DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM STRUKTUR PARLEMEN INDONESIA
“WACANA PEMUSNAHAN VERSUS PENGUATAN”
MAKALAH
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ilmu Negara
Dosen Pengampu : Drs. Nazaruddin, SH.,MA
Oleh:
Andre
170200180
Grup A
LATAR BELAKANG
Kejatuhan Rezim Orde Baru pada tahun 1998 mengakibatkan perubahan yang signifikan dalam
sistem politik Indonesia. Salah satu perubahan yang dilakukan adalah proses amandemen
konstitusi terhadap struktur badan perwakilan dengan kelahiran lembaga negara baru di dalam
struktur badan perwakilan yang disebut sebagai Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Pada
dasarnya, DPD dibentuk sebagai lembaga yang merepresentasikan kepentingan rakyat di
daerah dengan basis wilayah provinsi. Perubahan Ketiga Undang Undang Dasar (UUD) 1945
mengatur tentang pendirian sekaligus kewenangan yang dimiliki oleh DPD sebagai bagian dari
lembaga perwakilan di Indonesia. Berdasarkan Perubahan Ketiga UUD 1945 tersebut, seakan
Indonesia mengadopsi struktur bikameral, dengan menjadikan DPR sebagai lembaga
perwakilan yang berbasis nasional dan DPD sebagai lembaga perwakilan yang berbasis daerah
provinsi. Selanjutnya, pemilihan umum pertama bagi anggota DPR dan DPD berdasarkan
ketentuan tersebut dilakukan pada tahun 2004. Lembaga perwakilan di Indonesia berdasarkan
Pemilu tahun 2004 mendudukkan 550 orang anggota DPR dan 128 anggota DPD, sedangkan
pada periode 2009- 2014 anggota DPR berjumlah 560 orang dan anggota DPR sebanyak 132
orang. DPD sebagai badan perwakilan dengan basis kewilayahan sebenarnya dapat memainkan
peran penting dalam penyelenggaraan pemerintahan oleh karena beberapa alasan:
Pertama, DPD dapat menjalankan fungsi penyeimbang terhadap fungsi yang dijalankan oleh
DPR (checks and balances system dalam badan perwakilan).
Kedua, terkait dengan pola rekruitmen dimana anggota DPR mewakili kepentingan daerahnya,
anggota DPD seharusnya tidak akan terjerat dengan kepentingan-kepentingan politik yang
kemungkinan besar dapat terjadi pada anggota DPR karena DPD lebih terkonsentrasi untuk
mengagregasikan dan mengartikulasikan kepentingan dearah yang diwakilinya.
Ketiga, legitimasi anggota DPD lebih kuat daripada anggota DPR karena dipilih dengan sistem
distrik (anggota DPR dipilih dengan sistem proporsional), dengan mengandalkan kekuatan dan
kemampuan individu yang dimilikinya.
Namun demikian, pada kenyataannya hingga saat ini DPD tidak terlihat menjalankan fungsinya
untuk memperjuangkan aspirasi rakyat yang diwakilinya. DPD belum memainkan peran yang
signifikan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Fungsi lembaga perwakilan selama ini
nampak lebih didominasi oleh DPR, sedangkan DPD terlihat tidak memperlihatkan kinerja
yang signifikan dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga perwakilan. Sebagai ilustrasi,
pada periode 2004-2009, DPD mengajukan 19 rancangan undang-undang (RUU) melalui DPR,
namun tidak satu pun dari RUU tersebut yang ditindaklanjuti DPR (Isra, 2010:264).
Ketidakefektifan DPD sebagai lembaga perwakilan dalam menjalankan tugasnya ditenggarai
terjadi karena beberapa faktor:
Pertama, miskonsepsi dalam menerapkan konsep bikameral.
Kedua, kewenangan DPD yang sangat terbatas dan hanya terkait dengan soal-soal kedaerahan.
Ketiga, DPD dibentuk untuk mencegah timbulnya kembali hegemoni lembaga eksekutif,
namun kemudian perimbangan kekuasaan tidak berjalan dengan efektif karena besarnya
kewenangan yang dimiliki oleh DPR (DPD, 2006:21-25).
Kondisi sebagaimana tersebut di atas tentunya bukanlah merupakan suatu kondisi ideal bagi
DPD yang seharusnya menjalankan fungsi selayaknya suatu lembaga perwakilan. Terlebih,
keberadaan DPD merupakan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 untuk mewujudkan lembaga perwakilan yang dapat mengagregasi dan mengartikulasi
kepentingan rakyat secara optimal.
.
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan dari pemaparan latar belakang diatas,dengan ini dirumuskan rumusan masalah
yang akan dikaji.
1. Bagaimana hubungan kelahiran lembaga negara baru di dalam struktur badan
perwakilan yang disebut sebagai Dewan Perwakilan Daerah dengan teori kekuasaan
dan kedaulatan yang termaktub dalam Garis Besar Program Perkuliahan Ilmu Negara ?
2. Bagaimana Peran Dewan Perwakilan Daerah sebagai pelaksana kedaulatan rakyat ?
3. Bagaimana konsep bikameral pada Dewan Perwakilan Daerah?
4. Ditinjau dari Teori Bentuk Negara pada Garis Besar Program Perkuliahan Ilmu
Negara,bagaimana eksistensi Dewan Perwakilan Daerah mencerminkan bentuk
negara?
5. Apa implikasi yang terjadi jika kewenangan legislasi Dewan Perwakilan Daerah
ditingkatkan?
6. Dimanakah letak kewenangan Dewan Perwakilan Daerah,jika landasan konstitusional
menentukan bahwa yang memiliki wewenang untuk membuat persetujuan Rancangan
Undang-Undang menjadi Undang-Undang hanyalah Dewan Perwakilan Rakyat dan
Presiden?
7. Ditinjau dari teori lembaga perwakilan yang termaktub dalam GBPP Ilmu Negara,apa
saja fungsi dari Dewan Perwakilan Daerah?
8. Bagaimana mengoptimalkan peran Dewan Perwakilan Daerah sebagai kamar kedua di
dalam lembaga perwakilan di Indonesia?
PEMBAHASAN
Berdasarkan teori kekuasaan dan kedaulatan yang mana relevan dengan Garis Besar Program
Perkuliahan (GBPP) pada mata kuliah Ilmu Negara, dikenal adanya doktrin pemisahan
kekuasaan (separation of powers) yang dikemukakan oleh Montesquieu. Terdapat tiga fungsi
pemerintahan, yaitu fungsi legislasi (legislation function) yang dilekatkan pada badan
legislatif, fungsi eksekusi (executive function) yang diserahkan pada badan eksekutif, dan
fungsi ajudikasi (adjudication function) yang diberikan pada badan kehakiman/ peradilan
(judiciary). Fungsi-fungsi ini dijalankan oleh badan-badan yang berbeda untuk menghindari
adanya pemusatan kekuasaan pada satu tangan, yang diasumsikan akan berakibat pada tirani
kekuasaan, sebagaimana dikemukakan oleh Montesquieu (dalam Cohler et al., 2002:21):
“When the legislative and executive powers are united in the same person, or in the
same body of magistrates, there can be no liberty. Again, there is no liberty, if the
judiciary power be not separated from the legislative and executive. Were it joined by
legislative, the life and liberty of the subject would be exposed to arbitrary control; for
the judge would then be legislator. Were it joined to the executive power, the judge
might behave with violence and oppression. There would be an end to everything, where
the same man, or the same body, whether of the nobles or of the people, to exercise
those three powers, that of enacting laws, that executing the public resolutions, and of
trying the cases of individuals.”
Badan legislatif pada awalnya semata-mata diarahkan sebagai badan pembentuk undangundang, yang di berbagai negara dilekatkan pada badan perwakilan yang ada pada negara
tersebut (misalnya Parliament di Inggris, Congress di AS, Staten Generaal di Belanda, dan
MPR di Indonesia). Kekuasaan membentuk undang-undang diserahkan kepada badan tersebut
karena badan legislatif dianggap sebagai representasi dari rakyat di suatu negara (Hall, 2002:6-
9).
Sesuai dengan prinsip kedaulatan rakyat, maka pengaturan yang menyangkut kepentingan
rakyat harus disetujui oleh rakyat, yang dalam konsep demokrasi tidak langsung (indirect
democracy) diwakilkan kepada suatu badan perwakilan yang merupakan representasi rakyat.
Badan legislatif dalam realita penyelenggaraan pemerintahan tidak dapat menjelma
sepenuhnya menjadi satu-satunya badan yang memiliki kewenangan untuk membentuk
Undang-undang (dalam arti materiil). Badan legislatif hanya mempunyai kewenangan untuk
membentuk Undang-undang dalam arti formil (dan di sebagian negara juga memiliki
kewenangan membentuk dan merubah Undang-Undang Dasar). Kewenangan untuk
membentuk peraturan perundang-undangan di luar undang-undang (dan/atau Undang-Undang
Dasar) diserahkan kepada badan eksekutif, namun demikian kewenangan tersebut hanya dapat
dilakukan sepanjang ditentukan atau berdasarkan Undang-Undang atau Undang-Undang
5
Dasar. Dengan demikian maka kekuasaan badan legislatif untuk membentuk undang-undang
tetap terjaga, karena peraturan perundang-undangan di bawahnya harus berpedoman pada
Undang-undang (dan/atau Undang-Undang Dasar) yang dibuat oleh badan legislatif. Pada sisi
lain, walaupun pada awalnya badan legislatif (yang merupakan badan perwakilan dari rakyat)
semata-mata menjalankan fungsi pembentukan Undang-Undang (yang terbatas pada UndangUndang dalam arti formil), namun ternyata mengalami perluasan fungsi diluar pembentukan
Undang-Undang.
Fungsi lain yang dijalankan, antara lain adalah (Heywood, 2002:316-319):
1. Fungsi representasi (representation function).
2. Fungsi memberikan pertimbangan (deliberation function).
3. Fungsi pemeriksaan/penelitian (scrutinize)
4. Fungsi rekruitmen dan pelatihan (recruitmen and training).
5. Fungsi memberikan legitimasi (legitimation function).
Fungsi lain yang dijalankan oleh badan legislatif tersebut menyebabkan peristilahan badan
legislatif (apabila badan legislatif diartikan sebagai badan pembentuk UU) menjadi tidak tepat,
oleh karenanya secara lebih luas dapat digunakan istilah lembaga perwakilan saja. Sebagai
contoh, dalam istilah asing saat ini digunakan istilah assembly atau parliament untuk
menggantikan istilah legislature. Pembahasan mengenai lembaga perwakilan juga terkait
dengan struktur dari lembaga perwakilan itu sendiri. Struktur lembaga perwakilan yang lazim
ditemui pada berbagai negara adalah lembaga perwakilan dengan satu kamar (one chamber,
unicameral) dan lembaga perwakilan dengan dua kamar (two chambers, bicameral)
(Heywood, 2002:320).
Pada lembaga perwakilan unikameral hanya ada satu kamar yang mewakili rakyat, seperti
Knesset di Israel atau Parliament di New Zealand. Dengan demikian, hanya ada satu badan
pada suatu negara yang menjadi lembaga perwakilan rakyat. Sedangkan, lembaga perwakilan
bikameral terdiri dari dua kamar, yaitu the lower house (yang memiliki anggota paling banyak
dan masa jabatan lebih pendek) dan the upper house.
Perbedaan antara kedua kamar dalam
lembaga perwakilan tersebut dapat ditentukan oleh dua faktor, yaitu sistem rekruitmen
keanggotaannya dan pembagian kewenangan di antara keduanya dalam menjalankan tugastugasnya. Pada awalnya lembaga perwakilan dua kamar ini digunakan pada negaranegara
federal untuk memberikan tempat kepada perwakilan negaranegara bagian sekaligus mencegah
terjadinya pertentangan antara negara federal dan negara-negara bagian akibat tidak
terakomodasinya kepentingan negara bagian. Kamar pertama akan merepresentasikan
kepentingan nasional, sedangkan kamar kedua akan lebih merepresentasikan atau berorientasi
pada kepentingan daerah.
Namun demikian dalam perkembangannya, negara-negara kesatuan juga menggunakan
lembaga perwakilan dua kamar ini, terutama yang menganut sistem desentralisasi. Selain itu
dengan adanya dua kamar dalam lembaga perwakilan diharapkan dapat menjalankan fungsi
checks and balances di dalam lembaga perwakilan, misalnya dalam hal pembentukan UndangUndang yang harus mendapatkan pengesahan dari kedua kamar tersebut. Dalam hal pembagian
kewenangan dalam lembaga perwakilan bikameral, pada umumnya the lower house memiliki
kewenangan yang lebih besar daripada the upper house (di negara Amerika Serikat dan Brazil,
the upper house memiliki kewenangan yang lebih besar), sehingga seringkali disebut sebagai
soft bicameralism. Sedangkan apabila kewenangan kedua kamar tersebut sama kuat (seperti
The Italian Chambers of Deputies dan The Italian Senat), disebut sebagai strong bicameralism
(Heywood, 2002:322).
Giovanni Sartori mengemukakan tiga jenis bikameral, yaitu assymetric bicameralism/weak
bicameralism/soft bicameralism apabila salah satu kamar mempunyai posisi yang dominan
dibanding kamar yang lain, symmetric bicameralism/strong bicameralism apabila kedua kamar
mempunyai kewenangan yang hampir seimbang, dan perfect bicameralism apabila
kewenangan yang dimiliki kedua kamar tersebut sama besarnya (Sartori, 1997:184). Arend
Lijphart menggunakan istilah strong bicameralism dan weak bicameralism untuk menjelaskan
kewenangan yang dimiliki oleh kedua kamar dalam lembaga perwakilan (Lijphart, 1999:203-
205)
Eksistensi Dewan Perwakilan Daerah jelas mencerminkan bentuk negara”federal
semu”.Menurut C.F.Strong dalam buku-nya Modern Political Constitutions salah satu ciri
pokok bentuk negara federal adalah adanya pembagian kekuasaan antara negara federal dan
negara-negara bagian.Meskipun amandemen ketiga Undang-Undang Dasar Tahun 1945 tidak
secara eksplisit mengatur pembagian kekuasaan antara pemerintah pusat dan pemerintah
daerah,tetapi ketetapan yang diatur dalam Pasal 22D jelas mengindifikasikan bidang-bidang
kekuasaan yang menjadi kewenangan Dewan Perwakilan Daerah.
Dimana nampak jelas bahwa
semua masalah yang berhubungan atau yang berkaitan dengan kepentingan daerah,pemerintah
pusat perlu terlebih dahulu mendapatkan persetujuan atau pertimbangan dari Dewan
Perwakilan Daerah.Sementara itu menurut Saldi Isra1
bahwa:
Jika ada keraguan bahwa proses legislasi yang melibatkan dua kamar (DPR dan DPD)
serta ditambah dengan pemerintah akan menjadikan proses tidak efisien,tidak perlu
menjadi kekhawatiran berlebihan.Selain bisa dirancang desain yang menghentikan upaya
menunda-nunda (seperti filibuster di AS), proses pembahasan yang dipraktikan di DPR saat
ini harus diperbaiki. Proses yang dimaksudkan di sini, lebih pada pengalaman tidak terintegrasinya daftar inventarisasi masalah (DIM) DPR.
Selama ini, dalam pembahasan
dengan pemerintah, DPR selalu datang dengan DIM setiap fraksi. Dengan pola itu, posisi
pemerintah dalam pembahasan DIM bukan berhadapkan dengan DPR sebagai institusi
tetapi berhadapan dengan fraksifraksi di DPR. Padahal, merujuk Pasal 20 ayat (2) dan ayat
(3) UUD 1945, pembahasan bersama dilakukan oleh DPR dan pemerintah, bukan antara
pemerintah dan fraksi-fraksi. Sejauh ini, perlambatan proses legislasi lebih pada ketiadaan
mekanisme pembahasan yang efisien.
Pengembangan konsep pembentukan undang-undang secara utuh melalui tripartit (antara
DPR, DPD, dan Presiden) diharapkan mampu meningkatkan kualitas undang-undang di
Indonesia. Jadi kewenangan DPD tidak lagi hanya sampai kepada pembahasan semata,
melainkan DPD dimampukan untuk mengeluarkan keputusan yang sifatnya mengikat.
Keputusan meningkatkan kewenangan legislasi DPD akan berimplikasi juga terhadap 2
(dua) pilihan:
1. DPD diberi kewenangan dalam pembentukan undang-undang tertentu
2. DPD diberi kewenangan dalam pembentunkan undang-undang (seluruh undang-undang)
Hal terpenting dalam pembentukan undang-undang adalah persetujuan. Oleh karena yang
memegang kekuasaan pembentukan undang-undang adalah DPR maka keputusan
persetujuan pun ada pada DPR. Hanya untuk mewujudkan prinsip checks and balances antarkekuasaan negara dalam rangka menghindari kesewenang-wenangan, maka Presiden
diberikan kewenangan juga untuk melakukan persetujuan bersama-sama dengan DPR.
Landasan konstitusional tersebut menentukan bahwa setiap rancangan undang-undang
dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama2
Kemudian yang menjadi pertanyaan dimanakah letak kewenangan DPD, jika landasan
konstitusional menentukan bahwa yang memiliki wewenang untuk membuat persetujuan
RUU menjadi undang-undang hanyalah DPR dan Presiden? Terkait dengan proses
pembentukan undang-undang, Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan
Perwakilan Rakyat rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah,
hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan
keuangan pusat dan daerah, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan
daerah .
2 Pasal 20 ayat (2) UUD NRI 1945
3 Pasal 22D ayat (1) UUD NRI 1945.
Menurut Mahkamah Konstitusi Kata “dapat” dalam Pasal 22D ayat (1) UUD 1945 tersebut merupakan pilihan
subjektif DPD “untuk mengajukan” atau “tidak mengajukan” RUU yang berkaitan
dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran
serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi
lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah sesuai
dengan pilihan dan kepentingan DPD.
Kata “dapat” tersebut bisa dimaknai juga sebagai sebuah hak dan/atau kewenangan,
sehingga analog atau sama dengan hak dan/atau kewenangan konstitusional Presiden
dalam Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, “Presiden berhak mengajukan
rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat”. Dengan demikian,
DPD mempunyai posisi dan kedudukan yang sama dengan DPR dan Presiden dalam
hal mengajukan RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan
daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan
sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan
perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Kemudian,ditinjau dari teori lembaga perwakilan yang juga termaktub pada Garis Besar
Program Perkuliahan Ilmu Negara ,konsep sistem perwakilan, baik dalam sistem perwakilan
satu kamar (unikameral), dua kamar (bikameral), maupun banyak kamar (multikameral),
terdapat prasyarat bahwa kamar di dalam lembaga perwakilan yang dimaksud mempunyai
kewenangan yang jelas (original power).
Perbedaan di antara kamarkamar yang ada di dalam
lembaga perwakilan tersebut hanyalah pada besaran kewenangan yang dimiliki, yang pada
umumnya lebih banyak pada kamar yang lebih rendah (the lower house).
Apabila melihat
kewenangan yang dimiliki oleh DPD berdasarkan UUD 1945, sesungguhnya tidak terlihat
adanya kewenangan tersendiri. yang dimiliki oleh DPD. Pasal 22D ayat (1) UUD 1945
menyatakan bahwa “DPD dapat mengajukan kepada DPR RUU yang berkaitan dengan
otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan
daerah, pengelolaan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan
kekuasaan pusat dan daerah”. Pasal 22D ayat (2) UUD 1945 menyatakan “DPD ikut membahas
RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan,
pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya
ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, serta memberikan
pertimbangan kepada DPR atas RUU APBN dan RUU yang berkaitan dengan pajak,
4 Putusan MK No. 92/PUU-X/2012, h. 244-245.
9
pendidikan, dan agama”.
Dalam pasal-pasal tersebut di atas terlihat bahwa DPD hanya berhak
mengajukan dan ikut-serta membahas RUU (secara limitatif). Selanjutnya kewenangan untuk
melanjutkan (atau tidak melanjutkan) pembahasan RUU tersebut berada di tangan DPR, oleh
karena DPR yang mempunyai kewenangan untuk menyetujui RUU menjadi UU, sedangkan
DPD hanya ikut serta dalam pembahasan RUU.
Hal ini juga tidak dapat dilepaskan dari
ketentuan Pasal 20 UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa kekuasaan membentuk UU berada
pada DPR, serta pembahasan RUU dilakukan oleh DPR dan Presiden. Ketentuan Pasal 20 UUD
NRI 1945 tidak memberikan ruang kepada DPD untuk ikut memberikan persetujuan terhadap
RUU menjadi UU. Selanjutnya dalam hal pengawasan, Pasal 22D ayat (3) UUD NRI 1945
menyatakan bahwa “DPD dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan UU mengenai
otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan
daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN,
pajak, pendidikan, dan agama serta menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada DPR
sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti.” Ketentuan ini kembali memperlihatkan
tidak adanya kewenangan tersendiri (original power) yang dimiliki oleh DPD, karena pada
akhirnya hasil pengawasan itu diserahkan kepada DPR, dan DPR berdasarkan kewenangan
yang dimilikinya menindaklanjuti (atau tidak menindaklanjuti) bahan pertimbangan dari DPD.
Kewenangan DPD berdasarkan Pasal 22D UUD NRI 1945 tidak menunjukkan adanya
kewenangan tersendiri (original power) DPD. DPD seakan-akan hanya menjadi alat
kelengkapan dari DPR dalam menjalankan fungsi legislasi, kontrol, dan anggaran karena
sesungguhnya kewenangan hanya dimiliki oleh DPR.
Hal ini sangat berbeda apabila kita
bandingkan dengan negara-negara lain yang menerapkan sistem bikameral.
House of Lords di
Inggris misalnya, walaupun kewenangan dalam bidang legislasi dibatasi, namun tetap memiliki
kewenangan untuk mengajukan RUU dan memveto RUU yang berasal dari House of Commons
(dalam jangka waktu satu tahun). Bahkan di Amerika Serikat, walaupun Senat mendominasi
proses pembentukan UU, RUU mengenai anggaran negara harus lebih dahulu dimasukkan
melalui House of Representative. House juga memiliki kewenangan untuk mengajukan
tuntutan (impeachment).
Dalam menjalankan fungsi legislasi, DPD tidak menjalankan
fungsinya secara utuh. Hal ini terjadi karena DPD tidak ikut menjalankan fungsi legislasi
sampai pada proses akhir, yaitu ketika RUU disetujui untuk menjadi UU. Dalam pembahasan
RUU menjadi UU, DPD hanya ikut membahas dalam pembicaraan Tingkat I, sedangkan untuk
pembicaraan Tingkat II, yang akan bermuara pada persetujuan RUU menjadi UU hanya
melibatkan DPR dan Presiden. Berdasarkan alur pembentukan UU sebagaimana tergambar di
atas, terlihat bahwa DPD tidak menjalankan fungsi legislasi secara utuh. DPD hanyalah
menjalankan fungsi legislasi pada awal proses pembentukan UU, yaitu sampai dengan
pembicaraan Tingkat I.
Selanjutnya, pembicaraan sampai dengan persetujuan RUU menjadi UU dilakukan oleh DPR
dan Presiden. Terlebih, tidak ada jaminan bahwa keterlibatan DPD di awal proses pembahasan
tersebut akan diakomodasi pada pembahasan tingkat selanjutnya.
Dengan demikian, dapat terjadi bahwa DPR dan Presiden tidak memperhatikan pertimbanganpertimbangan yang diberikan oleh DPD pada awal pembentukan UU. Berdasarkan hal tersebut
di atas, dapat disimpulkan bahwa fungsi legislasi DPD sebagai bagian dari lembaga perwakilan
sangat tidak signifikan. Fungsi legislasi sebenarnya didominasi oleh DPR, oleh karena DPR
menjadi penentu akhir dalam menjalankan fungsi legislasi, sedangkan DPD hanyalah berperan
pada awal dilakukannya fungsi legislasi oleh lembaga perwakilan. Fungsi Representasi DPD
Pola rekruitmen anggota DPD dilakukan dengan basis kewilayahan, dimana orang-orang yang
terpilih menjalankan fungsi agregasi dan artikulasi kepentingan daerah atau wilayah yang
diwakilinya.
Dengan demikian, DPD tentunya diharapkan menjadi jembatan untuk
menyalurkan aspirasi rakyat dari daerah-daerah yang diwakilinya. Basis wilayah yang
dijadikan daerah pemilihan anggota DPD adalah Propinsi. Di setiap Propinsi, terdapat 4 orang
anggota DPD yang mewakili daerahnya. Dengan demikian, saat ini terdapat 132 orang anggota
DPD yang mewakili 33 Propinsi di Indonesia. Fungsi representasi ini sebenarnya secara ideal
dapat dilakukan oleh DPD. Terdapat beberapa alasan yang melatarbelakanginya.
Pertama, sistem pemilihan anggota DPD menggunakan sistem distrik. Artinya, empat kandidat
anggota DPD yang mendapatkan suara terbanyak di daerahnyalah yang mewakili rakyat di
daerah tersebut (the winner takes all). Sesuai dengan karakteristik sistem distrik, maka
sesungguhnya anggota DPD memiliki kedekatan dengan konstituen.
Dengan demikian, alur
komunikasi di antara anggota DPD dan konstituennya seharusnya dapat berjalan dengan lancar.
Dalam rangka menjaring aspirasi dari konstituen, maka DPD berencana membangun kantor
perwakilan DPD di setiap propinsi di Indonesia. Terlepas dari persoalan anggaran, pengadaan
kantor perwakilan dapat menjadi salah satu alternatif solusi bagi DPD untuk melakukan
komunikasi dengan konstituennya, termasuk melakukan fungsi artikulasi kepentingan rakyat
di daerahnya masing-masing dengan menerima aspirasi dari rakyat. Selain itu, kantor
perwakilan dapat menjadi salah satu sarana untuk mensosialisasikan keberadaan DPD di
daerah. Harus diakui, hingga saat ini masih banyak rakyat yang belum mengetahui secara jelas
apa fungsi yang dijalankan oleh DPD. Namun demikian, pembangunan gedung tersebut tentu
juga harus mempertimbangkan prinsip efisiensi dalam penggunaan anggaran. Sebagaimana
dipahami, dana yang digunakan merupakan dana publik. Dengan demikian, maka
penggunaannya harus dapat dipertanggungjawabkan. Selanjutnya, ketika kantor perwakilan
tersebut pada akhirnya disetujui untuk dibangun, maka kantor perwakilan tersebut tentu harus
digunakan untuk sebesar-besarnya kepentingan rakyat, dalam hal ini konstituen dari para
anggota DPD di daerahnya masing-masing. Dalam hal fungsi deliberasi, Pasal 23F UUD 1945
11
menyatakan bahwa DPD memberikan pertimbangan (deliberasi) kepada DPR dalam rangka
pemilihan anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Pasal tersebut menunjukkan bahwa
sesungguhnya DPD menjalankan fungsi deliberasi dalam rangka pemilihan jabatan publik.
Namun demikian, yang perlu diperhatikan adalah sampai sejauhmana pertimbangan yang
diberikan oleh DPD tersebut memiliki daya ikat terhadap fihak yang diberikan pertimbangan,
yaitu DPR.
Sebagai lembaga negara, kedudukan DPR dan DPD sebenarnya berada pada
tingkatan yang sama, sebagaimana kedudukan lembaga negara yang lain. Namun demikian,
pada kenyataannya kewenangan yang dimiliki oleh DPR dan DPD sangat berbeda. Dalam hal
fungsi deliberasi terkait dengan pemilihan anggota BPK, pertimbangan yang diberikan oleh
DPD sama sekali tidak memiliki daya ikat terhadap keputusan DPR.
Hal ini berbeda misalnya
dengan fungsi deliberasi yang dimiliki oleh lembaga-lembaga lain, sebagai contoh fungsi
deliberasi yang dimiliki oleh DPR dalam hal pengangkatan duta dan konsul oleh Presiden, serta
penerimaan penempatan duta dari negara lain. Walaupun DPR hanya memberikan
pertimbangan, Presiden wajib memperhatikan pertimbangan yang diberikan oleh DPR.
Bahkan, pada kenyataannya DPR ikut menentukan apakah seseorang dapat diangkat oleh
Presiden untuk menjadi duta atau konsul. Dengan demikian, secara ideal DPR juga harus
memperhatikan pertimbangan yang diberikan oleh DPD dalam hal pemilihan anggota BPK.
Walaupun di dalam UUD 1945 tidak terdapat ketentuan yang menyatakan bahwa DPR wajib
memperhatikan pertimbangan DPD, namun sejatinya terdapat etika politik dimana DPR harus
memperhatikan pertimbangan tersebut. Hal ini terkait dengan penghormatanterhadap
pertimbangan yang diberikan oleh lembaga lain yang berkedudukan setingkat, sebagaimana
Presiden memperhatikan pertimbangan DPR dalam pengangkatan duta dan konsul. Prinsip
semacam ini di dalam negara modern disebut sebagai konvensi, dimana tidak ada ketentuan
tertulis yang mengatur tentang suatu hal, namun terbentuk kebiasaan yang telah berjalan dalam
perjalanan penyelenggaraan negara yang diterapkan sebagai sesuatu yang mengikat.
Sebagai
contoh, di Inggris tidak ada ketentuan yang mewajibkan Raja atau Ratu Inggris untuk selalu
mengesahkan RUU yang berasal dari Parlemen. Namun demikian, telah terbentuk suatu
konvensi–terkait dengan penghormatan terhadap sistem Monarki Konstitusional–bahwa Raja
atau Ratu tidak boleh menolak mengesahkan RUU yang berasal dari Parlemen.
Pasal 22D ayat (3) UUD NRI 1945 menyatakan bahwa DPD dapat melakukan pengawasan atas
pelaksanaan UU mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan
daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi
lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan, dan agama
serta menyampaikan hasil pengawasannya kepada DPR sebagai pertimbangan untuk
ditindaklanjuti.
12
Dalam fungsi pemeriksaan/ penelitian ini, kembali terlihat bahwa DPD tidak menjalankan
fungsinya secara penuh. Hal ini terjadi karena DPD menyampaikan hasil pengawasannya
kepada DPR untuk digunakan sebagai bahan pertimbangan oleh DPR. Dengan demikian, DPD
sebenarnya hanyalah menjalankan fungsi pertimbangan. Pada awalnya, memang benar bahwa
DPD menjalankan fungsi pemeriksaan/penelitian yang bersifat limitatif karena terdapat
pembatasan ruang lingkup pelaksanaan UU yang dapat diawasi oleh DPD. Namun dalam
proses selanjutnya, DPD hanya menyerahkan hasil pengawasan tersebut kepada DPR untuk
ditindaklanjuti.
Dengan demikian, DPD tidak memiliki instrumen untuk menindaklanjuti hasil
pengawasan yang telah dilakukannya. Hal tersebut berbeda dengan instrumen yang dimiliki
oleh DPR. DPR menjalankan fungsi pengawasan tidak hanya terkait dengan pelaksanaan UU,
namun juga terhadap pelaksanaan APBN serta kebijakan pemerintah. Fungsi pengawasan
tersebut antara lain dapat dilakukan melalui:
1. Pengawasan melalui rapat kerja dengan pemerintah.
2. Pengawasan melalui rapat dengar pendapat dengan pejabat pemerintah yang mewakili
instansinya.
3. Pengawasan melalui rapat dengar pendapat umum.
4. Pengawasan berdasarkan pengaduan masyarakat.
5. Pengawasan berdasarkan hasil kunjungan kerja pada masa reses.
6. Pengawasan berdasarkan hasil pemeriksaan BPK.
7. Pengawasan berdasarkan hasil pengawasan DPD.
Selanjutnya, pelaksanaan fungsi pemeriksaan/penelitian oleh DPR tersebut dapat
ditindaklanjuti dengan menggunakan hak-hak DPR, yang terdiri dari
hak interpelasi untuk meminta keterangan pemerintah tentang suatu kebijakan pemerintah yang
strategis dan penting serta berdampak luas pada kehidupan berbangsa dan bernegara serta
hak angket untuk mengadakan penyelidikan terhadap kebijakan pemerintah yang penting dan
strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang diduga
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Dengan demikian, dapat dilihat bahwa
fungsi pemeriksaan/penelitian yang dijalankan oleh DPR sangat kompleks, sebaliknya fungsi
pemeriksaan/penelitian yang dijalankan oleh DPD sangat sempit, bahkan hanya menjadi salah
satu bagian saja dari fungsi pemeriksaan/ penelitian yang dimiliki oleh DPR. Selanjutnya,
fungsi yang sebenarnya dilakukan oleh DPD sebenarnya hanyalah fungsi memberikan
pertimbangan kepada DPR terhadap hasil pengawasan yang telah dilakukan oleh DPD.
Sebagaimana lembaga perwakilan di berbagai negara, DPD dapat dijadikan ajang persemaian
untuk merekrut dan melatih calon-calon pejabat publik baik pada tingkat lokal, regional,
maupun nasional.
Dengan demikian dapat saja terjadi bahwa anggota DPD mencalonkan diri atau bahkan terpilih
menjadi bupati, walikota, gubernur, bahkan presiden sekalipun. Harus difahami bahwa dengan
menjadi anggota DPD, maka seorang individu secara ideal akan mendapatkan pengetahuan
yang berharga tentang hal-hal yang terkait dengan penyelenggaraan pemerintahan.
Selanjutnya, posisi sebagai anggota DPD akan mendekatkan dirinya dengan isu-isu publik.
Bukan tidak mungkin posisi sebagai seorang anggota DPD juga meningkatkan popularitas
maupun elektabilitas seseorang. Di Amerika Serikat, beberapa Presiden terpilih setelah
menduduki kursi Senator. Hal tersebut terjadi karena sebagai Senator, mereka telah terbiasa
menangani hal-hal yang terkait dengan kepentingan publik dan penyelenggaraan pemerintahan.
Selain itu, sebagai anggota lembaga perwakilan, seorang individu akan mendapatkan banyak
pelajaran mengenai kepemimpinan dan juga pengetahuan tentang pemecahan masalah-masalah
publik.
Sebagai simpulan,Jika keputusan DPD menjadi jawaban untuk menyempurnakan struktur
parlemen dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, maka wewenang Parlemen harus
ditingkatkan kualitasnya.
Benar bahwa dalam perkembangannya, konsep bikameral banyak
diterapkan di negara-negara federal, namun begitu besar dan kompleksnya kehidupan
berbangsa dan bernegara dengan kedaulatan rakyat sebagai landasan konstitusionalnya, maka
kebutuhan akan kamar kedua menjadi fundamental untuk mewujudkan prinsip “semua harus
terwakili.” Sebagaimana dikemukakan Jimly Asshiddiqie, bahwa
Most unitary states tend to adopt the unicameral system, but all federal states have bicameral
structure of parliament. However, there are also big unitary states with bicameral
parliaments, although with an unequeal status.
Selanjutnya Jimly Asshiddiqie mengungkapkan bahwa,
thus bicameral system is in general classifies by some experts in
(a) strong bicameralism, and
(b) soft bicameralism.
Hamipir sama dengan Giovanni Sartori yang membagi model bikameral menjadi tip model,
yaitu: (1) asymmetric bicameralism/weak bicameralism/soft bicameralism,
yaitu dalam hal kekuatan salah satu kamar lebih dominan terhadap kamar yang lainnya;
(2) symmetric bicameralism atau strong bicameralism,
yaitu apabila kekuatan antara kamar nyaris sama kuat; dan
(3) perfect bicameralism
yaitu apabila kekuatan antara kedua kamar betul-betul seimbang.
Terkait dengan tiga model bikameral yang dikemukakan Sartori, Denny Indrayana
berpandangan bahwa:
weak bicameralism baiknya dihindari karena akan menghilangkan tujuan dibentuknya
bikameral itu sendiri, yaitu sifat saling kontrol antarkamar. Bagaimanapun, dominasi salah
satu kamar menyebabkan weak bicameralism hanya menjadi bentuk lain dari sistem
parlemen unicameral Sementara itu, di sisi lain, perfect bicameralism bukan pula menjadi
pilihan ideal karena wewenang yang terlalu imbang di antara Majelis Rendah dan Majelis
Tinggi, yang seakan-akan bertujuan melancarkan fungsi control antarkamar parlemen,
berpotensi menyebabkan kebuntuan tugas-tugas parlemen. Karena itu, pilihannya adalah
sistem strong bicameralism.
Oleh karena itu, ke depan struktur parlemen kita sebaiknya mengarah kepada bikameralisme
yang bersifat strong bicameralism (tentu melalui amandemen UUD 1945). Soft bicameralism
pada substansinya telah kita praktikkan melalui parlemen saat ini. Gambaran kewenangan yang
dimiliki DPD memperlihatkan bahwa DPD merupakan lembaga yang mempunyai legitimasi
yang berkualitas namun “miskin” kewenangan. Tak heran jika berbagai kalangan mengatakan
bahwa DPD seolah-olah merupakan auxiliary terhadap DPR.
Sehingga,Bangunan Strong Bicameralism diharapkan mampu menjadi penopang utama dalam
mewujudkan cita negara terkait dengan otonomi daerah. Sehingga akan berimplikasi pula pada
proses pembentukan undangundang (melibatkan DPR-DPD-Presiden) yang harmonis dan
berkualitas.
Dengan kondisi tersebut maka potensi sistem presidensial dan struktur parlemen
yang baik dapat diwujudkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar