DATA
BUKU
Judul: Meluruskan Arah Manajemen Kekuasaan Kehakiman
Penulis: Tim Penyusun Komisi Yudisial
Penerbit: Sekretariat
Jenderal Komisi Yudisial Republik Indonesia
Cetakan: I, Juli 2018
Tebal: iv +
318 halaman
ISBN: 978-602-74750-7-6
Andre[1]
APAKAH KEKUASAAN
KEHAKIMAN DI PERSIMPANGAN JALAN?
Pada sampul
buku digambarkan manajemen kekuasaan kehakiman saat ini tengah berada di persimpangan jalan.Mengapa demikian?
Dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara selalu saja ditemukan tarik ulur antara
kekuasaan,hukum,dan demokrasi yang bersumber pada sikap apriori terhadap
perubahan padahal sikap tersebut tidak saja dapat melanggar prinsip-prinsip
negara hukum,demokrasi
dan hak asasi manusia namun juga dapat melanggar prinsip manajemen kekuasaan
kehakiman.Oleh karena itu,salah satu aspek penting dan menarik dalam buku ini
adalah bagian-bagian yang mengisahkan adanya titik temu atau jalinan antara
sisi manajemen kewenangan kekuasaan kehakiman baik dari Komisi Yudisial maupun
Mahkamah Agung yang dikupas dari berbagai perspektif.Kajian terhadap
bagian-bagian yang mengisahkan jalinan antara sisi kewenangan KY dengan
independensi Hakim Mahkamah Agung dalam buku ini semakin terasa
penting,utamanya di saat awan mendung sekarang ini masih menyelimuti sebagian
besar wilayah penyelenggaraan pemerintahan Republik Indonesia,disaat berbagai
musibah kolusi,korupsi,dan nepotisme masih terus menerpa praktik
penyelenggaraan peradilan.Dengan demikian,sejatinya hukum sebagai institusi
sosial membutuhkan suatu kekuatan
pendorong.Hukum membutuhkan kekuasaan.Kekuasaan ini memberikan kekuatan
kepadanya untuk menjalankan fungsi hukum misalnya sebagaimana dikemukakan oleh Friedmann adalah
sebagai penyelesaian sengketa.
Dapat kita katakan bahwa hukum tanpa
kekuasaan akan tinggal sebagai keinginan-keinginan atau ide belaka.Hukum
membutuhkan kekuasaan ,tetapi ia juga
tidak bisa membiarkan kekuasaan itu untuk menunggangi hukum.Hal ini dapat
dilihat pada saat Pemerintahan
era Orde Lama menempatkan hakim sebagai alat revolusi dan Presiden dapat turut
atau campur tangan dalam soal-soal pengadilan (halaman 13).Pun,Era Orde Baru
tidak jauh berbeda dengan Orde Lama dimana kekuasaan kehakiman berada dalam
tekanan kuat pemerintah dalam menangani perkara yang melibatkan kepentingan
kekuasaan.Atas dasar tersebut ketika reformasi pada 1998 bergulir muncul tuntutan untuk mewujudkan peradilan
yang bersih dan agung.Hal tersebut diakomodir lewat dibentuknya sebuah lembaga
mandiri yaitu Komisi Yudisial dalam rangka pengangkatan hakim agung dan
pengawas eksternal bagi pelaku kekuasaan kehakiman.Pengawasan ini ditujukan
untuk memperkuat checks and balances
dari kekuasaan kehakiman yang merdeka ,sekaligus menunjang pelaksanaan fungsi
dan kewenangan badan kekuasaan kehakiman itu sendiri.Namun,perjalanan Komisi Yudisial dalam menjalankan wewenang
tidak selamanya mulus.Ujian pertama datang dari putusan Mahkamah Konstitusi
atas judicial review Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang
Komisi Yudisial oleh 31 orang hakim agung terkait pengawasan hakim bertentangan
dengan UUD
NRI 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat .
Melalui Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006 menyetujui permohonan tersebut.Sebagaimana
diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi bahwa KY bukan merupakan pelaksana kekuasaan kehakiman ,tapi sebagai supporting element atau state auxilliary organ,membantu atau
mendukung pelaku kekuasaan kehakiman .Berdasarkan hal tersebut ,sebagai supporting organ (state auxilliary body) dalam kekuasaan kehakiman,KY bukanlah pelaku
cabang kekuasaan negara yang melakukan fungsi yudisial,tetapi KY didesain
untuk melakukan tugas-tugas supporting
yang dapat bersifat administratif dan manajerial terkait berbagai aspek dalam
jabatan hakim.Tidak hanya melakukan
pengawasan ,KY juga dapat berperandalamrekrutmen,pembinaan,perlindungan
dan aspek-aspek lainnya.Eksistensi KY memiliki basis konstitusional yang kokoh
dalam menjalankan kewenangannya.Sehingga,tidak tepat menghadap-hadapkan KY
dengan ancaman intervensi lembaga peradilan (Halaman 120).
Hal inilah yang menimbulkan
pertanyaan apakah manajemen kekuasaan
kehakiman berada di persimpangan jalan sehingga perlu diluruskan kembali
seperti pada judul buku ini?
Hal ini dijawab dengan memberikan berbagai latar
belakang historis,yuridis hingga filosofis beserta permasalahan yang ada hingga
temuan praktik peradilan yag didapatkan oleh KY sehingga ketika membaca buku
ini,akan terasa menyelinap ke rona kesadaran bahwa secara konseptual KY memiliki
peran yang amat penting dalam menjaga marwah peradilan.Dari optik hukum tata
negara,kiranya di era reformasi inilah kedudukan Komisi Yudisial diperkuat sehingga
secara perlahan dan pasti diharapkan akan mengubah tatanan,instrumentasi,dan
orientasi penyelenggaraan peradilan.Dengan demikian,di kemudian hari tidak lagi
ditemukan praktik penyelenggaran peradilan yang tanpa kontrol bagaikan burung
terbang bebas.Dengan demikian,buku ini sesungguhnya menyajikan
pemikiran-pemikiran tentang perlunya merekonseptualisasi dan mereposisi serta
merefungsionalisasi hingga meluruskan arah manajemen kekuasaan kehakiman dalam
format yang lebih enak dibaca karena laju penuturannya meluncur dengan lancar
dan jernih dengan berbagai pakar yang tetap mempertahankan sikap seorang akademisi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar