh Persemakmuran Kerajaan Inggris setelah merdeka mewarisi system hukum Common Law maka Indonesia yang menggunakan Civil Law System juga harus mempelajari Common Law khususnya Hukum Inggris karena selain hubungan perdagangan dan ekonomi dengan negara lain tapi juga ada beberapa karakteristik yang sama antara hukum Nasional Indonesia khususnya Hukum Adat dengan Hukum Inggris yaitu adanya norma kebiasaan yang ditarik menjadi norma hukum,di inggris disebut Presedent,di Indonesia disebut hukum adat.




2. a. Menurut Rene David ada 5 Keluarga Hukum. Sebutkan beberapa manfaat dan kegunaan dari mempelajari "Perbandingan Hukum" khususnya di Indonesia.
Rene David Membagi keluarga hukum menjadi 5:
1) Western System;
2. Socialist Family
3) Islamic Law;
4) Hindu Law;
5) Chinese Law (Law of Far East)
Namun kini setelah perkembangan zaman Rene David membagi menjadi 4 keluarga hukum yaitu:
1) The Romano-Germanic Law
2) The Common Law Family
3) The family of  Socialist Law
4)Other conceptions of law and the social order
Ada 4 (empat) tujuan kita mempelajari perbandingan hukum pidana khususnya di Indonesia :
·       Tujuan Praktis : Merupakan alat pertolongan untuk tertib masyarakat dan pembaharuan hukum nasional serta memberikan pengetahuan mengenai berbagai peraturan dan pikiran hukum kepada pembentuk undang-undang dan hakim ;
·       Tujuan Sosiologis : Mengobservasi suatu ilmu hukum yang secara umum menyelidiki hukum dalam arti ilmu pengetahuan dengan maksud membangun azas-azas umum sehubungan dengan peranan hukum dalam masyarakat ;
·       Tujuan Politis : Mempelajari perbandingan hukum untuk mempertahankan “Status Quo” dimana tidak ada maksud sama sekali mengadakan perubahan mendasar di negara yang berkembang ;
·       Tujuan Pedagogis : Untuk memperluas wawasan mahasiswa sehingga mereka dalat berpikir inter dan multi disiplin serta mempertajam penalaran di dalam mempelajari hukum asing.
b. Sebutkan klasifikasi tentang Keluarga Hukum yg harus dipenuhi masing-masing menurut  1. Marc Ancel.
2. Adolf F. Schmitzer.
Dan jelaskan juga perbedaan yg pokok antara kedua klasifikasi tsb
Marc Ancel membedakan sistem hukum dunia menjadi 5 jenis hukum yang dikelompokkan dalam satu keluarga berdasarkan asal-usulnya, sejarah perkembangannya serta metode penerapannya (their origin, their historis development and their methods of application).

Stelsel Hukum Civil Law
Pada mulanya negara Eropa tergabung pada sistem Eropa Kontinental. Ciri khusus dari stelsel hukum Eropa Kontinental atau civil law yakni:
1. Hukum merupakan produk legislatif.
2. Hukum adalah peraturan perundang-undangan.
3. Sangat dipengaruhi oleh persepsi hukum romawi.
4. Semua sistem hukum Eropa Kontinental atau civil law dikodifikasi dalam suatu peraturan perundang-undangan.
5. Keputusan pengadilan dalam sistem hukum kontinental atau civil law bukan sumber hukum yang pertama tetapi hanya keterangan mengenai hukum.
6. Dalam commom law memberi tempat yang sangat penting pada pengadilan sedangkan pada sistem Eropa Kontinental atau civil law tidak demikian, hukum tidak hanya penuntutan tetapi sebagaian besar mengenai fungsi umumnya.
7. Dualisme hukum kebiasaan dan kepatutan sebagaimana dalam commom law tidak dikenal dalam sistem hukum Eropa Kontinental atau civil law.
8. Semua sistem civil law berbeda dalam substansi dan prosedur antara hukum perdata dengan hukum administrasi.

Stelsel Hukum Common Law
Sistem hukum commom law mulanya berasal dari kebiasaan di Inggris kemudian berkembang sejak abad XI. Sistem hukum commom law dikenal juga dengan istilah Anglo Saxon atau Anglo Amerika. Pada dasarnya sistem hukum ini menekankan pada unwritten law. Sistem hukum commom law mempunyai ciri-ciri:
1. Sebagian hukum commom law adalah hasil dari pertumbuhan historis yang terlaksana secara bertahap sehingga masih mempunyai dan menunjukkan unsur-unsur feodalnya.
2. Putusan pengadilan dalam sistem hukum commom law adalah salah satu sumber hukum yang sangat penting.
3. Dualisme hukum kebiasaan dalam kepatutan dengan sistem hukum commom law yang diakui dan ini tidak dikenal dalam sistem civil law.
4. Semua hukum civil law berbeda dalam substansi dan prosedur dalam hukum perdata dan hukum administratif, hukum commom law menolak pembagian dalam dua bagian ini dan berpegang setidak-tidaknya dalam teori, pada prinsipnya berlaku asas perlakuan yang sama di muka hukum.
5. Sistem hukum commom law memberi tempat yang sangat penting dan istimewa kepada pengadilan.
6. Semua sistem commom law masih menundukkan diri berdasarkan kebiasaan sedangkan dalam sistem hukum civil law semua hukum dikodifikasikan, ada dalam peraturan perundang-undangan dan merupakan produk hukum legislatif.
Dalam sistem hukum commom law hakim di pengadilan dapat membuat hukum sendiri dengan melihat kasus-kasus dan fakta-fakta. Hal ini sering diistilahkan dengan judge made law atau case law. Pada hakikatnya hakim berfungsi sebagai legislatif. Meskipun dalam sistem hukum commom law hakim mengikuti the doctrine of precedent (stare dececis) tetapi dalam penggunaan doktrin tersebut hakim harus mempergunakan ukuran:
1. Setiap perkara harus bersifat einmalig artinya hanya satu kali saja terjadi dan tidak mungkin persis sama dengan perkara-perkara sebelumnya. Dalam hal ini hakim hanya diwajibkan mengikuti the doctrine of precedent bila ada hal-hal yang berhubungan langsung dengan produk perkara (racio decidendi) sedangkan hal-hal yang bersifat tambahan atau ilustrasi (obiter dicta) dapat mengesampingkannya atau menurut keyakinannya.
2. Harus reasonabless yakni harus dilihat dalam rangka sistem hukum yang bersangkutan dalam rangka kemungkinan atau keadilan. Jadi putusan yang terdahulu kalau tidak reasonabless tidak perlu diikuti.
Sistem juri merupakan ciri khas dari commom law yaitu orang-orang sipil yang mendapatkan tugas dari Negara untuk berperan sebagai juri dalam sidang perkara. Juri ditunjuk oleh Negara secara acak dan seharusnya adalah orang-orang yang kedudukannya sangat netral dengan asumsi juri adalah orang awam yang tidak mengetahui sama sekali latar belakang perkara yang disidangkan. Kedua pihak dalam perkara kemudian diberi kesempatan untuk mewawancara dan menentukan juri pilihannya. Seseorang tidak boleh menolak untuk menjadi juri kecuali untuk alasan-alasan tertentu seperti adanya conflict interest atau mengenal terdakwa baik secara langsung maupun tidak langsung.
Dalam keluarga sistem common law, keaktifan dituntut datang dari
para hakim. Undang-undang bukanlah sesuatu yang dapat diandalkan oleh mereka dalam menghadapi situasi terberi (given situation) di pengadilan. Dalam pencarian sumber hukum, perhatian mereka pertama-tama tidak tertuju kepada undang-undang, tetapi lebih kepada konstelasi hubungan para pihak yang bersengketa. Sekalipun ada undang-undang yang dapat dijadikan sumber acuan, hakim tetap diberi kesempatan untuk menemukan hukum lain di luar undang-undang, dengan bertitik tolak dari pandangan subjektifnya atas kasus yang dihadapi.
Pada kasus-kasus demikian, hakim dituntut untuk menyelaraskan makna kemanfaatan itu tadi dengan kepentingan masyarakat luas, sehingga tercapai pula dimensi keadilan (Gerechtigkeit) dalamputusannya. Untuk melembagakan semangat berkeadilan inilah, antara lain lalu dihadirkan dewan juri di pengadilan sebagai pranata khas common law. Demikian juga dengan eksistensi pranata equity yang lahir sebagai alternatif dari pengadilan common law. Selanjutnya, agar nilai kepastian hukum juga tercakup dalam putusan hakim, maka asas preseden yang mengikat (the binding force of precedent) diterapkan. Tatkala hakim menjatuhkan putusan, ia dipastikan sudah memperhatikan dengan saksama putusan-putusan sebelumnya yang mengadili kasus serupa. Jika tidak ada alasan yang sangat prinsipil, hakim tersebut tidak dapat mengelak kecuali ia juga menjatuhkan putusan yang secara substantif sama dengan putusan sebelumnya.
Sistem Hukum Timur Tengah
Sistem hukum timur tengah dianut oleh Irak, Yordania, Saudi arabia, Libanon, Siria, Maroko, Sudan. Sistem hukum timur tengah berasal dari agama Islam sehingga disebut dengan stelsel hukum Islam. Stelsel hukum Islam bersumber kepada:
1. Qur’an yaitu kitab suci kaum muslimin yang merupakan wahyu Allah yang diturunkan melalui Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW
2. Hadis yakni ucapan, pesan, perbuatan serta sikap Nabi Muhhamad SAW yang kemudian dijadikan pedoman oleh para pengikutnya.
3. Ijma yaitu kesepakatan para ulama mengenai suatu hukum terhadap sesuatu yang belum diatur pada Al-Qur’an dan al-Hadis Rasullah SAW.
4. Ijtihad para mujtadid terhadap suatu hukum terhadap suatu masalah hukum yang ada hukumnya.
5. Hadis Riwayat Abu Daud.
Sistem hukum Islam mempunyai ciri khas yang berbeda dengan sistem hukum yang lain yakni:
1. Merupakan ketentuan yang tidak berubah yakni takanul yaitu sempurna, bulat dan tuntas.
2. Menempuh jalan tengah, yakni keseimbangan antara kejiwaan dan kebendaan.
3. Kemampuan yang bergerak dan berkembang, mempunyai daya hidup, dapat membentuk diri sesuai dengan perkembangan dan kemajuan.
Salah satu sistem hukum ini dapat dilihat pada tertib Syari'at, Al Quran Surat Al Ahzab ayat 36 mengajarkan bahwa sekiranya Allah dan RasulNya sudah memutuskan suatu perkara, maka umat Islam tidak diperkenankan mengambil ketentuan lain. Oleh sebab itu secara implisit dapat dipahami bahwa jika terdapat suatu perkara yang Allah dan RasulNya belum menetapkan ketentuannya maka umat Islam dapat menentukan sendiri ketetapannya itu. Pemahaman makna ini didukung oleh ayat dalam Surat Al Maidah QS 5:101 yang menyatakan bahwa hal-hal yang tidak dijelaskan ketentuannya sudah dimaafkan Allah. Di dalam sistem hukum Islam ada lima hukm atau kaidah, yang dijadikan sebagai patokan untuk mengukur perbuatan manusia baik beribadah maupun bermuamalah. Kelima jenis kaidah tersebut disebut dengan al-ahkam al-khamsah atau penggolongan hukum yang lima yaitu (1) Wajib, (2) Sunnah, (3) Mubah, (4) Makruh, dan (5) Haram.


Sistem Hukum Timur Jauh
Sistem hukum Timur jauh merupakan sistem hukum yang kompleks yang merupakan perpaduan antara sistem civil law, common law, dan Hukum Islam sebagai basis fundamental masyarakat. Sistem hukum timur jauh ini dianut oleh negara-negara seperti Cina dan Jepang. Sistem hukum timur jauh yang merupakan kompilasi dari beberapa sistem hukum yang ada di dunia ini ketika diimplementasikan dalam budaya hukum masyarakat menunjukkan sifat yang tertutup dan terisolasi. Kompleksitas dari sistem hukum ini menyebabkan sistem hukum ini terlalu berkembang jika dibandingkan dengan sistem hukum anglosaxon dan eropa kontinental.

Stelsel Hukum Sosialis
Sistem hukum sosialis berasal dari hukum Uni Soviet yang dikembangkan sejak 1917, dimana pada tahun ini terjadi Revolusi Oktober yang mengakhiri pemerintah kerajaan Rusia. Hukum ini mengalami penyebaran melalui politik demokrasi rakyat ke negara-negara di Eropa dan Asia. Pokok stelsel hukum sosialis adalah hukum yang dijiwai ajaran unmarxis-Lenimisme yang dianut oleh para pakar hukum di Uni Soviet serta ajaran materialisme dan teori evolusi dimana dikatakan bahwa materi merupakan satu-satunya benda nyata di dunia ini.Sedangkan menurut Adolf F.Schnitzer bahwa perbandingan hukum baru abad ke 19, berkembang sebagai cabang dari ilmu hukum ketika hukum dikodifikasi dalam masing2 negara, yang ketika setiap negara mempelajari maka menjadi hukum asing (foreign law)
3. a. Mengapa di Inggris menganut "Precedent" ?
Menurut Oxford Dictionary of Law (6th edition OUP Oxford, 2006),doctrine of precedentdiartikan sebagai, “judgement or decision of a Court used as an authority for reaching the same decision in subsequent cases.” Kemudian menurut Black's Law Dictionary (5th edition 1979),doctrine of precedentdiartikan sebagai, "rule of law established for the first time by a court for a particular type of case and thereafter referred to in deciding similar cases.
Sejarah doctrine of precedent pertama kali berkembang di Inggris abad pertengahan, pada saat ketika hukum dibentuk dan hakim menginginkan konsistensi dan standardisasi. Hakim abad pertengahan sering diangkat karena status sosial mereka, bukan pemahaman mereka tentang hukum, sehingga banyak yang nyaris tidak kompeten. Dalam perkembangan common law system dan doktrin stare decisis mengharuskan para hakim ini untuk membuat keputusan yang lebih rasional dan konsisten.
Hirarki pengadilan sangat penting bagi doctrine of precedent untuk dapat berfungsi secara efektif. Sebuah preseden yang ditetapkan dalam satu pengadilan berlaku untuk semua pengadilan yang lebih rendah, tetapi hanya dalam hirarki yang sama.Ketika sebuah kasus diajukan ke pengadilan, secara umum hakim akan mengikuti dan melakukan pendekatan berikut ini:
(1) memastikan fakta-fakta dengan mendengar dari semua pihak, saksi dan memeriksa bukti;
(2) mengulas dan menerapkan undang-undang yang relevan dan menafsirkan undang-undang (jika diperlukan);
(3) menemukan putusan sebelumnya, dalam kasus serupa dan preseden yang relevan;
(4) memastikan apakah preseden ini berlaku untuk kasus dan fakta-faktanya, kemudian menerapkan preseden;
(5)Jika tidak ada preseden yang berlaku untuk kasus tertentu, membuat putusan yang menetapkan preseden baru.
Doctrine of precedent mensyaratkan bahwa semua pengadilan secara ketat terikat untuk mengikuti keputusan yang dibuat oleh pengadilan di atasnya dalam hierarki. Namun, banyak yang berpendapat bahwa hal itu dapat menghilangkan independensi hakim dan juga membatasi kemampuan hakim untuk tetap mengikuti perkembangan masyarakat. 
Oleh karena itu, terdapat kelebihan dan kelemahan dalam penerapan doctrine of precedent. Kelebihannya antara lain:
(1) Certainty (warga negara akanmengetahui hukumnya dan bagaimana hal itu akan diterapkan dalam kasus mereka);
(2)Consistency (bahwa kasus-kasus serupa harus diputuskan dengan cara yang sama);
(3)Precision (prinsip hukum ditetapkan dalam kasus hukum, sehingga menjadi sangat tepat dan dapat diandalkan); dan
(4)time saving(proses peradilan menjadi lebih cepat dan evisien). 
Sedangkan kelemahannya meliputi:
(1)rigid (Fakta bahwa pengadilan yang lebih rendah dalam hirarki terikat pada pengadilan yang lebih tinggi);
(2)complex (putusan sangat panjang dan sulit untuk memisahkan antara pertimbangan hukum dan pernyataan obiter);
(3) Illogical decisions (sulit membedakan fakta-fakta);
(4) Slowness of growth(terdapat ratusan kasus setiap tahun yang berarti ini sangat menyulitkan doctrine of precedentyang relevan untuk diterapkan kepada kasus yang tepat).
Terlepas dari adanya kelebihan dan kelemahan dalam penerapan doctrine of precedent, namun doktrin tersebut tetap menjadi fondasi yang sangat diperlukan dalam pembangunan hukum yang teratur di Inggris

b. Sebutkan unsur unsur umum dari suatu delik menurut sistem Common Law.
  1. Asas Legalitas
Walaupun asas ini tidak pernah secara formal dirumuskan dalam perundang-undangan, namun asas ini menjiwai putusan-putusan pengadilan. Karena bersumber pada case law, pada mulanya pengadilan di Inggris merasa dirinya berhak menciptakan delik. Namun dalam perkembangannya tahun 1972 House of Lords menolak secara bulat adanya kekuasaan pengadilan untuk menciptakan delik-delik baru atau memperluas delik yang ada. Jadi nampaknya ada pergeseran dari asas legalitas dalam pengertian materiil ke asas legalitas dalam pengertian formal. Artinya suatu perbuatan pada mulanya dapat ditetapkan sebagai suatu delik oleh hakim berdasarkan common law (hukum kebiasaan yang dikembangkan lewat putusan pengadilan), namun dalam perkembangannya hanya dapat ditetapkan berdasarkan undang-undang (statute law).
  1. Asas Mens Rea
Berdasarkan asas ini, ada dua syarat yang harus dipenuhi untuk seseorang dapat dipidana, yaitu ada perbuatan lahiriah yang terlarang (artus reus) dan ada sikap batin jahat/tercela(mens rea). Artus reus tidak hanya menunjuk pada suatu perbuatan (an act) dalam arti yang biasa, tetapi mengandung arti yang lebih luas, yaitu meliputi:
  1. Perbuatan dari si terdakwa
  2. Hasil atau akibat dari perbuatannya itu.
  3. Keadaan-keadaan yang tercantum/ terkandung dalam perumusan tindak pidana, misalnya dalam perumusan delik pencurian disebut barang milik orang lain.
  1. Strict Liability
Walaupun pada prinsipnya berlaku asas Mens Rea, namun di Inggris ada delik-delik yang tidak mensyaratkan adanya mens rea. Si pembuat sudah dapat dipidana apabila ia telah melakukan perbuatan sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang tanpa melihat bagaimana sikap batinnya. Di sini berlaku apa yang disebut dengan Strict Liability yang sering diartikan secara singkat pertanggungjawaban tanpa kesalahan.
Menurut common law, Strict Liability berlaku terhadap tiga macam delik, yaitu:
a.       Public nuisance (gangguan terhadap ketertiban umum, menghalangi jalan raya, mengeluarkan bau tidak enak yang mengganggu lingkungan).
b.      Criminal libel (fitnah, pencemaran nama).
c.       Contempt of court (pelanggaran tata tertib pengadilan)

  1. Vicarious Liability
Vicarious Liability sering diartikan dengan pertanggungjawaban menurut hukum seseorang atas perbuatan salah yang dilakukan oleh orang lain. Secara singkat sering diartikan pertanggungjawaban pengganti.
Dalam hal-hal bagaimanakah seseorang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan orang lain?
a.       Ketentuan umum yang berlaku menurut Common law ialah bahwa seseorang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara Vicarious untuk tindak pidana yang dilakukan oleh pelayan/buruhnya. Jadi, seorang majikan tidak dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan (tindak pidana) yang dilakukan oleh pelayannya.
b.      Menurut Undang-undang (Statute law)  Vicarious Liability dapat terjadi dalam hal-hal sebagai berikut:
(1)   Seseorang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh orang lain, apabila ia telah mendelegaikan kewenangannya menurut undang-undang kepada orang lain itu. Jadi, harus ada prinsip pendelegasian (the delegation principle).
(2)   Seorang majikan dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang secara fisik/jasmaniah dilakukan oleh buruh/pekerjanya apabila menurut hukum perbuatan buruhnya itu dipandang sebagai perbuatan majikan. Jadi, apabila si pekerja sebagai pembuat materi/fisik dan majikan sebagai pembuat intelektual.
  1. Pertanggungjawaban Korporasi
Pertanggungjawaban pidana yang disebut Vicarious Liability dapat dihubungkan dengan pertanggungjawaban dari korporasi. Korporasi berbuat dengan perantaraan orang. Apabila orang ini melanggar suatu ketentuan undang-undang, maka menjadi pertanyaan apakah korporasi yang dipertanggungjawabkan. Atas pelanggaran terhadap suatu kewajiban hukum oleh occupier dari pabrik dan atau perbuatan dari pelayan, korporasi dapat dipertanggungjawabkan. Dalam hal ini korporasi hanya bertanggungjawab atas sejumlah kecil delik, pada dasarnya delik undang-undang yang cukup dengan adanya strict liability.
  1. Penyertaan (Participation in a crime)
Ada empat kategori participation, yaitu:
a.    A principal in the first degree (pelaku tingkat pertama; pelaku utama atau pembuat materiil/ actual offender).
b.    A principal in the second degree (pelaku tingkat kedua; yaitu pembantu/ aider abettor).
c.    An accessory before the fact (pembantu sebelum tindak pidana).
d.   An accessory after the fact (pembantu setelah tindak pidana).
  1. Inchoate offences (tindak pidana yang tidak lengkap atau baru taraf permulaan)
Terjadi suatu tindak pidana sering melibatkan atau didahului oleh berbagai aktivitas perbuatan yang sangat erat hubungannya dengan tindak pidana pokok. Berbagai perbuatan yang mendahului terjadinya tindak pidana pokok yang sebenarnya beru merupakan taraf permulaan, dapat dilihat sebagai tindak pidana yang berdiri sendiri (independent offence) dan oleh karena itu dapat disebut sebagai preliminary crimes (kejahatan pada taraf persiapan/permulaan/pendahuluan). Preliminary crimes inilah yang dalam kepustakaan Inggris dikenal dengan istilah inchoate offences, yang meliputi:
a.      Incitement (Penganjuran).
b.      Conspiracy (Permufakatan jahat).
c.       Attempt (Percobaan).


  1. Alasan penghapusan pidana (exemptions from liability)
Seseorang yang dituduh melakukan tindak pidana, dapat mengajukan alasan pembelaan atau alasan penghapusan pidana.
Seperti: mistake (kesesatan), compulsion (paksaan), intoxication (keracunan/mabuk alkohol), automatism (gerak refleks), insanity (kegilaan/ketidakwarasan), infancy (anak di bawah umur), dan consent of the victim (persetujuan korban)
c. Apakah unsur-unsur tsb harus selalu terpenuhi pada setiap delik. Jelaskan.
Hanya pada delik tertentu yang dirumuskan dalam Undang-Undang yang harus terpenuhi unsurnya karena  asas legalitas ini tidak pernah secara formal dirumuskan dalam perundang-undangan, namun asas ini menjiwai putusan-putusan pengadilan. Karena bersumber pada case law, pada mulanya pengadilan di Inggris merasa dirinya berhak menciptakan delik. Namun dalam perkembangannya tahun 1972 House of Lords menolak secara bulat adanya kekuasaan pengadilan untuk menciptakan delik-delik baru atau memperluas delik yang ada. Jadi nampaknya ada pergeseran dari asas legalitas dalam pengertian materiil ke asas legalitas dalam pengertian formal. Artinya suatu perbuatan pada mulanya dapat ditetapkan sebagai suatu delik oleh hakim berdasarkan common law (hukum kebiasaan yang dikembangkan lewat putusan pengadilan), namun dalam perkembangannya hanya dapat ditetapkan berdasarkan undang-undang (statute law) seperti:
a.       UU mengenai tindak pidana terhadap orang (Offences against the Person Act) tahun 1861.
b.      UU Sumpah Palsu (Perjury Act) tahun 1911.
c.       UU tindak Pidana Seksual (Sexual Offecens Act) 1956.
d.      UU mengenai pembunuhan (Homicide Act) 1957.
e.       UU mengenai pembunuhan anak (Infanticide Act) 1922, yang telah diubah dengan UU tahun 1938.
f.       UU mengenai pembunuhan berencana atau UU mengenai penghapusan pidana mati (Murder/Abolition of death Penalty Act) tahun 1965.
g.      UU mengenai abortus (Abortion Act) tahun 1967.
h.      UU mengenai pencurian (Theft Act) tahun 1968.
i.        UU mengenai obat-obatan berbahaya (The Dangerous Drugs Act) tahun 1965.
j.        UU mengenai pembajakan pesawat udara (Hijacking Act) 1971.

4. a. Dalam ciri2 karakreristik Hukum Inggris diantaranya ada dikenal Azas Strict Liability dan Azas Vicariuos Liability.
a. Jelaskan apa arti dan msksud dari kedua azas tsb.
Strict Liability
Walaupun pada prinsipnya berlaku asas Mens Rea, namun di Inggris ada delik-delik yang tidak mensyaratkan adanya mens rea. Si pembuat sudah dapat dipidana apabila ia telah melakukan perbuatan sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang tanpa melihat bagaimana sikap batinnya. Di sini berlaku apa yang disebut dengan Strict Liability yang sering diartikan secara singkat pertanggungjawaban tanpa kesalahan.
Menurut common law, Strict Liability berlaku terhadap tiga macam delik, yaitu:
a.       Public nuisance (gangguan terhadap ketertiban umum, menghalangi jalan raya, mengeluarkan bau tidak enak yang mengganggu lingkungan).
b.      Criminal libel (fitnah, pencemaran nama).
c.       Contempt of court (pelanggaran tata tertib pengadilan)
  1. Vicarious Liability
Vicarious Liability sering diartikan dengan pertanggungjawaban menurut hukum seseorang atas perbuatan salah yang dilakukan oleh orang lain. Secara singkat sering diartikan pertanggungjawaban pengganti.
Dalam hal-hal bagaimanakah seseorang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan orang lain?
a.       Ketentuan umum yang berlaku menurut Common law ialah bahwa seseorang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara Vicarious untuk tindak pidana yang dilakukan oleh pelayan/buruhnya. Jadi, seorang majikan tidak dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan (tindak pidana) yang dilakukan oleh pelayannya.
b.      Menurut Undang-undang (Statute law)  Vicarious Liability dapat terjadi dalam hal-hal sebagai berikut:[7]
(1)   Seseorang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh orang lain, apabila ia telah mendelegaikan kewenangannya menurut undang-undang kepada orang lain itu. Jadi, harus ada prinsip pendelegasian (the delegation principle).
(2)   Seorang majikan dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang secara fisik/jasmaniah dilakukan oleh buruh/pekerjanya apabila menurut hukum perbuatan buruhnya itu dipandang sebagai perbuatan majikan. Jadi, apabila si pekerja sebagai pembuat materi/fisik dan majikan sebagai pembuat intelektual.
b. Jelaskan pula apa perbedaan dan persamaan dari kedua azas tsb.
Perbedaanya adalah pertanggungjawaban pidana Strict Liability terletak pada subjek hukum yang melakukan delik sedangkan Vicarious Liability yang bertanggung jawab adalah majikan/korporasi  Sedangkan persamaannya adalah sama-sama dapat dipertanggungjawaban secara mutlak walaupun tanpa ada unsur mens rea



c. Apakah di Indonesia juga menganut azas tsb dalam sistem hukum pidananya. Kalau ada jelaskan dalam.peraturan apa saja serta dasar hukumnya.
Iya,dianut juga di Indonesia
Konsep strict liability pertama kali diintrodusir dalam hukum Indonesia antara lain melalui UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Yang selanjutnya diubah dengan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (“UUPPLH”). Dalam Pasal 88 UU PPLH ini disebutkan secara tegas mengenai konsep strict liability:  

“Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun, editor), menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.”

Penjelasan pasal ini menjelaskan apa yang dimaksud dengan “bertanggung jawab mutlak” atau strict liability yaitu berarti unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran ganti rugi. Ketentuan dalam pasal ini dijelaskan merupakan lex specialis dalam gugatan tentang perbuatan melanggar hukum pada umumnya sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Namun, dalam kenyataannya, penerapan konsep ini di Indonesia memang tidak mudah.
Konsep strict liability ini juga diterapkan untuk kasus perlindungan konsumen, sebagaimana diatur secara implisit dalam Pasal 19 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Namun, konsep ini juga belum pernah diterapkan oleh pengadilan Indonesia terkait dengan kasus perlindungan konsumen. Hal ini disampaikan oleh Yusuf Shofie, pengajar tetap dari Universitas Yarsi yang juga memiliki pengalaman bekerja di Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (“YLKI”)
Di Indonesia, vicarious liability lebih dikenal sebagai pertanggungjawaban korporasi, namun dalam perjalanan Konsep KUHP, vicarious liability telah diakomodir dan dirumuskan di dalam Pasal 38 ayat (2) Konsep KUHP 2008, adapun bunyi pasal tersebut adalah:
Dalam hal ditentukan oleh Undang-Undang, setiap orang dapat dipertanggungjawabkan atas tindak pidana yang dilakukan oleh orang lain”.
5. Bagaimana bentuk pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Inggris. Dan bandingkan pula dengan bentuk pertanggungjawaban pidana korporasi di Indonesia. Jelaskan dimana hal tersebut diatur ?
Di Inggris, sejak tahun 1944 telah mantap pendapat bahwa suatu korporasi dapat bertanggungjawab secara pidana, baik sebagai pembuat atau peserta untuk tiap delik, meskipun disyaratkan adanya mens rea dengan menggunakan asas identifikasi. Dengan demikian, berbeda dengan di Indonesia, pertanggungjawaban korporasi tidak terbatas hanya pada delik-delik tertentu, meskipun tidak semua delik dapat dilakukan oleh korporasi. Inggris termasuk negara yang banyak diikuti oleh negara-negara lain dalam hal sistem pertanggungjawaban pidana korporasi. Kasus hukum terkenal yang terjadi di Inggris berkaitan dengan penerapan sistem pertanggungjawaban pidana korporasi adalah Tesco Supermarket Ltd. vs Nattrass, [1972].Menurut hukum pidana Inggris, terlepas dari tanggungjawab mereka sebagai pelaku atau sebagai peserta dalam tindak pidana, sebuah korporasi mungkin diharuskan bertanggungjawab secara pidana.
Berdasarkan ketentuan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa jika suatu pelanggaran berdasarkan undang-undang telah dilakukan oleh sebuah korporasi, terbukti telah dilakukan oleh persekutuan atau dengan sengaja dibiarkan terjadi oleh perusahaan atau dapat dikaitkan dengan kelalaian di pihak direktur, manajer, sekretaris atau pejabat lain pada tingkat yang sama dalam korporasi itu, korporasi harus dinyatakan bersalah melakukan pelanggaran itu. Meskipun hal ini umumnya memperluas tanggungjawab yang diberlakukan oleh undang-undang pidana terhadap pelaku pelanggaran atau pihak lain yang turut serta, hal ini benar-benar dapat menjangkau para pelaku tindak pidana dan mungkin juga membuat tugas penuntutan perkara pidananya menjadi lebih mudah di mana tanggungjawab pembuktian berdasarkan prinsip yang lazim digunakan akan sulit diterapkan. Sikap menyetujui dan membiarkan dilakukannya pelanggaran itu pada umumnya tumpang-tindih dengan tindakan yang berupa membantu dalam melakukan pelanggaran dan
menganjurkannya, akan tetapi semua itu mungkin lebih mudah dibuktikan dengan menggunakan Betting Gaming and Lotteries Act 1963 Section 53 dan The Trades Description Act 1968.
Adapun tahap-tahap perkembangan korporasi sebagai subjek hukum pidana di Indonesia ternyata mengikuti perkembangan yang terjadi di Belanda. Pada tahap pertama dalam W.v.S. Belanda, Pasal 51 sebelum diadakan perubahan ketentuan tersebut rumusannya sama dengan ketentuan Pasal 59 KHUP. Hal ini dipengaruhi oleh asas universitas delingquere nonpotest, yaitu sifat delik yang dilakukan korporasi dibatasi pada perorangan.
KUHP yang digunakan Indonesia hingga saat ini belum mengenal konsep pertanggungjawaban korporasi. Pelaku, pertama-tama ialah ia yang melaksanakan bagian-bagian dari delik, yang memenuhi semua syarat yang dirumuskan dalam rumusan delik. Pribadi kodrati sebagai subjek hukum pidana juga terlihat dari rumusan pasal yang selau menggunakan redaksi “barangsiapa”, “seorang”, atau “orang yang melakukan kejahatan”. Meskipun, di dalam KUHP Indonesia korporasi bukanlah suatu subjek hukum pidana, namun dalam beberapa undang-undang, korporasi telah dijadikan subjek hukum pidana.
Dalam perkembangannya, korporasi telah menjadi subyek hukum pidana dalam berbagai peraturan perundang-undangan, di antaranya yaitu:
a)     Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup;
b)    Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
c)     Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen; dan
d)    Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP)


DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Barda Nawawi Arief. 2012. Perbandingan Hukum Pidana. Jakarta: PT Raja Grafindo.
Collin P.H. 2000/2001. Dictionary of Law. London: Peter Collin Publishing.
Dwidja Prayitno. 1991. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Hukum Pidana cet. I. Bandung: Sekolah Tinggi Hukum.
Kristian. 2016. Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi (Tujuan Teoritis dan Perbandingan Hukum Di Berbagai Negara). Bandung: PT. Refika Aditama.
Mahmud Mulyadi dan Feri Antoni Surbakti. 2010. Politik Hukum Pidana terhadap Kejahatan Korporasi. Medan: PT. Softmedia.
Mahrus Ali. 2013. Asas-Asas Hukum Pidana Korporasi. Jakarta: Rajawali Pers.
Michael John Allen. 1999. Textbook on Criminal Law. London: Blackstone Press.
Muladi dan Dwidja Priyatno. 2010. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi. Jakarta: Kencana.
N.H.T Siahaan. 2008. Hukum Lingkungan. Edisi Revisi Cetakan Kedua. Jakarta: Pancuran Alam.
Ronny Hanitijo Soemitro. 1985. Metodologi Penelitian Hukum dan Yurimetri. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Soerjono Soekanto. 1981. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Pres.
Sutan Remy Sjahdeini. 2006. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi. Jakarta: Grafiti Pers.
Jurnal:
ADB/OECD Anti Corruption Initiative for Asian and the Pacific.
Edward B. Diskant. 2008. Comparative Corporate Criminal Liability:Exploring the Uniquely American Doctrine Through Comparative Criminal Procedure. The Yale Law Journal. Vol. 118:126.
Jennifer Arlen. 2011. Corporate Criminal Liability : Theory and Evidence, New York University Law and Economic Working Papers. Paper 273.
Jimmy Tawalujan. 2012. Pertanggungjawaban Korporasi Terhadap Korban Kejahatan. Lex Crimen Vol.I/No.3/Jul-Sep/2012


Tidak ada komentar:

Posting Komentar