Minggu, 12 April 2020

Mosi Kesempatan Bagi Maskapai Asing Untuk Melayani Penerbangan Domestik


KESEMPATAN BAGI MASKAPAI ASING UNTUK MELAYANI PENERBANGAN DOMESTIK
Andre
Wilayah udara nasional suatu Negara di samping sebagai wilayah pertahanan[1] juga sebagai sumber kekuatan ekonomi Negara, yang pada gilirannya secara tidak langsung sebagai sarana meningkatkan kesejahteraan rakyat.Melalui wilayah udara yang berada di bawah kedaulatannya, Negara dapat memanage wilayah udaranya bagi lintas penerbangan.Pengembangan jalur-jalur penerbangan secara luas, baik dalam lingkup nasional maupun lingkup internasional sangat diperlukan dalam era liberalisasi perdagangan, termasuk perdagangan jasa penerbangan.Liberalisasi perdagangan jasa penerbangan dimaksudkan memperluas akses pasar bagi penyedia jasa asing dan atau mengurangi perlakuan diskriminatif terhadap penyedia jasa.Dewasa ini perdagangan jasa, khususnya jasa penerbangan telah mendapatkan pengaturan dalam GATS (General Agreement on Trade in Services) dengan memberi akses pada prinsip cabotage yaitu maskapai asing dapat melayani penerbangan domestik.
Di Indonesia, dalam Pasal 108 ayat (3) UURI No. 1 Tahun 2009 jo. Perpres Nomor 39 Tahun 2014,yang pada hakikatnya menyatakan bahwa kepemilikan saham nasional harus tetap lebih besar dari pemegang modal asing (single majority) dengan prosentasi minimal 51% untuk kepemilikan saham nasional.Sehingga tidak dibenarkan maskapai asing melayani penerbangan domestik.Namun, terhadap ketentuan single majority tersebut, praktek dilapangan menunjukkan gejala yang memperlemah posisi pemodal nasional[2].Hal ini di karenakan besaran modal nasional yang 51% terpecah menjadi beberapa pemegang saham atau pemilik modal, sehingga kepemilikannya tidak dapat single majority.Sedangkan pemodal asing tetap 49% dikuasai oleh modal asing, sehingga kebijakan perusahaan berada di perusahaan penerbangan asing[3]. Contoh yang demikian dapat di lihat pada para pemilik saham lokal pada PT Indonesia Air Asia (IAA), Maskapai Tiger Airways, dan Maskapai Silk Air.PT IAA dikuasai oleh empat pihak, 51% kepemilikan saham ada pada investor nasional, yaitu keluarga Sandjaja Wilaya 21%, Keluarga Pin Paris 20%, PT Fersindo Nusaperka sebanyak 20% dan AirAsia Berhad Malaysia sebanyak 49%[4]
Adanya praktek-praktek penerbangan dalam negeri yang demikian, walaupun secara yuridis formal tidak melanggar undang-undang penerbangan, namun pada hakikatnya telah terjadi praktek terselubung atas pelanggaran prinsip cabotagesehingga membuka peluang terjadinya penyelundupan hukum investasi, yang pada gilirannya pasar modal nasional dikuasai oleh pihak asing melalui badan hukum nasional dan hukum nasional yang dalam hal ini bentuknya cabotage terselubung, bila tidak mau dikatakan bahwa telah melanggar prinsip cabotage sehingga prinsip single majority belum maksimal mengakomodir peran maskapai dalam negeri[5]dan jawabannya ada di pemerintah apakah akan meninggalkan prinsip cabotage yang sebenarnya dengan holding penerbangan telah memberi ruang bagi maskapai asing untuk melayani penerbangan domestik atau memberi ruang yang lebih besar pada kedaulatan udara Republik Indonesia dengan melarang adanya holding penerbangan ?



[1] Priyatna Abdurrasyid, 2003, Kedaulatan Negara di Ruang Udara, Riefka, Jakarta,  hlm. 49
[2] Martono, 2009, Hukum Penerbangan Berdasarkan UURI No.1 tahun 2009, Mandar Maju, Bandung., hlm.11.
[3]  E.Saefullah Wiradipradja, 1990, Tinjauan Singkat Atas Berbagai Perjanjian Internasional di Bidang Hukum Udara, Lisan Bandung, 1990, hlm.21
[4]  Rasyid,2011, Investor Lokal AirAsia sepakat buat Holding http://edukasi.kompas.com/read/2011/06/16/12025843/Investor.Lokal.AirAsia.Sepakat.Buat.Holding diakses pada 5 September 2019 pukul 07.05
[5] Adi Kusumaningrum, 2012, Prinsip Cabotage Dalam Industri Penerbangan Indonesia di Era Asia Single Aviation Market 2015, Arena Hukum, hlm.3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar