Minggu, 12 April 2020

Hakim ditinjau dari Sistem hukum menurut Lawrence M Friedman

TUGAS KRIMINOLOGI
NAMA: ANDRE
NIM: 170200180



Dalam studi ilmu hukum, kebanyakan orang terutama para sarjana hukum di Indonesia sangat dipengaruhi oleh pandangan Lawrence Friedmann tentang sistem hukum (legal system) yang menurutnya mencakup tiga komponen atau sub-sistem , yaitu
(i) komponen struktur hukum,
(ii) substansi hukum, dan
(iii) budaya hukum.
Pandangan Lawrence Friedmann ini sangat populer di kalangan sarjana hukum Indonesia, sehingga hampir tidak ada sarjana hukum yang tidak pernah mengutip dan menjadikannya rujukan utama dalam setiap tulisan yang membahas mengenai sistem hukum. Secara sederhana, teori Friedmann itu memang sulit dibantah kebenarannya. Namun, kurang disadari bahwa teori Friedmann tersebut sebenarnya didasarkan atas perspektifnya yang bersifat sosiologis (sociological jurisprudence). Yang hendak diuraikannya dengan teori tiga sub-sistem struktur, substansi, dan kultur hukum itu tidak lain adalah bahwa basis semua aspek dalam sistem hukum itu adalah budaya hukum. Substansi yang tercermin dalam peraturan perundang-undangan atau pun dalam putusanputusan hakim selalu berasal dari budaya hukum, dan institusi hukum yang bekerja untuk membuat maupun menerapkan dan menegakkan hukum juga dipengaruhi oleh budaya hukum yang hidup dan mempengaruhi orang-orang yang bekerja di dalam setiap institusi itu . Karena itu, menurut Lawrence Friedmann, budaya hukum itulah yang menjadi komponen utama dalam setiap sistem hukum. Teori Wolfgang Friedmann ini cocok untuk dipakai guna menjelaskan keberadaan sistem hukum dalam konteks kebudayaan, dalam konteks struktur kehidupan masyarakat. Inilah yang dinamakan sebagai struktur eksternal dari sistem hukum yang bertumpu kepada perspektif sosio-kultural dimana hukum itu hidup, bekerja, dan berkembang dalam kenyataan praktik .Dalam penegakan hukum, sesuai kerangka Friedman, hukum harus diartikan sebagai suatu  isi hukum (content of law), tata laksana hukum (structure of law) dan budaya hukum (culture of law). Penegakan hukum tidak saja dilakukan melalui perundangundangan, namun juga bagaimana memberdayakan aparat dan fasilitas hukum. Tidak kalah pentingnya adalah bagaimana menciptakan budaya hukum masyarakat yang kondusif untuk penegakan hukum .Namun, Budaya hukum dimaksud sebagaimana terurai pada paragraf sebelumnya tidak tersedia begitu saja seperti halnya seperangkat dokumen yang tersimpan pada perpustakaan peraturan perundang-undangan yang jika kita butuh tinggal ambil undang-undang yang diperlukan, tetapi adanya harus digali dalam masyarakat . Pada titik ini, penulis teringat pada Pasal (27) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana diperbaiki Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 dan selanjutnya diganti Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, menjadi Pasal 28 Ayat (1). Pasal dimaksud dikatakan bahwa
“Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.”
Kini pertanyaannya, mengapa hakim mempunyai kewajiban menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat dan bagaimana menggalinya. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, dimulai saja jawabannya merujuk pada pengertian Pasal 22 Algemeene Bepalingen (AB) disebutkan:
“Hakim yang menolak untuk menyelesaikan suatu perkara dengan alasan bahwa peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak menyebutkan, tidak jelas atau tidak lengkap, maka ia dapat dituntut untuk dihukum karena menolak mengadili.”
Maknanya, hakim memang wajib memeriksa dan mengadili perkara yang diajukan kepadanya. Prinsip demikian ini yang dipegang teguh oleh hakim sehingga hakim dianggap tahu hukumnya atas kasus hukum konkret yang diajukan kepadanya. Prinsip ini di dalam ajaran asas biasa dikenal dengan asas Ius Curia Novit yang biasa diartikan hakim dianggap tahu hukum . Namun dalam kenyataannya, amat dimungkinkan bahwa hukum yang terdiri seperangkat aturan normatif itu tidak lengkap atau bahkan hukum belum mengatur. Jika hal ini yang terjadi, ada tiga alternatif pendekatan, sebagai berikut:
1. Pendekatan legalistik, jika dalam kasus hukum konkret yang dihadapi hukumnya atau undang-undangnya sudah ada dan jelas, maka hakim secara preskriptif tinggal menerapkan saja hukum yang dimaksud;
2. Dalam kasus hukum konkret yang hukumnya tidak atau kurang jelas, maka hakim harus menemukan hukumnya dengan cara menafsirkan hukum atau undang-undang yang masih samar-samar dimaksud melalui metode penafsiran yang sudah lazim dalam kajian ilmu hukum;
3. Dalam kasus hukum konkret yang hukumnya belum ada atau undang-undang belum mengatur, maka hakim harus menemukan hukum dengan cara menggali, mengikuti, dan menghayati nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Nomor dua dan tiga di atas, dilandasi asumsi bahwa dalam kenyataan yang ada Undang-Undang tidak ada yang sempurna dan lengkap untuk mengatur segala kegiatan kehidupan manusia secara tuntas. Dalam upaya menegakkan keadilan dan kebenaran hakim harus dapat melakukan penemuan hukum (rechtsvinding) Dengan demikian, hakim mempunyai kewenangan untuk menemukan hukum dan bahkan menciptakan hukum (judge made law), terutama terhadap kasus-kasus hukum konkret yang hukumnya masih samar-samar atau bahkan yang sama sekali belum ada hukumnnya, tetapi telah masuk ke pengadilan Jika nilai hukum yang dimaksud telah ditemukan dan dirumuskan sedemikian rupa maka selanjutnya dituangkan sebagai dasar pertimbangan dalam proses pengambilan putusan untuk menyelesaikan perkara yang sedang diadilinya.

1 komentar:

  1. babyliss pro nano titanium straightener
    babyliss titanium dog teeth implants pro nano titanium knife titanium straightener · Model Number: · Model titanium pickaxe terraria Number: titanium earrings hoops · Manufacturer: · Type: · Description: · Material: titanium hair trimmer · Brand: · Platform: ·

    BalasHapus