Minggu, 12 April 2020

Esai Hak Imunitas Advokat


HAK IMUNITAS ADVOKAT
Oleh : Andre

Begitu indah Daniel S.Lev melukiskan bagaimana asal-usul keadvokatan di Indonesia.Di dalam bukunya “Hukum dan Politik di Indonesia-Kesinambungan dan Perubahan”,berbeda dengan keadvokatan di Eropa,keadvokatan di Indonesia tidak tumbuh pada masa silam yang lama dalam sejarah Indonesia.Sebagaimana halnya di tanah jajahan lainnya,keadvokatan Indonesia mencapai bentuknya yang sempurna dalam rahim kolonial,dan tidak sepenuhnya absah dalam perhatian “ibunya” yang berjarak separuh lingkaran bumi itu.”Anak” itu terakhir lahir sebagai anak yatim,namun cukup tangguh” tulis Daniel S.Lev dalam bab 7 bukunya tersebut.[1]

Sejarah Indonesia sebenarnya sudah cukup panjang.Demikian pula manusia Indonesia yang memiliki prototipe pahlawan,sudah cukup banyak pula.Dari zaman keemasan Majapahit hingga zaman kolonial,tak sedikit jumlah orang yang berjiwa pahlawan.Gigih dan berani tampil ke depan dalam memperjuangkan keadilan dan kebenaran,membela kepentingan rakyat kebanyakan,menentang penindasan,kelaliman dan keserakahan  penguasa atau bangsa penjajah.

Namun,pejuang-pejuang dan pembela-pembela pada masa itu tidaklah sama atau dapat disamakan dengan advokat.Meskipun salah satu fungsi advokat adalah melakukan pembelaan dan dalam melaksanakan fungsinya terdapat misi perjuangan.Cara paling mudah membedakan keduanya adalah dengan mengatakan bahwa advokat adalah sebuah profesi.Sedangkan menjadi pejuang-pejuang dahulu itu bukan profesi,melainkan tugas karena merasa terpanggil pada situasi tertentu.

Kata Advokat sendiri berasal dari bahasa Latin Advocare, yang berarti: to defend,to call to one’s aid,to vouch or to warrant.Sedangkan dalam bahasa Inggris Advocate,berarti: to speak in favour of or defend by argument,to support,indicate or recommend publicly.Sedangkan orang yang berprofesi membela dikenal sebagai Advocate,yang berarti:
One who assists,defends or pleads for another.One who renders legal advice and aid and pleads the cause of another before a court or a tribunal,a counselor.A person learned in the law and duly admitted to practice,who assists his client with advice and pleads for him in open court.An asisstant,adviser,a pleader of causes”.

Dari pemahaman tentang arti kata “advokat” tersebut,lalu muncul pertanyaan:sejak kapankah mulai dikenal profesi pembelaan di bumi Indonesia?
Uraian Lev diatas tadi,menyiratkan bahwa embrio keadvokatan Indonesia sudah tumbuh sejak penjajahan Belanda.Wujud ke-Indonesia-annya baru lahir setelah Belanda meninggalkan Indonesia atau sesudah Indonesia merdeka di tahun 1945.
Advokat sebagai penegak hukum sangat strategis melahirkan kondisi profesi yang rentan dari berbagai intervensi kepentingan, dan longgarnya profesi dari ikatan kepercayaan, dan tentu saja, pengawasan masyarakat. Dengan kata lain, kompleksitas persoalan yang menandai sejarah, kondisi empirik, dan kekuasaan negara yang menaunginya, juga diperburuk oleh cara pandang advokat dalam memahami letak profesi mereka. Eksistensi advokat merupakan refleksi peningkatan kesadaran masyarakat akan hak-hak dan kewajiban hukumnya, walau tidak dapat dipungkiri profesi advokat juga merupakan produk langsung dari keterasingan dan bentuk penyikapan masyarakat terhadap sistem hukum dan peradilan formal.[2]

Secara filosofis, advokat sebagai penegak hukum dan pengawal konstitusi harus dapat mengamalkan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan Pembukaan UUD NRI 1945.
Pasal 4 Undang-Undang No. 18 Tahun 2003  tentang Advokat menyatakan sebelum menjalankan profesinya, (calon) advokat wajib bersumpah menurut agamanya atau berjanji dengan sungguh-sungguh di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya. Salah satu isi sumpah/janji itu adalah memegang teguh dan mengamalkan Pancasila sebagai dasar negara dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.[3]

Peranan para advokat ini kerap juga diumpamakan sebagai pengawal konstitusi dan hak asasi manusia.Tidak kurang Shakespeare pernah mengatakan:Let’s kill all the lawyers,dalam drama Cade’s Rebellion.Untuk mendirikan pemerintahan yang totaliter,yang pertama kali harus dilakukan adalah membunuh para advokat.Mereka adalah pengawal konstitusi dan hak asasi manusia yang akan selalu menentang pembentukan suatu pemerintahan diktatorial.[4]

Advokat berfungsi untuk memberikan nasihat dan mewakili kliennya dalam masalah hukum demi menjunjung tinggi asas praduga tak bersalah (presumption of Innocence) serta bertanggung jawab memperjuangkan kebenaran dan asas-asas keadilan. Namun,pekerjaan advokat tidak hanya terdiri atas pemberian nasehat, advokat untuk kepentingan kliennya mengatur berbagai urusan dengan instansi-instansi pemerintah atau pihak ketiga lain, berusaha mendamaikan perselisihanperselisihan diluar pengadilan, dan dalam perkara pidana membela tertuduh [5]
Secara yuridis,bersumber pada undang-undang No.18 Tahun 2003 tentang Advokat, maka pengakuan atas hak dan peran advokat sebagai bagian dari sistem hukum dan peradilan harus dihormati semua pihak dan aparat penegak hukum lainnya, terutama dalam kesetaraan dalam menjalankan fungsi dan tugasnya masing-masing. Dengan adanya payung hukum bagi profesi advokat berdasarkan undang-undang No.18 Tahun 2003 tentang Advokat, maka hak advokat yang boleh dikatakan paling sentral adalah dimilikinya hak kekebalan hukum (immuniteit) untuk tidak dapat dituntut baik secara pedata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan itikad baik dalam sidang pengadilan, hak kekebalan ini terkait dengan pengakuan bahwa advokat tidak dapat diidentikkan dengan kliennya oleh pihak yang berwenang atau masyarakat[6]. Pengaturan tentang hak imunitas advokat dapat disimak dan dipahami dengan lebih mendalam dari pasal 14 hingga pasal 19 Undang-Undang No.18 Tahun 2003, tepatnya bab IV tentang hak dan kewajiban. Secara umum dapat dikatakan bahwa hak imunitas muncul dari hak (right) dan kewajiban (duty) advokat dalam melakukan tugas-tugasnya, yang secara tegas menyatakan, bahwa Advokat bebas untuk mengeluarkan pendapat atau pernyataan dalam membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya di dalam Sidang Pengadilan. Maksud dari kata bebas dalam hal ini adalah tanpa adanya tekanan, ancaman, hambatan, tanpa adanya rasa takut, atau perlakuan yang merendahkan harkat dan martabat profesi advokat. Selain itu pula Advokat bebas dalam menjalankan tugas profesinya untuk membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya dengan tetap berpegang pada Kode Etik Profesi dan peraturan perundang-undangan
Selengkapnya pasal 16 Undang-undang Advokat berbunyi:
“Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan etikad baik untuk membela kepentingan kilen dalam sidang pengadilan”
Hak kekebalan (immuniteit) untuk tidak dapat dituntun baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya untuk kepentingan pembelaan kilen dalam sidang pengadilan. Dengan penyandang status sebagai penegak hukum, peran advokat memiliki kebebasan dan kemandirian yang dijamin oleh hukum dan peraturan perundang-undangan.

Artinya, eksistensi advokat bukan lagi hanya sekedar profesi memberikan jasa hukum, tanpa jaminan kemandirian yang dilindungi undang-undang, tetapi sudah menjadi salah satu perangkat keadilan dalam proses peradilan yang mempunyai kedudukan setara dengan penegak hukum lainnya dalam menegakkan hukum dan keadilan, bebas dari tekanan, ancaman, hambatan, dan rasa takut atau perlakuan yang merendahkan harkat martabat profesinya.

Namun,secara sosiologis ternyata penegak hukum yang lain (Polisi, Jaksa, Hakim) belum menempatkan kedudukan advokat sebagai penegak hukum yang sejajar, di satu sisi polisi, jaksa, hakim dalam menjalankan profesinya dilengkapi dengan kewenangan, sementara advokat tidak diberi kewenangan. Kondisi ini menimbulkan kesulitan integrasi dalam melakukan harmonisasi pada pelaksanaan penegakan hukum dan advokat sebagai penegak hukum guna terciptanya harmonisasi di antara aparat penegak hukum

Melihat kenyataan yang demikian, maka keberadaan advokat dalam sistem penegakan hukum sangatlah penting. Advokat dalam kedudukannya sebagai bagian dari catur wangsa penegak hukum sejajar dengan penegak hukum yang lain; polisi, jaksa dan hakim dalam menjalankan fungsi dan perannya dalam sistem penegakan hukum. Namun,hak imunitas tersebut juga memiliki batasan. Batasan tersebut adalah bahwa seorang advokat dilindungi saat ia menjalani tugasnya adalah “iktikad baik” dan “dalam sidang pengadilan” maupun “luar sidang pengadilan”.Batasan dalam sidang pengadilan adalah setiap tindakan yang diperlukan saat melakukan proses persidangan itu sendiri, baik di pengadilan tingkat pertama hingga peninjauan kembali.

Adapun, hak imunitas advokat berlaku juga di luar persidangan dengan catatan bahwa di luar persidangan tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari proses peradilan.Tindakan tersebut meliputi pula pendapat-pendapat ataupun pernyataan-pernyataan yang dikeluarkan advokat selama persidangan, baik kepada klien maupun kepada lawannya, adovakat tidak dapat digugat atau dituntut terkait dengan pernyataan-pernyataannya tersebut.

Pasal 16 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 menyebutkan Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan Klien dalam sidang pengadilan. Akan tetapi hak imunitas yang diberikan oleh Undang undang Nomor 18 Tahun 2003 tidak berjalan sebagaimana mestinya, tidak sedikit Advokat dalam menjalankan profesinya terjerat masalah hukum dan akhirnya menjadi Tersangka.

Sehingga, advokat dalam menjalankan profesinya harus benar-benar berdasarkan hukum dan kode etik advokat (canons of ethics). Kode etik membebankan kewajiban pada setiap advokat dalam melakukan tugasnya untuk tidak bertujuan memperoleh imbalan materi semata,tetapi lebih mengutamakan tegaknya hukum, kebenaran, dan keadilan..Jadi hak imunitas itu tidak boleh ditafsirkan secara sempit dan juga tidak boleh melampaui batas, khususnya apabila telah terjadi pelanggaran norma hukum pidana misalnya melakukan praktik penyuapan saat menjalan tugas profesinya, maka advokat tentu tidak bisa menggunakan dalil imunitas sebagai dasar pembenaran tindakannya tersebut.

 Profesi hukum menuntut persyaratan dan standarisasi yang tinggi terhadap seorang advokat dalam menjalankan profesinya karena profesi advokat bersinggungan dengan penerapan hukum dan nilai etika. Advokat dalam menjalankan profesinya tidak diperbolehkan melakukan hal-hal yang justru melanggar hukum dan kode etik dengan berlindung di balik hak imunitas.
Dengan demikian, hak imunitas advokat di samping melindungi advokat sebagai organisasi profesi, yang paling utama adalah melindungi masyarakat dari jasa advokat yang tidak memenuhi syarat-syarat yang sah atau dari kemungkinan penyalahgunaan jasa profesi advokat..

DAFTAR PUSTAKA
Hendra Winarta,Frans.1995.Advokat Indonesia:Citra,Idealisme dan Keprihatinan,Jakarta:Pustaka Sinar Harapan
Khadafi,Binziad.2002.Advokat Indonesia Mencari Legitimasi : Studi Tentang Tanggung Jawab Profesi Hukum,Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia
Tjay Sing,Ko.1978. Rahasia Pekerjaan Dokter dan Advokat,Jakarta:Gramedia
Zulkifli,dkk.2006.Eksistensi Pasal 19 UU Advokat dan Kaitannya dengan Upaya Paksa Penyitaan yang Dimiliki oleh Penyidik,Medan:Kantor Hukum Zulkifli Nasution & Rekan.




[1] Frans Hendra Winarta,S.H.Advokat Indonesia:Citra,Idealisme dan Keprihatinan,Pustaka Sinar Harapan,Jakarta,1995,hlm.19
[2] Binziad Khadafi,Advokat Indonesia Mencari Legitimasi : Studi Tentang Tanggung Jawab Profesi Hukum,Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia,Jakarta,2002,hlm.14
[3] Norman Edwin Elnizar,”Dukungan Inilah yang Disampaikan Rombongan Advokat Saat Bertemu Kapolri”,Hukum Online,diakses dari http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt593526e893402/dukungan-inilah-yang-disampaikan-rombongan-advokat-saat-bertemu-kapolri , pada tanggal 1 Februari 2018 pukul 12.00
[4] Frans Hendra Winarta,S.H.,Op.Cit.,23.
[5] Ko Tjay Sing, Rahasia Pekerjaan Dokter dan Advokat, (Jakarta: Gramedia,1978), hlm. 36
[6] Zulkifli,dkk.,Eksistensi Pasal 19 UU Advokat dan Kaitannya dengan Upaya Paksa Penyitaan yang Dimiliki oleh Penyidik, (Medan: Kantor Hukum Zulkifli Nasution & Rekan, 2006), hlm. 2-3.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar