KESEMPATAN BAGI
MASKAPAI ASING UNTUK MELAYANI PENERBANGAN DOMESTIK
Andre
Wilayah udara nasional
suatu Negara di samping sebagai wilayah pertahanan[1]
juga sebagai sumber kekuatan ekonomi Negara, yang pada gilirannya secara tidak
langsung sebagai sarana meningkatkan kesejahteraan rakyat.Melalui wilayah udara
yang berada di bawah kedaulatannya, Negara dapat memanage wilayah udaranya bagi
lintas penerbangan.Pengembangan jalur-jalur penerbangan secara luas, baik dalam
lingkup nasional maupun lingkup internasional sangat diperlukan dalam era
liberalisasi perdagangan, termasuk perdagangan jasa penerbangan.Liberalisasi
perdagangan jasa penerbangan dimaksudkan memperluas akses pasar bagi penyedia
jasa asing dan atau mengurangi perlakuan diskriminatif terhadap penyedia
jasa.Dewasa ini perdagangan jasa, khususnya jasa penerbangan telah mendapatkan
pengaturan dalam GATS (General Agreement on Trade in Services) dengan memberi
akses pada prinsip cabotage yaitu
maskapai asing dapat melayani penerbangan domestik.
Di Indonesia, dalam Pasal 108 ayat (3) UURI No. 1 Tahun 2009 jo.
Perpres Nomor 39 Tahun 2014,yang pada hakikatnya menyatakan bahwa kepemilikan
saham nasional harus tetap lebih besar dari pemegang modal asing (single
majority) dengan prosentasi minimal 51% untuk kepemilikan saham nasional.Sehingga
tidak dibenarkan maskapai asing melayani penerbangan domestik.Namun, terhadap ketentuan single majority tersebut, praktek
dilapangan menunjukkan gejala yang memperlemah posisi pemodal nasional[2].Hal
ini di karenakan besaran modal nasional yang 51% terpecah menjadi beberapa
pemegang saham atau pemilik modal, sehingga kepemilikannya tidak dapat single
majority.Sedangkan pemodal asing tetap 49% dikuasai oleh modal asing, sehingga
kebijakan perusahaan berada di perusahaan penerbangan asing[3].
Contoh yang demikian dapat di lihat pada para pemilik saham lokal pada PT
Indonesia Air Asia (IAA), Maskapai Tiger Airways, dan Maskapai Silk Air.PT IAA
dikuasai oleh empat pihak, 51% kepemilikan saham ada pada investor nasional,
yaitu keluarga Sandjaja Wilaya 21%, Keluarga Pin Paris 20%, PT Fersindo
Nusaperka sebanyak 20% dan AirAsia Berhad Malaysia sebanyak 49%[4]
Adanya praktek-praktek
penerbangan dalam negeri yang demikian, walaupun secara yuridis formal tidak
melanggar undang-undang penerbangan, namun pada hakikatnya telah terjadi
praktek terselubung atas pelanggaran prinsip cabotagesehingga membuka peluang
terjadinya penyelundupan hukum investasi, yang pada gilirannya pasar modal
nasional dikuasai oleh pihak asing melalui badan hukum nasional dan hukum
nasional yang dalam hal ini bentuknya cabotage terselubung, bila tidak mau
dikatakan bahwa telah melanggar prinsip cabotage sehingga prinsip single majority belum maksimal
mengakomodir peran maskapai dalam negeri[5]dan
jawabannya ada di pemerintah apakah akan meninggalkan prinsip cabotage yang sebenarnya dengan holding
penerbangan telah memberi ruang bagi maskapai asing untuk melayani penerbangan
domestik atau memberi ruang yang lebih besar pada kedaulatan udara Republik
Indonesia dengan melarang adanya holding penerbangan ?
[2] Martono,
2009, Hukum Penerbangan Berdasarkan UURI No.1 tahun 2009, Mandar Maju,
Bandung., hlm.11.
[3] E.Saefullah Wiradipradja, 1990, Tinjauan
Singkat Atas Berbagai Perjanjian Internasional di Bidang Hukum Udara, Lisan
Bandung, 1990, hlm.21
[4] Rasyid,2011, Investor Lokal AirAsia sepakat
buat Holding http://edukasi.kompas.com/read/2011/06/16/12025843/Investor.Lokal.AirAsia.Sepakat.Buat.Holding
diakses pada 5 September 2019 pukul 07.05
[5] Adi
Kusumaningrum, 2012, Prinsip Cabotage Dalam Industri Penerbangan Indonesia di
Era Asia Single Aviation Market 2015, Arena Hukum, hlm.3
Tidak ada komentar:
Posting Komentar