BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Dalam kegiatan hukum acara perdata hendaknya
diikuti regulasi yang mengaturnya agar tercapai kepastian hukum. Namun,dalam
perkembangan hukum tidak diikuti oleh ketaatan hukum dimana terjadi
ketidaktanggungjawaban dalam tindakan hukum .Atas hal tersebut,kami menyambut
baik tugas yang diberikan kepada kami dengan mengangkat judul Gugatan dalam Hukum Acara Perdata untuk
dapat memperkaya daya analisis kami
1.1.1
Perumusan
Masalah
Berdasarkan pengamatan dan
uraian yang telah penulis lakukan dari berbagai literatur peraturan
perundang-undangan, penulis mengemukakan beberapa permasalahan yang akan
dibahas dalam makalah ini yaitu:
1.
Apa yang dimaksud gugatan?
2.
Bagaimana maksud dan tujuan dibentuknya gugatan
3.
Apa saja klasifikasi kompentensi pengadilan?
4.
Bagaiman klasifikasi gugatan?
1.1.
Tujuan dan
Manfaat Penulisan
1.
Adapun tujuan
dari penulisan ini adalah :
a.
Memberikan gambaran mengenai gugatan
b.
Memahami syarat gugatan
c.
Mengetahui klasifikasi gugatan
2.
Adapun manfaat dari penulisan ini adalah :
a.
Manfaat Teoritis
Hasil dari penulisan ini diharapkan memberikan
sumbangsih pemikiran yang dapat bermanfaat dalam penegakan supremasi hukum,
khususnya mengenai gugatan acara perdata
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Tuntutan Hak
Persoalan yang dihadapi
seseorang yang diajukan ke pengadilan perdata dalam bentuk tuntutan hak ada dua
macam, yaitu berupa persoalan yang mengandung konflik dan persoalan yang tidak
mengandung konflik[1].Tuntutan hak dalam pasal
142 ayat (1) Rbg / pasal 118 ayat (1) HIR disebut tuntutan / gugatan perdata
(burgerlijke vordering), merupakan tindakan
yang bertujuan memperoleh perlindungan hak yang diberikan oleh pengadilan untuk
mencegah “eigenrichting”atau main hakim sendiri.
Tuntutan hak harus
mempunyai kepentingan yang cukup (point
d’interet, pointd’action)[2].
Ada dua macam tuntutan hak, yaitu permohonan dan gugatan, yang bertitik tolak
pada ada atau tidak adanya sengketa[3].
Tuntutan hak yang mengandung sengketa disebut gugatan, dimana terdapat
sekurang-kurangnya dua pihak yaitu penggugat dan tergugat, dan tuntutan hak
yang tidak mengandung sengketa yang disebut permohonan, dimana hanya ada satu
pihak saja, yaitu pemohon[4].
Sejalan dengan itu,
peradilan juga lazim dibedakan pula menjadi dua, yaitu peradilan sukarela atau
peradilan volunter (voluntaire
jurisdictie / jurisdictio voluntaria) atau sering pula disebut peradilan
“tidak sesungguhnya” karena memeriksa dan memutus permohonan yang mana tidak
ada unsur sengketa dan terdiri dari satu pihak saja; dan peradilan contensius
(contentieuse jurisdictie / jurisdictio contentiosa) atau sering pula disebut
peradilan “sesungguhnya” karena sifatnya yang mengadili perkara antara dua
pihak atau lebih.
Perbedaan yang jelas
antara jurisdictio contentiosa dengan jurisdictio voluntaria dapat digambarkan
dari beberapa segi yaitu :
a. Pihak yang berperkara.
Pada jurisdictio
contentiosa ada dua pihak yang berperkara, sedangkan pada jurisdictio
voluntariahanya ada satu pihak yang berkepentingan.
b. Aktivitas pengadilan
yang memeriksa.
Pada jurisdictio
contentiosa aktivitas pengadilan terbatas pada yang dikemukakandan diminta
oleh pihak-pihak, sedangkan pada
jurisdictio voluntaria aktivitaspengadilan dapat melebihi apa yang dimohonkan
karena tugas pengadilan bercorak administratif
yang bersifat mengatur (administratif regulation)[5].
c. Kebebasan Pengadilan.
Pada juridictio
contentiosa, pengadilan hanya memerhatikan dan menerapkan apa yang telah
ditentukan oleh undang-undang dan tidak berada di bawah pengaruh atau tekanan pihak manapun. Pengadilan hanya
menerapkan ketentuan hukum positif. Sedangkan pada juridictio voluntaria,
pengadilan selalu memiliki kebebasan
menggunakan kebijaksanaan yang
dipandang perlu untuk mengatur suatu hal.
d.
Kekuatan mengikat keputusan pengadilan.
Pada juridictio
contentiosa, putusan pengadilan hanya mempunyai kekuatan mengikat
pihak-pihak yang bersengketa. Sedangkan pada juridictio voluntaria, putusan pengadilan mempunyai kekuatan mengikat
terhadap semua orang[6].
Berkaitan dengan permohonan, pengadilan negeri Jakarta Selatan dalam Penetepan Pengadilan Negeri Selatan No. 1193
/ Pdt.P /2012 / PN.Jak.Sel. tanggal 16 Juli 2013 telah menyimpulkan dalam
pertimbangannya bahwa unsur-unsur yang harus dipenuhi suatu perkara yang
diajukan melalui permohonan adalah :
a. Masalah yang diajukan
bersifat kepentingan sepihak semata ( for the benefit of one party only);
b. Permasalahan yang dimohonkan penyelesaian
kepada Pengadilan Negeri, pada prinsipnya tanpa sengketa dengan pihak lain (without disputes or differences with another
party);
c. Tidak ada orang lain
atau pihak ketiga yang ditarik sebagai lawan, tetapi bersifat ex parte artinya
benar-benar murni dan mutlak satu pihak tanpa menarik pihak lain sebagai lawan
;
d. Kewenangan itu hanya
terbatas sampai pada hal-hal yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang bersangkutan;
e. Tidak menimbulkan
akibat hukum baru.
Sudikno Mertokusumo
(1982: 4) menambahkan: perbuatan hakim dalam peradilan yang “tidak
sesungguhnya” lebih merupakan perbuatan di bidang administratif, sehingga
putusannya merupakan suatu penetapan[7]
( ps. 272 RBg , ps. 236 HIR ). Bagi
peradilan volunter pada umumnya tidak berlaku peraturan tentang pembuktian
dari BW buku IV. Demikian pula, RBg dan HIR pada umumnya hanya
disediakan untuk peradilan contentieus. Penyelesaian
perkara dalam peradilan contentieus disebut putusan, sedangkan penyesaian
perkara peradilan volunter disebut penetapan. Demikian juga yang dikemukakan oleh Asep Iwan
Iriawan ( 2010 : 6 ),
permohonan ( Juridictio
voluntaria ) adalah tuntutan hak yang tidak mengandung sengketa diajukan ke pengadilan untuk mendapatkan
penetapan. Penetapan atas
permohonan merupakan
keputusan pengadilan tingkat pertama dan terakhir, yang tidak dapat dimohonkan
banding (Yahya Harahap, 2008 : 42 – 43).
2.2. Isi Gugatan
Bentuk gugatan adalah surat. Oleh karenanya
harus memenuhi syarat sebagai surat, seperti: tempat dan tanggal gugatan itu
dibuat (e.g: Denpasar, 10 Maret 2015),
kepada siapa / kemana
gugatan itu ditujukan (e.g: Kepada Yth. Bapak Ketua Pengadilan Negeri Denpasar
di Denpasar), isi gugatan, ditutup dengan mencantumkan siapa yang membuat /
mengirim gugatan atau kuasanya dan ditandatangani.
Ditinjau dari isi gugatan , pasal 8 Rv
menentukan bahwa gugatan memuat :
(1). Identitas para pihak;
(2). Posita (fundamentum petendi, middelen van eis) ; dan
(3).Petitum (tuntutan, onderwerp van den eis met een didelijke en bepaalde
conclutie).
1. Identitas Para Pihak.
Dalam perkara perdata biasanya terdiri dari
dua pihak, yaitu pihak penggugat dan pihak tergugat. Para pihak dapat beracara
secara langsung di depan pengadilan atau dapat
mewakilkannya kepada seorang kuasa dengan kuasa khusus[8].
Para pihak itu dibedakan atas: pihak materiil dan pihak formil. Pihak materiil
adalah pihak yang berkepentingan secara langsung, yaitu penggugat dan tergugat.
Pihak formil yaitu pihak yang secara formil tampil dan beracara di depan
pengadilan, yaitu penggugat, tergugat dan kuasa hukum.Identitas para pihak
tiada lain adalah jati diri atau ciri-ciri masing-masing pihak baik penggugat
maupun tergugat, terutama nama dan alamat / tempat tinggal / domisili / tempat
kedudukan. Di samping itu untuk menambah kelengkapan dan kejelasannya biasanya
perlu dicantumkan pula umur, pekerjaan, status perkawinan.Untuk perkara perkara
tertentu, perlu pula dicantumkan agama, seperti dalam perkara perceraian.
2. Posita.
Posita (fundamentun petendi) adalah dalil
dalil dari penggugat yang menjadi
dasar-dasar atau alasan
alasan gugatan penggugat. Posita ini memuat dua hal pokok
dalam uraiannya, yaitu[9]:
1) Dasar-dasar atau
alasan alasan yangmenguraikanmengenai fakta-fakta atau peristiwa peristiwa atau
kejadian kejadian yang medeskripsikan duduknya masalah.
2) Dasar-dasar atau alasan-alasan yang menguraikan
mengenai hukumnya, yaitu memuat hubungan hukum antara pengugat dengan tergugat,
hubungan hukum penggugat dan / atau tergugat dengan materi atau obyek sengketa.
Dalam penyusunan posita dikenal adanya 2 teori
terkait dengan luasnya uraian dalam posita, yaitu:
1) Substantierings
theorie,menurut teori ini, penyusunan posita tidaklah cukup
hanya menguraikan mengenai peristiwa dan hubungan
hukum yang menjadi
dasar gugatan, melainkan harus diuraikan pula
bagaimana sejarahnya sampai terjadi
peristiwa dan hubungan hukum itu.
2)
Individualiseringtheorie,teori ini mengajarkan bahwa dalam menyusun suatu
posita adalah sudah
dipandang cukup dengan menguraikan peristiwa dan hubungan hukum tanpa
menguraikan secara detail sejarah dari peristiwa dan hubungan hukum tersebut[10].
3. Petitum.
Petitum adalah apa yang dimohonkan atau dituntut
supaya diputus demikian oleh pengadilan. Dalam putusan pengadilan, petitum ini
mendapat jawaban dalam amar atau dictum putusan pengadilan. Petitum gugatan
haruslah dirumuskan dengan jelas dan cermat karena berimplikasi luas baik dalam
proses persidangan maupun nanti setelah putusan dimohonkan eksekusi. Perumusan
petitum harus mempunyai keterkaitan yang jelas dengan perumusan posita. Setiap
tuntutan dalam petitum haruslah dapat dicarikan dasarnya dalam posita. Dengan
kata lain tidak ada bagian dari tuntutan dalam petitum yang tidak ada uraiannya
dalam posita.
Tuntutan / petitum
dibedakan menjadi tuntutan primer dan tuntutan subsider / tuntutan pengganti /
tuntutan alternatif. Tuntutan primer dalam perkara perceraian:menyatakan
perkawinan antara penggugat dan tergugat putus karena perceraian[11].Tuntutan
subsidernya: menyatakan hubungan penggugat dan tergugat tidak dalam hubungan
perkawinan yang sah.Lebih lanjut, terkait dengan petitum primer dalam praktek
dikenal adanya tuntutan / petitum pokok dan tuntutan / petitum tambahan.
Tuntutan pokok ini merupakan tuntutan yang langsung tertuju ke pokok perkara.
Misalnya, dalam perkara perceraian: menyatakan perkawinan antara penggugat
dengan tergugat putus karena perceraian; dalam perkara hutang piutang:
menghukum tergugat membayar hutang sejumlah Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta
rupiah) kepada penggugat. Tuntutan tambahan, yang merupakan pelengkap tuntutan
pokok misalnya: tuntutan agar tergugat dihukum membayar biaya perkara, tuntutan
agar putusan dapat dilaksanakan terlebih dahulu (uitvoerbaar bij voorraad),
tuntutan agar tergugat dihukum membayar uang paksa[12].
2.3. Kompetensi
Dalam hukum acara dikenal dua macam
kompetensi / kewenangan, yaitu:
(1). Kompetensi /kewenangan absolut (atributie van rechtspraak); dan
(2). Kompetensi / kewenangan relatif (distributie van rechtspraak).
1. Kompetensi absolut.
Kompetensi absolut adalah kewenangan badan
peradilan dalam memeriksa
jenis perkara tertentu
yang secara absolut / mutlak tidak dapat diperiksa oleh badan
peradilan lain baik dalam
lingkungan peradilan yang sama (pengadilan negeri
dengan pengadilan tinggi,
yang sama-sama dalam lingkungan peradilan
umum)maupun dalam
lingkungan peradilan yang berbeda (eg. pengadilan negeri
yang berada dalam lingkungan peradilan umum, dengan
pengadilan agama yang
berada dalam lingkungan
peradilan agama).Jadi dengan demikian kompetensi
absolut ini adalah untuk
menjawabpertanyaan :pengadilan macam apa (dalam
pengertian lingkungan
peradilannya dan jenjangnya) yang berwenang untuk
menerima, memeriksa dan
memutus perkara tertentu tersebut Tiap
tiap lingkungan peradilandibawah Mahkamah Agung secara umum mempunyai
kompetensi absolutnyasendiri sendiri. Selanjutnya, masing – masing tingkat dalam setiap
lingkunganperadilan mempunyai kompetensi absolutnya tersendiri. Pengadilan di
lingkungan peradilan umum memiliki kewenangan absolut untuk menerima, memeriksa dan memutus perkara
pidana dan perkara perdata bagi rakyat
pencari keadilan pada umumnya. Sehubungan dengan kewenangan absolut ini, Pasal
50 ayat UU No. 2 / 1986 tentang Peradilan Umum menentukan: Pengadilan Negeri bertugas memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara pidana dan perkara
perdata di tingkat pertama. Tentang
Pengadilan Tinggi Pasal 51 ayat (1) menentukan: Pengadilan Tinggi bertugas dan
berwenang mengadili perkara pidana dan perkara perdata di tingkat banding.
2. Kompetensi relatif.
Kompetensi relatif sering pula disebut dengan
kewenangan nisbi, yang menyangkut pembagian kewenangan mengadili antar pengadilan
sejenis berdasarkan yurisdiksi wilayahnya.
Artinya, bahwa suatu pengadilan hanya berwenang mengadili perkara yang
subyeknya atau obyeknya berada pada wilayah pengadilan yang bersangkutan (H.
Zainal Asikin, 2015: 88). Misalnya: antar pengadilan negeri Denpasar dengan
pengadilan negeri Gianyar. Jadi kompetensi relatif dalam hukum acara perdata
adalah untuk menjawab: ke pengadilan negeri mana gugatan harus diajukan.Kompetensi
relatif ini pada pokoknya diatur dalam pasal 142 RBg / 118 HIR, sebagai
berikut:
1.Gugatan diajukan ke pengadinan negeri yang
wilayah hukumnya meliputi
tempat tinggal tergugat. Atau, jika tidak
diketahui tempat tinggalnya,gugatan
diajukan ke pengadilan negeri yang wilayah
hukumnya meliputi tempat
kediaman senyatanya dari tergugat.Ketentuan sesuai dengan asas actor sequitur forum rei”.
2. Apabila tergugat lebih
dari satu, yang tempat tinggalnya tidak terletak dalam wilayah satu pengadilan
negeri, gugatan diajukan ke pengadilan negeri yang wilayah hukumnya meliputi
salah satu tempat tinggal tergugat, yang dipilih penggugat. Apabila para tergugat
berkedudukan sebagai debitur dan penanggungnya , maka gugatan diajukan ke pengadilan
negeri yang wilayah hukumnya meliputi tempat tinggal yang berhutang pokok
(debitur).
3. Jika tempat tinggal
tergugat tidak diketehui demikian juga tempat kediaman senyatanya tidak
diketahui, atau tergugat tidak dikenal,
gugtan diajukan ke pengadilan negeri yang wilayah hukumnya meliputi
tempat tinggal penggugat atau salah satu penggugat.
4. Apabila telah
dilakukan pilihan tempat tinggal dengan suatu akta, gugatan diajukan ke
pengadilan negeri yang wilayah hukumnya meliputi tempat tinggal yang dipilih
tersebut.
5. Dalam hal gugatannya
mengenai barang tetap, gugatan diajukan ke pengadilan
negeri yang wilayah
hukumnya meliputi letak barang tetap tersebut. Jika barang
tetap itu terletak di
dalam wilayah beberapa pengadilan negari, gugatan diajukan
ke salah satu pengadilan
negeri yang wilayah hukumnya meliputi letak barang
tetap itu.
2.4. Kumulasi Atau Penggabungan Gugatan
Dalam perkara perdata sekurang-kurangnya ada
dua pihak, yaitu penggugat dan tergugat. Masing-masing pihak dapat terdiri dari
satu orang atau lebih dari satu orang. Demikian pula tuntutannya, dapat terjadi
hanya satu tuntutan, dan dapat pula terjadi ada beberapa tuntutan dalam satu
gugatan. Apabila pihak terdiri lebih dari satu orang atau tuntutannya lebih
dari satu, maka disebut telah terjadi kumulasi atau penggabungan
gugatan.Kumulasi ini ada dua jenis, yaitu: kumulasi subyektif dan
kumulasi obyektif. Kumulasi
subyektif terjadi apabila para pihak terdiri dari lebih dari satu orang atau
subyek hukum. Syarat untuk kumulasi subyektif
adalah bahwa terhadap tuntutan yang diajukan tersebut haruslah ada hubungan yang
erat antara satu subyek / orang dengan subyek / orang lainnya. Apabila hubungan
itu tidak ada, maka harus digugat secara tersendiri. Kumulasi obyektif adalah
penggabungan beberapa tuntutan dalam satu perkara sekaligus. Kumulasi obyektif
pada umumnya tidak disyaratkan bahwa tuntutan tuntutan itu harus berhubungan
erat satu sama lain. Akan tetapi dalam tiga hal komulasi obyektif itu tidak
dibolehkan (Sudikno Mertokusumo, 1982: 47):
1. Kalau untuk suatu tuntutan (gugatan)
tertentu diperlukan suatu acara khusus, sedangkan tuntutan yang lain harus
diperiksa menurut acara biasa, maka kedua tuntutan itu tidak boleh digabung dalam satu gugatan
2. Demikian pula apabila hakim tidak berwenang
(secara relatif) untuk memeriksa salah satu
tuntutan yang diajukan bersama sama dalam satu gugatan dengan tuntutan
lain , maka kedua tuntutan itu tidak boleh diajukan
bersama sama dalam satu gugatan.
3. Tuntutan tentang
“bezit” tidak boleh diajukan bersama sama dengan tuntutan tentang “eigendom” dalam satu gugatan.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Bentuk gugatan adalah
surat. Oleh karenanya harus memenuhi syarat sebagai surat, seperti: tempat dan
tanggal gugatan itu dibuat kepada siapa / kemana gugatan itu isi gugatan,
ditutup dengan mencantumkan siapa yang membuat / mengirim gugatan atau kuasanya
dan ditandatangani. Dalam perkara perdata sekurang-kurangnya ada dua pihak,
yaitu penggugat dan tergugat. Masing-masing pihak dapat terdiri dari satu orang
atau lebih dari satu orang. Demikian pula tuntutannya, dapat terjadi hanya satu
tuntutan, dan dapat pula terjadi ada beberapa tuntutan dalam satu gugatan.
Apabila pihak terdiri lebih dari satu orang atau tuntutannya lebih dari satu,
maka disebut telah terjadi kumulasi atau penggabungan gugatan.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Moch Chidin, dkk. 1993.
Pengertian–Pengertian Elementer Hukum Perjanjian Perdata. Bandung: Mandar Maju.
Badrulzaman, Mariam Darus. 1980. Aneka
Hukum Bisnis. Bandung : Alumni
Harahap, M. Yahya, 2012, Hukum Acara
Perdata, Jakarta: Sinar Grafika.
Mertokusumo, Sudikno, 1993, Hukum Acara
Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberty.
Projodikoro, Wirjono, 1988, Hukum Acara
Perdata Di Indonesia, Bandung: Bina Cipta.
Subekti, R, 1989, Hukum Acara Perdata,
Bandung: Bina Cipta.
Supomo, 1972, Hukum Acara Perdata
Pengadilan Negeri, Jakarta: Pradnya Paramita.
Suryabrata, Sumadi, 1992, Metode
Penelitian, Yogyakarta: Andi Offset.
Sutantio, Retnowulan dan Oeripkartawinata,
Iskandar, 1989, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, Bandung: Mandar
Maju.
Waluyo, Bambang, 1996, Penelitian Hukum
dalam Praktek, Jakarta: Sinar Grafika.
Wardah, Sri dan Sutiyoso, Bambang, 2007,
Hukum Acara Perdata dan Perkembangannya di Indonesia, Yogyakarta: Gama Media.
[1]
Projodikoro, Wirjono, 1988, Hukum Acara Perdata Di Indonesia, Bandung: Bina
Cipta.
[2] Subekti,
R, 1989, Hukum Acara Perdata, Bandung: Bina Cipta
[3] Sutantio,
Retnowulan dan Oeripkartawinata, Iskandar, 1989, Hukum Acara Perdata dalam
Teori dan Praktek, Bandung: Mandar Maju
[4] Harahap,
M. Yahya, 2012, Hukum Acara Perdata, Jakarta: Sinar Grafika.
[5] Supomo,
1972, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Jakarta: Pradnya Paramita
[6] Mertokusumo,
Sudikno, 1993, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberty.
[7]
Mertokusumo, RM. Soedikno. 1982. Mengenal Hukum ( Suatu Pengantar ).
Yogyakarta: Liberty
[8] Saherodji,
H. Hari. 1980. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: Aksara Baru
[9] Syahrani,
Riduan. 1992. Seluk Beluk Dan Asas-Asas Hukum Perdata. Bandung : Alumni
[10] Pradjidikoro,
Wirjono. 1981. Pokok-pokok Hukum Perdata tentang Persetujuan-persetujuan
Tertentu. Bandung: Sumur Bandung
[11] Tirtodiningrat,
K.R.M.T. 1966. Ikhtisar Hukum Perdata dan Hukum Dagang. Jakarta: P.T
Pembangunan.
[12] Badrulzaman,
Mariam Darus. 1980. Aneka Hukum Bisnis. Bandung : Alumni
Tidak ada komentar:
Posting Komentar