Senin, 05 November 2018

Resensi Buku Meluruskan Arah Manajemen Kehakiman:Apakah Kekuasaan Kehakiman di Persimpangan Jalan?



DATA BUKU
Judul: Meluruskan Arah Manajemen Kekuasaan Kehakiman

Penulis:    Tim Penyusun Komisi Yudisial
Penerbit:  Sekretariat Jenderal Komisi Yudisial Republik Indonesia

Cetakan:   I, Juli 2018
Tebal:     iv + 318 halaman
ISBN:     978-602-74750-7-6






                       


Andre[1]
APAKAH KEKUASAAN KEHAKIMAN DI PERSIMPANGAN JALAN?


Pada sampul buku digambarkan manajemen kekuasaan kehakiman saat ini  tengah berada di persimpangan jalan.Mengapa demikian?

Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara selalu saja ditemukan tarik ulur antara kekuasaan,hukum,dan demokrasi yang bersumber pada sikap apriori terhadap perubahan padahal sikap tersebut tidak saja dapat melanggar prinsip-prinsip negara hukum,demokrasi dan hak asasi manusia namun juga dapat melanggar prinsip manajemen kekuasaan kehakiman.Oleh karena itu,salah satu aspek penting dan menarik dalam buku ini adalah bagian-bagian yang mengisahkan adanya titik temu atau jalinan antara sisi manajemen kewenangan kekuasaan kehakiman baik dari Komisi Yudisial maupun Mahkamah Agung yang dikupas dari berbagai perspektif.Kajian terhadap bagian-bagian yang mengisahkan jalinan antara sisi kewenangan KY dengan independensi Hakim Mahkamah Agung dalam buku ini semakin terasa penting,utamanya di saat awan mendung sekarang ini masih menyelimuti sebagian besar wilayah penyelenggaraan pemerintahan Republik Indonesia,disaat berbagai musibah kolusi,korupsi,dan nepotisme masih terus menerpa praktik penyelenggaraan peradilan.Dengan demikian,sejatinya hukum sebagai institusi sosial    membutuhkan suatu kekuatan pendorong.Hukum membutuhkan kekuasaan.Kekuasaan ini memberikan kekuatan kepadanya untuk menjalankan fungsi hukum misalnya sebagaimana dikemukakan oleh Friedmann  adalah   sebagai penyelesaian sengketa.

Dapat kita katakan bahwa hukum tanpa kekuasaan akan tinggal sebagai keinginan-keinginan atau ide belaka.Hukum membutuhkan  kekuasaan ,tetapi ia juga tidak bisa membiarkan kekuasaan itu untuk menunggangi hukum.Hal  ini dapat  dilihat pada   saat Pemerintahan era Orde Lama menempatkan hakim sebagai alat revolusi dan Presiden dapat turut atau campur tangan dalam soal-soal pengadilan (halaman 13).Pun,Era Orde Baru tidak jauh berbeda dengan Orde Lama dimana kekuasaan kehakiman berada dalam tekanan kuat pemerintah dalam menangani perkara yang melibatkan kepentingan kekuasaan.Atas dasar tersebut ketika reformasi pada 1998 bergulir   muncul tuntutan untuk mewujudkan peradilan yang bersih dan agung.Hal tersebut diakomodir lewat dibentuknya sebuah lembaga mandiri yaitu Komisi Yudisial dalam rangka pengangkatan hakim agung dan pengawas eksternal bagi pelaku kekuasaan kehakiman.Pengawasan ini ditujukan untuk memperkuat checks and balances dari kekuasaan kehakiman yang merdeka ,sekaligus menunjang pelaksanaan fungsi dan kewenangan badan kekuasaan kehakiman itu sendiri.Namun,perjalanan   Komisi Yudisial dalam menjalankan wewenang tidak selamanya mulus.Ujian pertama datang dari putusan Mahkamah Konstitusi atas  judicial review  Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial oleh 31 orang hakim agung terkait pengawasan hakim bertentangan
dengan UUD NRI 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat .

Melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006 menyetujui permohonan tersebut.Sebagaimana diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi bahwa KY bukan merupakan pelaksana  kekuasaan kehakiman ,tapi sebagai supporting element atau state auxilliary organ,membantu atau mendukung pelaku kekuasaan kehakiman .Berdasarkan hal tersebut ,sebagai supporting organ (state auxilliary body) dalam kekuasaan kehakiman,KY bukanlah pelaku cabang kekuasaan negara yang melakukan fungsi yudisial,tetapi KY didesain untuk  melakukan tugas-tugas supporting yang dapat bersifat administratif dan manajerial terkait berbagai aspek dalam jabatan hakim.Tidak hanya  melakukan pengawasan ,KY juga  dapat berperandalamrekrutmen,pembinaan,perlindungan dan aspek-aspek lainnya.Eksistensi KY memiliki basis konstitusional yang kokoh dalam menjalankan kewenangannya.Sehingga,tidak tepat menghadap-hadapkan KY dengan ancaman intervensi lembaga peradilan (Halaman 120).

Hal inilah yang menimbulkan pertanyaan apakah  manajemen kekuasaan kehakiman berada di persimpangan jalan sehingga perlu diluruskan kembali seperti pada judul buku ini?

Hal ini dijawab dengan memberikan berbagai latar belakang historis,yuridis hingga filosofis beserta permasalahan yang ada hingga temuan praktik peradilan yag didapatkan oleh KY sehingga ketika membaca buku ini,akan terasa menyelinap ke rona kesadaran bahwa secara konseptual KY memiliki peran yang amat penting dalam menjaga marwah peradilan.Dari optik hukum tata negara,kiranya di era reformasi inilah kedudukan Komisi Yudisial diperkuat sehingga secara perlahan dan pasti diharapkan akan mengubah tatanan,instrumentasi,dan orientasi penyelenggaraan peradilan.Dengan demikian,di kemudian hari tidak lagi ditemukan praktik penyelenggaran peradilan yang tanpa kontrol bagaikan burung terbang bebas.Dengan demikian,buku ini sesungguhnya menyajikan pemikiran-pemikiran tentang perlunya merekonseptualisasi dan mereposisi serta merefungsionalisasi hingga meluruskan arah manajemen kekuasaan kehakiman dalam format yang lebih enak dibaca karena laju penuturannya meluncur dengan lancar dan jernih dengan berbagai pakar yang tetap mempertahankan sikap seorang akademisi.







[1] Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara


Tidak ada komentar:

Posting Komentar